13. Pesan di Larut Malam

24 4 0
                                    

Barata menangis. Bukan satu kesalahan jika seorang lelaki menangis, sebab bagaimanapun hatinya punya peran meski rasanya sudah terlambat untuk menyalahkan orang lain. Pun, kendati demikian Mireya memang tidak salah. Kesalahan yang menyebabkan semuanya adalah ketika Barata yang awaknya hanya mencoba meminta maaf justru mengubah niatnya lebih lancang, mengharapkan kembali kebersamaan di antara mereka.

Jika malam-malam sebelumnya Barata hanya akan menjumpai malam dini hari tanpa menyambut subuh, mungkin malam ini adalah puncak keretakan hatinya. Tak peduli bagaimana bawah matanya yang menghitam, padahal besok lusa akan ada pemotretan pernikahan. Tanpa usaha untuk menguatkan hati, Barata justru meleburkan diri sepenuhnya pada lautan lara yang dia cipta sendiri.

Kabar pernikahan itu benar-benar menenggelamkan Barata pada ombak lautan. "Rey ...." Bibirnya kelu. Terlalu sakit untuk dijabarkan dengan kata. Sungguh banyak keluh kesah dalam batinnya yang ingin diluapkan, tetapi nyatanya seorang lelaki terkadang juga melupakan logika. Setidaknya saat dia sendiri.

Barata menyandar pada dinding dengan buku sampul biru yang diam seakan menertawainya. Masih ada lembaran epilog yang tersisa, berisi bagaimana perjuangan Mireya untuk sembuh dari trauma yang dihadirkan Barata. Trauma untuk kembali mencinta, bayangan diselingkuhi yang terus mengintai, bertahun-tahun lamanya. Jika saja Barata masih sanggup membaca lembar terakhir dari buku itu, mungkin dia akan berpikir sakitnya hati dia tak lebih buruk dari apa yang mendera Mireya. Terdengar lucu sekali ketika Barata sendiri yang menyebabkan kepergian Mireya waktu itu, lalu tiba-tiba berbalik merasa paling tersakiti.

Dalam keadaan terburuknya, satu notifikasi yang paling dihindari saat ini justru datang menemuinya. Pesan dari Mireya. Barata sebelum membukanya memilih mengintip dari laman bilah status.

"Bar, sudah tidur?"

"Gue abis aja baca bab terakhir buku lo, Rey. Andai bisa ngulang waktu, gue ga bakal sia-siain lo." Penyesalan memang selalu di akhir.

Tangannya yang terkulai lemas dengan pandangan yang sedikit lagi memejam, Barata membuka pesan itu dan berniat membalasnya. Angan jahat yang menarik harapan, padahal sudah jelas berada di jalan buntu.

"Belum, Rey. Ada apa?" Saat ini Barata sudah tak peduli jika aksennya sudah sangat menampilkan sisi Barata 2026 era.

Lepas pesannya terkirim, tampak Mireya langsung mengetik. Barata berpikir, apa yang dikerjakan Mireya hingga masih aktif di jam rawan seperti ini, hampir subuh.

"Aku pengen minta suaranya untuk beberapa dialog."

"Boleh, dialog bagian mana, Rey?"

Beberapa dialog dikirim oleh Mireya, rupanya adegan ketika Kemal dalam cerita ditemukan hampir selingkuh dengan Oya. Barata mengeram pelan sebelum mengirim rekamannya. Setelah selesai, Barata masih enggan untuk menyudahi pesan mereka. Setidaknya dalam benaknya, ini mungkin menjadi yang terakhir kalinya sebelum Mireya benar-benar berlabuh ke pelukan orang lain secara utuh dan mutlak.

"Kemal dan Rahayu ini benar-benar kisah nyata, ya?" Barata memulainya dengan pertanyaan memancing. Meski kepalanya sudah terasa berat sebab belum pernah tertidur, Barata memaksakan diri setelah melihat balasan dari Mireya yang seolah meresponsnya dan bersedia jika Barata bertanya lebih jauh lagi.

"Ya, terinspirasi dari kisah nyata. Barangkali kalau aku bilang itu kisahku sendiri, kamu gak bakal percaya." Demikian isi balasannya.

"Wah, jadi kamu mau bilang kalau Rahayu dalam buku itu kamu?"

"Mengutip dari nama tengahku, itu tidak seperti satu kebetulan, kan?"

"Dan Kemal?"

"Kamu sungguh ingin tahu?"

Barata terkekeh pelan membacanya, pembicaraan mereka yang mengalir tanpa Mireya tahu bahwa yang membalasnya adalah Kemal asli. Kemal yang telah menyakiti Rahayu dalam cerita dan luar cerita.

"Mungkin terlalu lancang untuk bertanya siapa orangnya. Hanya saja, kalau boleh tahu bagaimana hubungan kalian sekarang?"

Bodoh, pertanyaan macam apa ini? Barata merutuki dirinya sendiri sambil menanti balasan Mireya dengan gelisah, entah isinya akan semakin menambah kalutnya sakit hati atau justru memberinya secercah harapan. Semisal dengan jawaban ... 'aku masih punya sisa rasa'. Sayangnya, itu hanya sebatas angan-angan saja.

"Tidak. Hubungan kami sudah selesai sejak bab terakhir dari buku itu. You Are 2016 Era adalah bentuk keikhlasanku untuknya. Meski dulu aku sempat mendoakan dia tidak akan pernah menemukan cinta yang benar-benar tulus setelahku, kini aku tarik doa itu. Dia memang luka, tapi dia juga sebuah pelajaran hidup yang mengajarkanku bagaimana bisa kuat dan pulih sendiri dan memilih untuk tidak jatuh cinta kecuali ada orang yang benar-benar memperjuangkan aku. Dan kamu tahu, aku sudah menemukannya."

Sungguh balasan yang panjang. Barata berpikir, bagaimana bisa Mireya membahas itu sepanjang ini, seolah dirinya adalah teman lama yang dengannya bisa leluasa mencurahkan isi hatinya.

Apa Mireya memang terbiasa membeberkan masalah hatinya pada orang yang baru dia kenal? Ah, tapi rasanya tidak mungkin. Penulis cenderung lebih tertutup, itulah makanya dia memilih menuangkannya dalam tulisan, pikir Barata bertarung dengan spekulasinya sendiri.

Alih-alih pemikiran itu, dia lebih tertarik pada sederet kalimat akhir. "Lo benar-benar udah nemu orang baru ya, Rey?"

Barata kembali mengetik sesuatu, melupakan lukanya dan kembali menjerat Mireya agar sekiranya gadis itu sadar atau secara tidak sadar mengungkapkan siapa sosok yang telah berhasil merebut hati Mireya.

"Aku tidak tahu siapa yang lebih beruntung, kamu atau lelaki yang sudah berhasil membuktikan cinta itu ada. Namun, aku harap kalian benar-benar menemukan keseriusan cinta."

"Ya, akan dibuktikan beberapa hari lagi."

Mata Barata mengerjap, dia berpikir konteks dari balasan Mireya itu apa. Membuktikan beberapa hari lagi, begitu katanya. Membuktikan seperti apa yang dia maksud? Hal itu terus menyeret Barata pada tanda tanya.

"Ah, apa kamu pernah dengar kabar dari Kemal asli?"

"Tidak sejauh ini. Karena aku memang memilih untuk tidak mengenalnya lagi. Aku memang sudah ikhlas, tapi bertemu dengannya juga tidak lebih baik."

Hati kecil Barata meringis. Segitu bencinya lo sama gue, Rey.

"Benci banget sama dia?" Pertanyaan yang semakin lancang.

Rupanya Mireya masih saja merespons. "Terdengar memang aku yang memutuskan dia, tapi nyatanya dialah yang memintaku pergi. Saat itu aku membencinya, tetapi bukankah bukan ikhlas namanya jika masih ada rasa benci? Semoga dia menemukan perempuan yang lebih sabar dariku, semoga dia sudah menjadi lelaki seutuhnya yang sadar akan kehadiran dan takut pada kehilangan."

Doa itu berkenan. Tapi, apa gunanya jika perempuannya bukan lo, Rey?

"Sebelumnya, apa kamu memang terbiasa menceritakan semuanya pada orang asing?" Barata akhirnya menanyakan hal yang mengganjal dalam hatinya sedari tadi.

"Loh? Bukannya aku tidak sedang membicarakan ini pada orang asing? Ah, iya. Memang asing, tapi orang asing ini pernah begitu akrab denganku. Bagaimana kabarmu, Kak Bar?"

Expired [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang