Sebuah akhir pekan yang membosankan. Setidaknya itulah yang terpatri dalam pikiran Barata saat ini, duduk menyesap secangkir kopi hitam menghadap jendela dengan sebuah ponsel di samping kopinya. Asap mengebul menciptakan hangat yang seolah bersaing dengan mentari. Perkara Dissy yang tidak tahu apa-apa dan justru mengumpati tokoh Kemal asli cepat mati, Barata jadi tidak membalas pesan gadis itu yang merengek untuk dikirimi foto buku yang sudah diedit oleh Barata.
Entah sudah berapa notifikasi yang masuk dari Dissy, dering teleponnya bahkan hampir menulikan Barata. Ingin membisukannya, tetapi Barata menunggu kabar lain dari seseorang. Setiap kali ponsel itu berdenting, Barata akan segera berlari membukanya dan akan kembali kecewa ketika mendapati nama pengirimnya bukanlah Mireya.
Entah kapan tepatnya, tetapi Barata sudah masuk dalam satu grup yang berisikan beberapa orang di mana mereka masing-masing mengambil satu peran tokoh. Yang lebih menjengkelkan adalah lagi-lagi Dissy ada di sana, dalam grup itu.
"Pengen gue maki-maki rasanya di Dissy ini!" decaknya kala pertama kali mendapati nomor Dissy di sana. Beruntung dia sedang menggunakan nomor baru. Maka setidaknya untuk sekarang, Barata aman.
Kopi itu tandas menyisakan ampasnya. Asap mengebul menghilang tergantikan dengan erangan napas berat dari pemiliknya. Dia merentangkan tangan, harusnya pagi ini dia memilih agenda olahraga, tetapi malah terkurung dalam pengharapan. Sungguh takdir baik telah menghampirinya. Setelah menunggu berjam-jam, satu notifikasi paling dinanti akhirnya mewarna laman bilah status dari ponselnya.
"Akhirnya, nongol juga!" Barata berseru. Dibukanya dengan tidak sabar laman pesan dari di grup dengan nama 'RP YA2016E'.
Di sama terdapat sebuah pesan yang tersemat bahwa Mireya ingin membuat sebuah trailer video untuk akunnya. Dia meminta beberapa rekaman suara untuk satu dialog. Namun, yang paling mencolok adalah Mireya mempertanyakan kesediaan sang pemeran tokoh Kemal untuk menyanyi. Barata jadi keringat dingin, dia bimbang. Haruskah dia menyanggupi itu atau menolaknya dengan seribu alasan.
Dissy akan langsung mengenali pita suaranya. Namun, setelah Barata memikirkannya lagi, Barata bisa saja mengeluarkan alibi untuk melindungi dirinya dari tudingan Dissy. "Tapi, gimana kalau justru Mireya juga mengenalinya? Gue cukup sering nyanyi dulu. Apa gak kali, ya? Toh, 8 tahun bukan waktu yang sebentar. Mireya bisa aja udah lupa sama suara gue pas nyanyi." Asumsi Barata memantul di dinding ruangan. Andai saja cicak pandai mengeluarkan kata, sudah pasti ia akan menyahuti Barata yang sudah tak bisa menahan senyumnya sejak tadi.
Memilih opsi lain, Barata sengaja mengalihkan pesannya ke nomor pribadi Mireya alih-alih langsung menjawabnya di grup. Setelah Barata mengatakan dia bisa saja mengirim rekaman suaranya, tetapi menolak untuk dibagikan dalam grup. Alasan belaka. Nyatanya, Barata hanya ingin percakapan keduanya lebih intens meski terbalut kepura-puraan.
"Bisa, Kak Rey. Tapi di sini saja, malu kalau di grup." Pesan yang akhirnya terkirim. Panggilan 'Rey' sengaja Barata sematkan, barangkali gadis itu akan teringat kepadanya. Beberapa detik berlalu, tetapi tak kunjung mendapat balasan. Barata lalu kembali menyematkan pesan. "Ah, maaf. Apa tidak apa-apa menyebutmu Kak Rey? Lucu saja kedengarannya, mengambil dari kata di tengah nama Kakak." Sebisa mungkin Barata mengetik dengan susunan kata yang berbeda dengan zona nyamannya yang santai dan tidak formal.
Tidak mengapa, semuanya demi penyamaran.
"Ah, gapapa. Boleh, kirim ke sini saja."
Setelah mendapat balasan itu, tak menunggu lama lagi Barata menekan ikon mikrofon untuk menyimpan suaranya. Mengingat adegan terakhir yang dia baca dari buku itu, ialah ketika dia menyanyikan lagu 'Menunggumu' dari Noah. Sebuah lagu di mana dalam tiap liriknya terdapat jutaan kenangan. Barata sengaja menggunakan lagu itu bukan agar dirinya ketahuan. Akan tetapi, Barata harap masih ada ruang yang tersisa meski begitu terhimpit atas asa yang melayang. Tidak tahu diri memang, tetapi Barata menginginkannya. Bukan lagi sekadar mengejar maaf, Barata memang berniat menebus semua kebodohannya dengan kembali berjuang untuk mendapatkan gadis itu.
Lirik-lirik mengalun merdu, ditemani sebuah potongan memori yang terputar melebihi kaset rusak. Penggalan senyum, sentuhan, candaan, semuanya apik mendatangi pikiran Barata dalam sekejap. Dalam hatinya dia berkata, Apa setelah denger lagu ini lo pun bakal sama kayak gue, Rey? Kembali terseret ke tahun 2016, tahun penuh cinta untuk kita.
"Bila rindu ini masih milikmu
Kuhadirkan sebuah tanya untukmu
Harus berapa lama aku menunggumu
Aku menunggumu."Sebuah lirik yang mana sejatinya tidak sekadar rentetan kata. Belaian tiap bait itu seolah menggambarkan apa yang dirasa penyanyinya. Rindu Barata masih terukir nama Mireya, dia menunggu Mireya. Tidak, harusnya dia menjemputnya.
Lagu itu dinyanyikan Barata dengan mata terpejam, menikmati penyiksaan yang menderanya karena kebodohannya sendiri. Ada helaan napas panjang di akhir yang mungkin juga ikut terseret dalam rekaman itu.
Setelah rekamannya sampai dengan centang biru di sudut kanan bawah, Barata mulai menebak-nebak bagaimana ekspresi Mireya. Akankah dia terkejut, atau justru bersikap biasa saja sebab memang sudah tidak ada lagi rasa yang tersisa untuk Barata. Lelaki itu menunggu dengan gelisah, tak ingin meninggalkan room chat. Ketika sebuah kata mengetik terpatri di bawah namanya, Barata semakin kalang kabut menanti.
"Wah, suaranya bagus banget. Kamu pasti membaca bukunya dengan baik sampai tahu lagu yang menjadi lagu kenangan tokoh Kemal dan Rahayu." Demikian balasan yang muncul.
"Boleh gak, sih, gue langsung tanya. Rey, lo gak kangen sama gue?"
Barata mengacak rambut kusutnya yang belum bertemu sampo selama tiga hari. "Bisa gila beneran gue lama-lama." Usai mengucapkan santunan terima kasih sebagai formalitas, Barata menggeser ke tempat status demi melihat isi dari lingkaran hijau di area profil Mireya yang duduk, wajahnya ditutup oleh sampul buku.
Ada sengatan aneh yang menjalar tiba-tiba, hatinya serasa meloncat keluar. Dia berharap, apa yang dilihatnya adalah foto orang lain, atau bisa saja foto yang dicuri dari pinterest. Namun, itu sungguh nyata. Sebuah foro mirror.
Cermin yang sama dengan status Mireya tempo hari lalu, pun dengan lelaki yang sama dengan di bayangan. Seseorang berkemeja hitam. Kali ini lebih dekat, hanya ada Mireya dengan lekaki itu yang tertutup ponsel, yang memegang ponselnya adalah si laki-laki dan di sampingnya Mireya tersenyum lebar dengan tangan membentuk angka dua.
"Siapa dia? Dia pasti cuman temen Rey doang! Masa iya, sih, pengganti gue?" Wajah Barata cemberut, kembali menggaruk kepalanya yang memang gatal rasanya. Berkali-kali dia menatap foto itu demi membuat hatinya semakin sakit oleh kenyataan. Mireya menemukan penggantinya.
Gak yakin gue!
KAMU SEDANG MEMBACA
Expired [TERBIT]
RandomThis is a Novelette 🌻 Juara 🥇 dalam Event Novelet tema HeartBreak bersama Book Office Ketika 'luka' abadi dalam bait narasi. Barata memutuskan membeli buku setelah melihat nama penulisnya yang tak asing. Sebuah buku berjudul 'You Are 2016 Era' ya...