19. Mimpi Waktu Itu

2.2K 52 2
                                    

"Tadi Mas Dev bilang apa?"

"Disuapin. Kenapa? Tadi udah oke."

Aruni jadi penasaran kalau Lisa sakit apakah akan melakukan hal yang sama seperti papinya. Karena Aruni sekarang benar-benar berhadapan dengan anak kecil.

"Makan sendiri ah." Aruni menolak.

"Ya udah, nanti." Devan menarik selimutnya sampai menutupi kepala.

Terpaksa. Akhirnya Aruni membawa rantang itu ke nakas di samping tempat tidur, membukanya, duduk di sebelah Devan, lalu mulai mengambil sesendok nasi.

"Ya udah, nih." Aruni pasrah.

Bisa Aruni lihat Devan tersenyum tipis saat membuka kain selimut yang menutupi kepalanya. Namun wajahnya kembali normal saat bangun lalu menyandarkan punggungnya di kepala tempat tidur.

Suapan demi suapan.... Kemana Devan yang berkata tidak nafsu makan tadi? Sepertinya sudah menghilang sekarang.

Mata Aruni menyisir sedikit ke sekitar kamar begitu Devan hampir menyelesaikan makanannya. Devan seperti bujang yang hidup sendiri. Walau tidak ada debu dan seperti sering dirapihkan, tapi bebrapa helai pakaian terlampir asal di berbagai tempat. Beberapa barang juga tampak berantakan di atas meja.

Persis seperti keadaan kamarnya kalau sedang malas beres-beres. Biasanya Aruni membiarkan kamarnya berantakan menjelang tanggal menstruasinya karena pada saat itu seluruh tubuhnya terasa pegal. Membuat Aruni malas melakukan apapun.

"Habis ini minum obat." Aruni sedang beralih profesi sebagai suster pribadi.

"Iya. Iya."

"Ma s Dev." Aruni beranjak dari tempat tidur. Bersiap untuk pulang.

"Hm?"

"Aku nggak bisa merhatiin Mas Dev setiap saat. Mas Dev harus pintar jaga diri baik-baik. Jangan manja."

Devan menunduk. Terdiam.

Aruni akhirnya berpamitan untuk pulang. Dia sudah meninggalkan Miya sendirian cukup lama. Takut temannya itu nanti curiga. Namun tarikan di jari jemarinya membuat langkah Aruni terhenti.

"Mba. Duduk dulu sini. Bentar." Pinta Devan.

Tadinya mau menolak. Tapi melihat wajah Devan yang murung membuat Aruni kembali menempelkan bokongnya di atas kasur. Entah kenapa hatinya berat sekali untuk meninggalkan Devan sendirian.

Ada sesuatu yang membuat Devan drop. Aruni tahu itu. Tapi sayangnya Aruni tidak bisa bertanya dan ikut campur.

"Mba," Devan mulai membuka mulut, "dulu aku itu lahir di keluarga berantakan. Aku cuma tahu sosok ibuku. Sampai sekarang pun tidak tahu siapa ayahku."

Apa Devan sedang bercerita tentang keluarganya? Kenapa Devan tiba-tiba bercerita tentang hal itu? Aruni merasa Devan tidak perlu menceritakan hal tersebut. Tapi, Aruni hanya diam. Mendengarkan Devan terus berbicara.

"Ibuku selalu keras. Aku pikir, itu adalah bagaimana cara dia mendidikku. Kalau marah, dia memukulku, menyiramku, mengurungku di kamar mandi, menyundutku dengan batang rokok-"

Aruni menarik napas. Itu bukan cara seorang ibu mendidik anaknya. Dengan sedikit takut Aruni terus mendengarkan Devan.

"-bahkan dia pernah memukul kepalaku sampai bocor dengan botol." Tatapan Devan kosong menerawang. Seakan sedang mengingat yang terjadi kala itu. "Dan saat itu... dia sama sekali tidak peduli pada lukaku."

Sementara Aruni merasakkan sesak di dada.

"Sampai aku berumur 10 tahun. Tiba-tiba saja aku bangun di tepi rawa. Dalam keadaan basah dan bau. Aku nggak tahu berada dimana saat itu. Tapi aku sadar, Ibu sudah membuangku."

Milik Tetangga [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang