Malam yang panjang telah berlalu, dan hari yang baru menunggu untuk disambut. Matahari mengintip naik, perlahan menyapu gelap malam dari ufuk timur. Cahaya bersinar menabrak lurus puing-puing dan reruntuhan. Bayang-bayang menyembunyikan sisa-sisa pertempuran besar di Hogwarts.
Kemenangan berpihak pada sisi kebaikan. Pihak sekolah sihir Hogwarts bersama Harry Potter, berhasil mengalahkan pangeran kegelapan. Di sisi lain, Voldemort dan para pengikutnya mengalami kekalahan yang tragis. Banyak nyawa dikorbankan hanya untuk melihat bahwa pada akhirnya, semua angan kejayaan digagalkan oleh cinta berbalut pengkhianatan.
Tidak jauh di bawah, ada jiwa yang merintih, memohon bertemu dengan ajal. Ruangan samar diselimuti kabut tipis. Waktu menjadi konsep yang abstrak, berlalu tanpa disadari. Entah berapa lama sejak pikirannya melayang dalam mimpi, setelah melihat sepasang mata hijau memandangnya dalam penyesalan.
"Matamu sama persis dengan mata ibumu," ucapnya terakhir kali, sebelum bisa ular menyebar pada pembuluh darah di kepalanya, membuatnya tidak sadarkan diri.
"Sudah berakhir," gumamnya dalam hati.
"Aku sudah menepati janjiku. Aku akan segera bertemu denganmu ... Lily."
Sepasang mata hitam, dengan kelopak yang lesu, berkerut, dan hitam-keunguan itu tetap terbuka selagi jiwa pemiliknya dituai pencabut nyawa. Untaian terakhir masa lalu menjadi harapan bagi keselamatan Hogwarts. Dan usahanya yang terakhir, supaya "the boy who lived" dapat tetap hidup.
Pria itu membuka mata, mendapati dirinya berada di tengah-tengah ruangan putih yang tak berujung. Cahaya memancar entah dari mana, cerah melebihi mentari siang hari. Matanya bergerak turun, mengamati pakaian yang dikenakannya. Kemeja putih berkerah tinggi, dengan ujung lengan yang lebar, seperti yang biasa ia kenakan. Hanya saja, yang ini lebih putih dan lebih bersinar. Celana panjangnya pun sama bersinarnya dengan kemejanya. Terutama, karena ia tidak sedang mengenakan jubah dan jas hitam andalannya.
"Severus?"
Pria itu menoleh ke arah suara serak basah yang memanggilnya dari belakang.
"Oh, Albus—"
"Sedang apa kau di sini? Apa kau sudah mati?" tanya pria tua berjubah putih, dengan rambut panjang dan janggut keperakan itu.
Severus menarik nafas panjang.
"Aku akan sangat senang bila memang begitu," jawabnya dengan nada sarkas disertai ekspresi yang datar.
"Tapi ... bagaimana?"
"Ular."
"Kau seorang Slytherin! Bagaimana bisa seekor ular membunuhmu?"
"Aku ingin menanyakan hal yang sama, pada kepala sekolah sihir terhebat yang dibunuh oleh seorang guru ramuan."
Pria tua itu menyipitkan mata, menatap Severus seolah ingin mengomelinya.
"Aku bercanda," ucapnya.
"Aku sedang berhadapan dengan Voldemort, dan ia membunuhku karena berpikir aku pemilik Elder Wand," lanjut Severus.
Albus mengangkat alisnya.
"Hmm, sesuai dugaanku," gumamnya.
Severus memutar bola matanya. "Sungguh, ide yang gila."
"Maaf?"
"Tapi kupikir itu sepadan. Aku tidak perlu bertemu dengan bocah itu lagi, kan?" lanjut Severus.
Albus tersenyum, yang dibalas Severus dengan seringai.
"Aku masih tidak yakin dengan itu. Tapi, sebelum melanjutkan, mungkin kau mau bertemu dulu dengan yang lain?"
KAMU SEDANG MEMBACA
One More Chance [Snape & Harry Fanfiction | Father-Son/Adoption AU] (Indonesia)
Fanfiction[On-Going | Upload Kamis/Jumat] Mei tahun 1998 mengukir kenangan kelam dalam sejarah Hogwarts. Terjadi pertumpahan darah, dan hati tak luput dari kesedihan akan hilangnya nyawa orang yang dicintai. Kematian dan pengorbanan membuka jalan bagi kemenan...