5. Permintaan Maaf

8 3 2
                                    

“Aku sama terlukanya sepertimu. Melihatmu yang semakin menjauh, padahal sebelumnya kita sangat dekat.”

 


Waktu terus merangkak maju. Kedekatan antara Shazea dan Daren semakin berjarak. Komunikasi mereka tidak seintens dulu, Shazea menepati ucapannya, dia membatasi diri dari hal-hal yang berhubungan dengan Daren.

Tidak mudah, akan tetapi Shazea melakukannya. Dia tidak mau menjadi orang ke tiga di antara Daren dan Alana. Shazea menepi.

Hal tersebut membuat Daren gundah-gulana, dia tidak mendapati sapaan hangat dari Shazea lagi, perempuan itu selalu menghindar. Jika bertemu di sekolah pun, Shazea tidak mau berkontak mata dengannya, mereka benar-benar menjadi asing.

Hari ini, sepulang latihan basket, Daren langsung ke rumah Shazea. Dia akan meminta maaf dengan tulus sampai Shazea benar-benar memaafkannya dan mau kembali seperti dulu.

“Shazea ada, Tan?” tanya Daren setelah basa-basi sebentar dengan Dhena.

“Zea, baru aja keluar, katanya sih mau nyari bahan referensi ke Perpustakaan,” tutur Dhena, dia melihat Daren yang sedikit berbeda dari biasanya.

“Oh, gitu. Ya, udah, kalau gitu Daren pamit dulu ya, Tante.” Meraih tangan untuk salim, kemudian berlalu dari hadapan Dhena. Orang tua Shazea tersebut hanya menatap bingung kepergiannya, dia menggeleng heran.

“Anak muda zaman sekarang, susah dimengerti,” ujar Dhena seraya masuk ke dalam rumah.  

Sementara itu, Daren sedang dalam perjalanan ke Perpustakaan yang sering mereka kunjungi ketika mencari buku untuk bahan tugas sekolah. Dia juga ingat, jika Shazea suka sekali pergi ke sana, katanya berada di sana itu menenangkan.

Tidak membutuhkan waktu yang lama, Daren sudah tiba di sana. Segera mengayun langkah menuju ke tempat favorit Shazea, dia yakin perempuan itu berada di sana.  

Langkah Daren terhenti dengan pemandangan yang ada di depannya. Shazea sedang bersama seorang pemuda, mereka terlihat sudah akrab dan juga begitu hangat. Sesekali mereka bertukar pandang, kemudian kembali fokus pada buku yang dibaca.

“Hei! Awas dong, jangan berdiri di tengah jalan, orang mau lewat jadi susah,” ucap seorang perempuan yang merasa terhalangi dengan keberadaan Daren di sana.

“Eh, sorry, Mbak.” Daren segera menyingkir dan memberikan jalan untuk orang itu.

Shazea mendengar keributan tersebut, dia mendongak ke sumbernya. Netranya membulat karena mendapati Daren berada di sana, sedang melihat ke arahnya.

“Daren,” ucap Shazea lirih. Matanya bertemu dan mengunci pada satu titik yaitu Daren yang juga sedang menatapnya.

Shazea yang semula duduk, berdiri tanpa memutus kontak mata dari Daren. Kakinya seperti mengakar ke lantai ubin, dia tidak berniat mendekat, Shazea hanya menatap dengan mimik wajah datar. Namun, matanya tidak bisa bohong, dia berkaca-kaca.

“Biarin aja, Ze, orang ribut jangan diliatin,” ucap Athaya tanpa melihat ke arahnya.

Tidak kunjung mendapat sahutan, Athaya mengalihkan pandangan kepada Shazea yang masih mematung. Kemudian, mengikuti arah pandangan Shazea, dia mendapati seorang pemuda yang tengah memperhatikan mereka.

Athaya segera berdiri, menepuk pelan bahu Shazea, perempuan itu terhenyak. Kemudian, tersadar dari lamunannya, dia melihat ke arah pemuda yang ada di dekatnya. 

“Eh, kenapa, Tha?” tanya Shazea gelagapan.

“Udah selesai baca bukunya?” Athaya memperhatikan Shazea, kemudian melirik ke arah Daren, dia mengira perempuan itu tidak nyaman dengan kehadiran orang asing yang terus menatapnya.

Utuh tapi Runtuh Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang