Kamu hebat, sudah mampu bertahan dan sampai di titik yang sekarang. Selagi berdiri di atas kaki sendiri, maka tidak ada alasan apa pun untuk tidak bahagia.
Waktu masih menunjukkan pukul delapan pagi. Namun, Dhena sudah kedatangan seseorang yang bertamu untuk mencari putrinya. Setelah berbasa-basi sebentar, orang itu dipersilakan masuk dan diajak menunggu di dalam saja.
Selagi orang itu menunggu, Dhena segera pergi ke lantai dua untuk membangunkan Shazea.
“Nak, di luar ada temen kamu,” ucap Dhena dari depan pintu kamar.
Shazea masih tidur, pintunya dikunci, itu sebabnya Dhena tidak bisa masuk ke kamar anaknya. Dia sudah mengetuk beberapa kali, tetapi masih belum ada tanda-tanda Shazea terbangun.
Karena tidak kunjung ada sahutan, akhirnya Dhena menyerah dan memilih kembali ke ruang tamu. Perempuan yang terlihat cantik dengan rambut yang disanggul itu tersenyum hangat begitu melihat teman Shazea masih setia duduk menunggunya di sana.
“Shazeanya gak ada, ya, Tan?” tanyanya begitu Dhena menghampiri dia.
“Ada, tapi masih tidur,” jawab ibu satu anak itu lugas. Orang yang diajak bicara hanya tersenyum mendengarnya.
Dhena duduk di sofa yang berhadapan dengan orang itu, dia sama sekali tidak melunturkan senyumnya.
“Gih, bangunin ke kamarnya aja.” Dhena meraih majalah yang ada di atas meja. Kemudian, membuka halamannya secara acak.
“Hah? Emang boleh, Tan?” tanyanya terkejut, dia sampai ternganga.
Dhena tersenyum. Kemudian mengangguk, “Boleh, ‘kan Tante yang minta.”
“Kalau gitu, aku bangunin Shazea ya, Tante. Aku izin ke sana,” ucapnya dengan sopan. Hal tersebut membuat Dhena terkesan.
Setelah mendapat persetujuan. Dia segera menaiki anak tangga dan pergi ke kamar Shazea. Pintunya masih dikunci, itu berarti perempuan itu belum bangun juga.
Mengetuk pintu beberapa kali. Namun, tidak ada sahutan juga. Bahkan, setelah beberapa kali dipanggil, tetapi Shazea tidak mendengarnya.
“Shazea, ini gue.” Dia mengetuk sekali lagi, berharap perempuan itu dapat mendengarnya.
Sementara itu. Si empunya kamar masih bergelung nyaman di dalam selimut. Suhu AC sengaja disetting supaya dingin.
“Zea, lo bisa denger gue ‘kan?” panggilnya lagi. Tangannya masih menempel di pintu dalam posisi mengetuk.
Suara orang yang memanggilnya seakan berada di antara mimpi dan kenyataan. Shazea menyahut, tetapi suaranya tidak keluar.
Sampai pada akhirnya, orang yang berada di luar menyerah dan hendak pergi. Namun, sebelum itu dia mengetuk untuk yang terakhir kalinya. Berhasil, Shazea bisa mendengarnya.
“Siapa? Mau ngapain?” cecarnya dengan suara khas orang baru bangun tidur. Sedangkan, matanya masih terpejam.
Orang yang menunggunya menjadi urung pergi. Dia berbalik dan kembali menunggu di depan pintu berwarna putih tersebut.
“Zea, ini gue. Lo yang minta gue dateng ke sini ‘kan?” jelasnya, setia berdiri di depan pintu yang masih terkunci tersebut.
Shazea langsung mendapatkan kesadaran sepenuhnya. Bangkit dari tempat tidur dan berjalan gontai untuk membuka pintu.
Begitu sudah terbuka, dia mendapati seorang pemuda sedang berdiri di sana, mereka saling bertemu mata.
“Athaya?!” Shazea memekik. Matanya melotot dengan mulut yang sedikit terbuka.
“Emang, lo pikir gue siapa?” Athaya tersenyum tipis sekali, sehingga perempuan itu tidak menyadarinya.
Shazea terlihat sangat natural. Rambut yang acak-acakan, wajah kusut karena baru bangun tidur serta baju piyama bermotif kupu-kupu yang dia kenakan sedikit berantakan.
“Aaaa! Jangan liat! Gue belum mandi!” Shazea mendorong bahu Athaya supaya berbalik badan. Pemuda itu patuh.
“Lagi pula gue udah liat, Ze,” ujarnya seraya tertawa. Athaya tidak kuasa melihat ekspresi Shazea yang menurutnya lucu, dia membekap mulutnya guna meredam suaranya.
Pintu dibanting begitu saja. Shazea segera pergi ke kamar mandi dengan langkah yang dihentak-hentak. Sepanjang membersihkan dirinya, dia terus merutuki kelakuannya.
“Aargh! Bisa-bisanya Athaya liat muka bantal gue! Sumpah malu banget!” gerutunya seraya menggosok gigi. Dia bisa melihat pantulan dirinya di cermin.
Segera menyelesaikan aktivitasnya. Shazea hanya mengenakan kaos berlengan pendek warna biru dengan celana jeans yang senada, tidak lupa dia juga memakai pelembab bibir agar tidak terlalu pucat. Setelah itu, dia segera turun untuk menemui Athaya yang sudah menunggunya di ruang tamu.
“Ini dia yang kita tunggu-tunggu, sepertinya Tante harus sering minta kamu datang ke sini buat bangunin Shazea.” Dhena berujar seraya tersenyum penuh arti.
Orang yang dimaksud berjalan mendekat ke arah mereka berada. Kemudian, memilih duduk berdampingan dengan Dhena.
“Ih! Mama, di sini ada Atha, lho.” Shazea merengut, dia menyikut lengan Dhena agar tidak mengatakan hal yang membuatnya malu di depan pemuda itu.
“Mama emang suka bercanda, Tha.” Shazea tertawa canggung. Hal tersebut justru membuat pemuda itu tersenyum lebar.
“Oke, Mama ngalah deh.” Dhena sudah merasa cukup untuk menggoda putrinya di hadapan Athaya.
“Kalian udah rapi gini mau ke mana?” lanjutnya seraya memindai dua remaja itu secara bergantian.
Shazea dan Athaya menjawab bersamaan, “Perpustakaan.”
Mereka terdiam, saling melirik satu sama lain. Kemudian, tersenyum kikuk. Dhena yang melihatnya seketika tertawa.
“Mama restuin kalian,” ujar Dhena lugas. Sontak membuat keduanya melotot.
Padahal masih pagi, tetapi Athaya sudah merasa panas dingin, dia mengusap tengkuknya salah tingkah. Sementara Shazea, dia memberi kode kepada Dhena dengan matanya yang mengerjap beberapa kali, disusul geraman halus yang menandakan dia ingin mamanya berhenti menggoda mereka.
“Sebelum pergi, ayo sarapan dulu. Athaya pasti belum makan juga ‘kan?” tanya Dhena begitu perhatian. Dia sempat melirik anaknya, sebelum akhirnya menatap pemuda di depannya.
Awalnya tampak ragu-ragu, tetapi akhirnya Athaya menjawab, “Belum, Tan.”
“Kalau gitu, kita sarapan bareng. Ayo! Jangan sungkan.” Dhena menggiring langkah mereka untuk segera ke meja makan.
Shazea pun akhirnya mengajak pemuda itu untuk mengikuti apa yang dikatakan mamanya. Dia juga sempat meminta maaf karena mamanya suka sekali bercanda. Beruntung, Athaya dapat memakluminya.
Papa Shazea sudah berada di meja makan. Dia menyambut baik kehadiran Athaya di sana, mereka sempat bertukar tanya sebelum akhirnya sarapan. Orang tua Shazea memang selalu senang jika teman anaknya berkunjung ke rumah, baginya mereka jadi seperti mempunyai banyak anak.
Setelah selesai sarapan. Shazea dan Athaya berpamitan, mereka pergi dengan mobil pemuda itu. Tidak ada obrolan berarti, mulai dari berangkat hingga setengah perjalanan mereka hanya sibuk dengan pikirannya masing-masing.
“Zea, hari ini lo cantik banget,” puji Athaya memecah keheningan di dalam mobil. Pemuda itu melirik sekilas, dia tersenyum.
Mendengarnya membuat perempuan itu menjadi tersipu malu, dia sampai tidak bisa berkata-kata. Hal tersebut disadari oleh Athaya, spontan membuatnya tertawa.
“Lo, pasti ngetawain gue?” tuduh Shazea seraya memasang raut wajah galak.
“Nggak gitu, Ze. Gue ketawa karena lo itu lucu,” ungkap Athaya lugas. Dia masih tertawa, membuat matanya menjadi sipit.
“Pret! Bohong!” seloroh Shazea, memutar bola matanya malas. Dia memalingkan muka dan melihat ke luar jendela.
Tanpa diduga, Athaya menepikan mobilnya. Kemudian, mendekatkan wajahnya kepada Shazea. Sontak, membuat perempuan itu menjadi salah tingkah, wajahnya menjadi bersemu merah. Bahkan, dia sampai menutup matanya dan tidak berani bergerak sedikitpun.
“Lo beneran cantik,” bisik Athaya. Bersamaan dengan itu, terdengar bunyi klik pada seatbelt yang ada di samping Shazea.
Setelah membantu memasangkan seatbelt yang tidak terpasang dengan baik, Athaya kembali menarik dirinya untuk duduk dengan benar di kursi kemudi. Seulas senyum terbit.
“Sorry, gue cuma gak mau lo kenapa-kenapa, Ze. Soalnya, Tante Dhena dan Om Riko udah nitipin lo tadi.” Athaya berujar apa adanya.
Perlahan, Shazea membuka matanya. Dia memperbaiki posisi duduk guna menetralisir perasaannya yang salah tingkah. Jantungnya masih berdetak tidak karuan.
“Iya, Tha, gak apa-apa.” Hanya kalimat itu yang Shazea katakan. Batinnya kembali merutuki diri sendiri yang sudah berpikir terlalu jauh.
Setelah itu, Athaya menjalankan kembali mobilnya dan memacunya dengan kecepatan sedang. Hari Minggu, lalu lintas cukup ramai sehingga dia harus mengurangi kecepatannya.
Setibanya di tujuan. Setelah Athaya memarkirkan mobilnya, mereka berjalan beriringan masuk ke Perpustakaan. Aroma buku lama dan buku baru memenuhi indera penciuman, membuat senyum di wajah mereka terbit dan terus mengembang.
“Tha, ke tempat biasa,” ujar Shazea, berjalan lebih dulu ke pojok yang selalu menjadi kesukaannya ketika berkunjung ke sini.
“Kamu tunggu di sana, aku mau ke bagian sejarah dulu.” Athaya menyahut. Spontan, membuat Shazea menghentikan langkahnya.
“Lo suka sejarah?” tanya Shazea, tanpa menoleh dia mengernyit karena memikirkan pemuda itu.
“Suka, tapi buku tertentu aja,” jawabnya. “Gue ke sana dulu.”
Athaya pergi ke arah yang berbeda. Sedangkan, Shazea masih tertegun di tempatnya. Namun, dia tidak mau memikirkan itu sehingga bergegas ke tempat duduk yang menurutnya nyaman tersebut.
Shazea berkeliling di rak buku bagian sastra bahasa dan novel. Betapa senang bukan main ketika menemukan sebuah buku yang sedang dia cari-cari. Setelah mendapat apa yang menjadi incarannya, Shazea membawanya ke pojok membaca.
Athaya masih belum datang. Pemuda itu masih berkeliling dan mencari buku yang juga sedang menjadi incarannya.
“Dapat!” seru Athaya memekik senang. Sebuah buku tebal berhasil dia temukan.**
Tunggu kelanjutannya..
KAMU SEDANG MEMBACA
Utuh tapi Runtuh
Teen FictionShazea tertawa miris, "Selamat atas kebahagiaan lo, Ren. Akhirnya, hati lo kembali utuh, tapi sekaligus hati gue ikut runtuh." *** Kedalaman cintamu hari ini adalah kedalaman lukamu di kemudian hari. Mencintai orang yang belum selesai dengan masa l...