03. We Don't Have Forever

20 3 0
                                    

Hidup itu panggung rasa, kita menari-nari di atasnya. Kita merelakan diri untuk apa pun yang semesta hidangkan untuk kita. Termasuk soal makanan. Satu cara untuk menikmati hidup adalah mengubah-ubah menu makananmu.

***

"Leen, toko peralatan fotografi di kawasan sini di mana, dah?" Gue menepuk bahu Aleen yang sedang menghisap rokoknya di teras rumah.

"Ada di sekitaran Ahmad Yani. Kenapa, Man?"

"Gue mau beli kamera."

Aleen refleks menatap gue bingung, dia bahkan menaruh rokoknya ke asbak. "Bukannya lo bilang mau beli gitar baru sama beli vinyl? Itu juga, kan, alasan lo mampir ke Jogja."

Gue memutuskan untuk menghampiri Jogja setelah beberapa bulan tinggal di Bandung seorang diri. Awalnya, gue gak punya alasan untuk menetap lama di Jogja, selain untuk membeli vinyl di salah satu record store dengan koleksi yang gue cari juga membeli gitar.

But, now it seems like I will stay any longer.

"That's your reason, Ven." Aleen kembali mengingatkan gue.

"Well, I guess I found another reason."

Aleen menangkap senyum yang merekah di bibir gue. "That's her, right? Because of her."

Cuman Aleen salah.

"No, Man. That's because of myself. I find my joy here."

"Joy di kalimat lo itu sama dengan Maristela, cewek yang ngasih sweter sagenya semalam."

Gue hanya tertawa dengan sindiran Aleen.

"Cuman coba dengerin gue, Ven .... Lo rela beliin kamera buat dia? Lo pikir dia mau? I mean lo berdua belum lama kenal!"

"Gak tau, Bro, Gue udah kebayang dari sifatnya yang ketus itu. Paling kalau gue bilang, 'Maristela, kamu mau kalau aku beliin kamera?' gue yakin dia akan jawab, 'oh, aku pengen uangnya aja.'"

"HAHAHAHAHAHAHA! Gue seumur-umur jadi pemilik kafe langganan dia baru tau dah dia kek begitu!"

"Aneh, kan? Perangainya itu yang bikin gue kadang jadi segan sama dia."

"Cuman gue akuin, sih. Maristela emang dingin orangnya, beberapa kali juga ada cowok yang deketin, dia pasti nolak. Dulu Alge pernah deketin dia, tu cowok minta nomor teleponnya dan lo tau gak Maristela ngasih apa?" Aleen udah siap tertawa ngakak.

"Hah ngasih apa, ngasih apa?"

"Nomor hematolog!"

Gue terdiam sambil melipat bibir, berpikir dan menahan tawa di waktu bersamaan. "Hah, di luar nalar!"

"Iya, kan? Dikira si Alge anemia kali!"

Hematolog? Serius Maristela se-random ini sampai ngasih nomor dokter ahli darah?

Teras rumah nuansa kayu itu dipenuhi tawa kami berdua.

"Cuman serius, Man. Kamera itu harganya bukan main, loh .... Gue ngarti lo emang anak orang tajir, cuman semenjak lo memisahkan diri dari habitat, lo nyari duit sendiri, kan? Serius mau lo habisin buat seorang cewek?"

"Gak masalah, gue yang mau. Beli vinyl sama beli gitar bukan yang gue mau lagi."

Gak ada, kan, aturan di hari keberapa kita punya hak buat memberi sesuatu sama seseorang? Karena gue gak mau menyesal karena menunda-nunda waktu untuk memberi sesuatu sama Maristela.

Manusia gak punya selamanya. Gue harus lakuin sekarang, apa pun hal baik yang gue mau lakuin sekarang.

Aleen selalu menjadi sahabat baik yang dewasa. Gue bertemu dia ketika gue membentuk sebuah band kecil di SMA dan bubar karena orangtua gue gak menyetujui itu. Kami bertemu di sebuah record store dan merasa sefrekuensi juga punya kesukaan yang sama. Kemudian dia pindah ke Jogja, kampung halaman orangtuanya dan berakhir membangun sebuah kafe lewat modal orangtuanya. Kemudian kami berpisah dan gue merasa kesepian lagi setelahnya.

Garis SekatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang