04. Her Smile, My Way Back

11 3 0
                                    

06 Mei 2024: Aku baru revisi bagian ini hehe:)

***

"Aleen sialan." Gue mengumpat ketika mendapati galeri yang Aleen maksud adalah sebuah bangunan tua dengan tulisan 'Panti Jompo Sentuhan Kehidupan.'

Dia nipu gue waktu gue tanya ke mana harus gue bawa Maristela pergi karena gue ingin hari ini lebih spesial dari hari kami berdua sebelumnya.

"Kenapa kita di sini?" Maristela bertanya.

Cuman nampaknya, keputusan absurd yang gak pernah kita pertimbangkan layak buat dicoba. Gue menatap Maristela yang masih berdiri tepat di sebelah gue.

"Pernah main ke panti jompo?"

Maristela menggeleng.

"Well, kalau gitu ini layak buat dicoba. Ayo masuk."

Maristela gak banyak protes, dia mengekor di belakang gue ketika beberapa suster menatap dengan penuh senyum ke arah kami berdua.

"Selamat ulang tahun."

"Selamat ulang tahun."

"Selamat ulang tahun, Rasmi. Selamat ulang tahun."

Seolah ini benar-benar waktu yang tepat untuk kami berdua merayakan hari. Ternyata panti ini gak terbuka untuk umum. Cuman karena ada salah satu orang tua yang menetap di sini berulang tahun, panti asuhan dibuka untuk beberapa orang mampir dan menikmati hidangan. Gue meraih tangan Maristela yang masih kebingungan dengan sekelilingnya.

Seorang kakek bermain ukulele, seorang nenek dengan rambutnya yang sudah memutih bernyanyi di depan kawan-kawannya dengan suara yang masih bertahan merdu di usianya. Kedua orang tua itu berdiri dengan percaya diri di atas parlet, menjadi pusat perhatian kawan-kawannya.

"Ayo."

"Ini konyol, Raven. Kenapa kita di sini?" Dia sedikit berteriak untuk menyaingi bisingnya ruangan.

Gue membawanya berdiri di sebelah seorang kakek yang sedang menghisap cerutunya, dia ikut bersenandung sambil tertawa dengan kawan-kawannya.

"They are dancing, Maristela."

"Yes, and?"

"Kita juga harus ikut menari."

Gue menarik tangannya ke tengah-tengah ruangan bernuansa klasik yang hampir seluruh furniturnya dari kayu. Kami, dua anak muda yang gak jelas kedatangannya, ikut berbaur—menari di antara orang tua renta yang masih memiliki candu dan sukacita dalam menari siang ini.

Kemudian alunan musik berubah.

"Susah susah mudah kau kudekati

Kucari engkau lari kudiam kau hampiri

Jinak burung dara justru itu kusuka

Bila engkau tertawa hilang semua duka."

Kakek pemain ukulele tadi bernyanyi di sebelah perempuan yang hari ini katanya genap 60 tahun.

Lagu Iwan Fals yang berjudul 'Aku Sayang Kamu' itu mengudara di bangunan tua yang hangat ini. Maristela mulai menggerak-gerakkan tubuhnya karena irama musiknya memang mengundang kami untuk merasa bersukacita.

Belum banyak yang gue kenali dari seorang Maristela. Cuman gue selalu menemukan hal yang sama di dalam diri dia setiap kali kita bertemu. Matanya ... matanya gak pernah menggambarkan semangat atau gairah.

Maristela selalu sama. Murung, datar dan misterius. Yang mana gue gak suka itu. Gue ingin dia punya semangat dan binar di matanya karena setiap kali seseorang punya binar di matanya, di situ ada semangat, di situ ada kebahagiaan.

Dan gue bisa melihat keinginan gue Tuhan kasih izin terjadi.

I realize that she has a light in her eyes right now. She has that. She has light in her eyes. I assume she's happy right now.

Gue tersenyum melihat betapa lebar senyumannya, tanpa dia sadari atau engga.

Kemudian tiba-tiba kakek cerutu tadi bersorak yang mana membuat suasana semakin menyenangkan bahkan ada kakek dan nenek yang membuat ular kemudian mengelilingi ruangan.

"Engkau aku sayang sampai dalam tulang

Banyak orang bilang aku mabuk kepayang

Aku cinta kamu bukan cinta uangmu

Aku puja selalu setiap ada waktu."

Kemudian seorang lelaki renta naik satu lagi ke panggung dengan harmonika di tangannya. Alang-alang yang memberi nada-nada mempesona itu seolah membuat atmosfer di sekitar kami semakin bergetar dan mengalun-alun.

"Ku suka kamu

Sungguh suka kamu

Ku perlu kamu

Sungguh perlu kamu!"

Kemudian hampir semua dari mereka bersorak menyanyikan penggalan lagu selanjutnya. Tangan mereka terangkat ke atas,

pinggul mereka gak lelah buat bergoyang—terhanyut dengan alunan lagu.

Gue dan Maristela ikut terhanyut, kami berhadap-hadapan sambil bergandeng tangan—tertawa menyanyikan lagu lawas itu dengan sangat dan terlalu bahagia. Banyak hal yang baru hari ini gue lihat dari Maristela.

Cuman Maristela masih ada kepingin Maristela yang seperti 'itu.'

Ketika gue lihat matanya yang menyipit waktu tertawa, gue tersadar tetap akan selalu ada kedalaman yang gak bisa dijamah siapa pun soal dia. Cuman gue sangat teramat bersyukur bisa Tuhan kasih jalan pulang seperti ini, senyumannya adalah jalan pulang gue. Rumah di mana gue merasa begitu damai dari ketidakramahan semesta.

"Maristela!" Gue berteriak mengalahkan suara nyanyian mereka yang memenuhi ruangan.

Dia mengangkat kedua alisnya, merespon tanpa bersuara.

"Are you happy?"

"Never been like this."

Gue tersenyum.

"Ku suka kamu

Sungguh suka kamu."

Kemudian di antara tangan-tangan dan tubuh renta yang pernah mati-matian merajut mimpi, kami berdua masih tetap menari.

"Ku suka kamu

Sungguh suka kamu."

Kami sama-sama memeluk tiap detik berharga di tengah hiruk-pikuk suara sumbang dan merdu yang mengidolakan Iwan Fals.

"Ku perlu kamu

Sungguh perlu kamu."

Langkah-langkah kami menari di antara reruntuhan waktu,

diri sendiri berharap ini enggan berakhir,

semoga dia juga begitu.

Kalau bisa memohon pada waktu,

tolong berhenti sejenak,

karena yang terjadi sekarang menyenangkan.

karena yang terjadi sekarang menyenangkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Ditulis pukul 1 lewat 37 menit.

Semoga bersua lagi di bagian selanjutnya.

Garis SekatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang