Happy Reading!
♡♡♡
Bel istirahat sudah berbunyi beberapa menit yang lalu. Amara yang sibuk merangkum materi tampak sumringah karna akhirnya bisa memanjakan perutnya dengan makanan kantin.
Setelah membereskan semua yang ada di atas meja, Amara segera melangkah menuju kantin, tempat yang diinginkan perutnya sejak beberapa jam tadi. Namun setelah dekat dengan kantin ia malah dihadang oleh kerumunan yang entah sedang terjadi apa, hingga membuat jalan memasuki kantin jadi terhalang.
Sementara itu dari dalam kantin dua orang yang tampak Amara kenali berjalan keluar hingga membuat atensinya beralih ke mereka yang sedang berjalan sambil tertawa lepas, dimana si cewek memukul dengan pelan bahu si cowok yang berhasil menggodanya.
Tanpa pikir panjang Amara segera mengejar mereka. Ia tak berpikiran negatif, tapi melihat raut wajah kesenangan cewek itu membuatnya bertanya-tanya apa yang sedang mereka bahas.
Setelah berhasil menguntit, Amara sampai di perpustakaan dimana sedang banyak orang. Ia melihat sepasang manusia itu sedang memilah buku dengan mulut yang entah sedang membaca atau berbicara tanpa saling memandang, karna perhatian keduanya fokus ke buku namun sesekali saling melirik.
Tak tahan dengan itu akhirnya Amara memilih memangkas jarak dengan cara bersembunyi dibalik rak khusus kamus, yang dimana jarak antara ia dan mereka hanya beberapa langkah. Berjalan tiga langkah saja cukup untuk menyergap mereka.
"Aku butuh jawaban atas pertanyaan kemarin. Kamu mau, kan, jadi pacar aku?"
Amara terperangah. Entah siluman manusia apa yang ia lihat saat ini karna beberapa saat lalu cowok itu masih merayu dan menggodanya.
"Kalau kita pacaran gimana sama Amara?"
Kini buku dipegang tak lagi dipandang, justru mereka saling memandang. Si cowok mengambil buku yang ada di tangan cewek lalu menaruhnya asal dan tanpa merasa bersalah karna sudah menaruh buku sembarangan, ia memegang kedua tangan yang ada dijangkauannya itu.
"Itu sih gampang. Lagian aku udah muak pacaran sama cewek yang hidupnya suram kayak dia. Jadi kamu nggak perlu mikirin itu, ya?"
Amara sandarkan tubuhnya yang tegang di rak buku. Tidak, ia tidak sedih ataupun kecewa melainkan marah. Marah karna harga dirinya terluka atas omongan kurang ajar cowok itu.
Decihan keras keluar dari mulut Amara. Ia tahu bumi ini dihuni beragam manusia tapi kenapa ada yang se-tidak tahu malu itu?
Tak terima di rendahkan Amarapun memutuskan mengambil tindakan. Kakinya melangkah mendekati mereka.
"Buku Siksa Neraka yang cocok untuk manusia bermuka dua mana, ya?" Amara menyindir dengan suara agak keras sambil pura-pura kesulitan mencari buku.
Tentu saja aksi berani tersebut membuat mereka yang sedang melakukan perbuatan terlarang di perpustakaan itu tersentak kaget, terutama si cowok yang langsung menyentak tangan yang digenggamnya begitu menyadari kehadiran Amara
Amara berbalik menghadap mereka. Menghunuskan pedang tajam melalui sorot mata ke arah mereka berdua, tapi dengan senyuman melengkung di bibirnya.
"Duh gimana, ya? Gue sebenernya mau nendang lo sampe raknya roboh saking kesalnya tapi, nggak mungkin kan gue permaluin cowok sok keren kayak lo di depan cewek se.can.tik ini?" Amara menekan beberapa kata tertentu pada ucapannya untuk memberi sinyal betapa kesalnya ia sekarang.
Tak sampai di situ Amara mendekati Si cowok yang bergetar ketakutan karna berpikir Amara akan menamparnya, ah, atau mungkin ... menendangnya?
"Lo tau kan julukan gue BMB alias 'Bukan Manusia Biasa'? Jadi, jangan sampai setelah ini lo nampakin diri di depan gue. Kalau lo berani, riwayat lo tamat saat itu juga."
Amara kembali ke posisi semula setelah membisiki cowok itu sesuatu yang mungkin terdengar menakutkan bagi orang bermental tempe seperti dirinya.
"Ya meskipun gue tau lo nggak bakal berani saking malu atau mungkin takut? Tapi tetap waspada sama kalimat terakhir."
Puas. Itu yang Amara rasakan. Meskipun harus dengan cara mengancam yang penting ia merasakan batu yang menimpa tombol amarahnya hancur dan melebur.
***
"Kenapa? Kenapa gue di panggil?" Amara bertanya dengan tergesa-gesa pada teman sekelasnya, tapi yang ditanyai hanya diam membisu.
Ia baru saja kembali dari menenangkan diri. Temannya mengirimkan pesan bahwa ada masalah yang berpotensi menjadi bencana buruk. Mendengar itu tentu saja Amara segera berlari ke kelasnya.
"Beneran dia ngelakuin itu?"
"Nggak nyangka, ya, ternyata dia kayak gitu."
"Gue kira orang pinter kayak dia tuh suci, ternyata munafik."
Tak ambil pusing semua bisikan itu Amara pergi menuju tempatnya. Jantungnya seperti berhenti mendadak melihat apa yang ada di atas meja, dimana meja itu kosong saat ia tinggalkan tadi.
"Kami kira lo bukan orang yang kayak gitu. Walaupun nggak menutup kemungkinan lo bisa berbuat lebih buruk, sih."
Amara melayangkan tatapan tajam kepada orang yang berkata seenak jidatnya itu, tapi ia tak bisa menjawab saking konyolnya situasi ini.
Amara akan tetap percaya bahwa masih banyak orang tulus di dunia ini. Tapi, melihat semua tatapan menghina, merendahkan, dan mencaci itu membuatnya ragu. Bahkan satupun dari mereka tak ada yang memihaknya. Amara berharap siapapun mengajaknya diskusi tentang masalah ini, membelanya, atau setidaknya menyangkal.
"Anak OSIS yang lagi ngerazia yang nemuin itu. Sori Ra, masalah ini gue nggak bisa bela lo."
Amara tak mengindahkan ucapan itu, ia sibuk meneliti raut wajah si pembicara. Mata sendu itu berhasil membuatnya tak bisa berkata. Ia melongos kesal.
"Oke. Nggak masalah. Gue bisa beresin ini sendiri."
Hening sesaat kemudian. Amara menyugar rambutnya ke belakang. Ia menghela napas gusar. Saat ini ia masih berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi. Bahkan masalah tadi saja belum bisa membuatnya mengerti alasannya.
"Amara Sabila Putri, lo dipanggil ke ruang guru."
Pandangan Amara berlari jauh ke depan, melewati orang yang berdiri di dekat pintu dan hilang entah kemana. Hal buruk apapun yang akan terjadi setelah ini, ia berharap semoga akhirnya tetap baik-baik saja.
Sama seperti yang terjadi selama beberapa tahun belakangan.
===
Jangan lupa vote and comment agar cerita berlanjut dengan lancar♥
KAMU SEDANG MEMBACA
Something Between Us
Teen FictionAmara terpaksa harus menyelesaikan semua kesalahpahaman di masa lalu setelah lima tahun menghilang. Lalu, apa yang akan terjadi? Akankah ia bisa mengubah pandangan terhadap masa depan jika kesalahpahaman itu terselesaikan?