SBU| Dua

58 43 5
                                    

Happy Reading!

♡♡♡

Amara menggeret kopernya di jalanan berbatu yang becek dan airnya berwarna kuning keruh. Rasa ingin mengumpat tak bisa ia sembunyikan kala sepatu putihnya yang sudah lusuh semakin tampak mengenaskan karna terkena air.

Bagi seseorang yang bukan lahir dari darah petani, hujan adalah sesuatu yang dinanti sekaligus dicaci setelah reda, karna dampak buruk yang diberikan lebih banyak dan merepotkan. Memang benar, hujan hanya bisa dinikmati saat turun. Saat sudah reda yang bisa dilakukan hanya mengeluh.

Setelah berjalan beberapa meter dijalanan becek, Amara akhirnya sampai di kompleks kost-an putri yang tampak sepi. Ia mulai menggeret kopernya ketika menginjak jalanan yang rata dan kering.

Sesampainya ditujuan, ia berdiri sejenak memandang sebuah kost-an. Tempat itu tampak tenang selama beberapa saat hingga akhirnya seseorang keluar dari sana dengan tergesa-gesa

"Aish kampret gue telat!"

Kehadiran Amara tak disadari oleh orang yang berkomat-kamit sambil memanaskan motor tersebut.

Deheman berhasil membuatnya mengalihkan pandangan. Mata yang dilapisi kacamata minus itu melebar melihat siapa yang berdiri tegak ditemani koper hitam berukuran besar.

"AMARA?! IS THAT YOU BEB? Oemjiiii!" Orang itu merentangkan tangan sambil berlari ke arah Amara, memeluknya kencang hingga membuatnya kesulitan bernapas.

"Iya ini gue, tapi pliss jangan lebai." Amara menyingkirkan tangan orang yang memeluknya itu dengan tampang jijik. Sisi gengsinya terguncang hebat mendapat perlakuan seperti itu, tak terima.

Orang itu menyengir sambil berkata, "Sori sori." Setelah itu ia menepukkan tangannya dengan tampang seakan teringat sesuatu. "Penyambutannya nanti aja, ya. Gue udah telat, bisa berabe gue kalau nggak sampe dalam sepuluh menit."

"Kuncinya?"

"Oiya!"

Setelah suara deru motor menghilang, Amara langsung membuka pintu kost tersebut tanpa merasa segan. Toh ia sudah memegang kuncinya.

Tak butuh waktu lama bagi Amara untuk beradaptasi dengan tempat yang akan ditinggalinya  itu. Bahkan ia sudah menyusun isi kopernya di kamar yang semula kosong.

you:
Pulang jamber?

Centang satu. Amara meletakkan ponselnya di meja makan dan mulai menjelajahi dapur. Tersedia beberapa merek mi baik kuah maupun goreng, dan juga masih tampak fresh.

Beralih ke kulkas, ketika benda itu dibuka hanya lima butir telur, cabai merah giling, bawang-bawangan, dan seledri yang ia dapati. Wajar sih, memangnya ia bisa berharap apa jika menu yang ada hanya mi instant?

Sudah ia putuskan untuk memasak bahan yang ada dikulkas. Untuk orang yang bukan pemilih makanan, memakan menu yang sama setiap hari bukanlah sesuatu yang bisa dikeluhkan. Selagi bisa makan harus bersyukur.

***

Di kediaman Adam, sebuah keluarga yang terdiri dari kakek dan dua cucunya tampak menunggu sesuatu. Namun, ketenangan tersebut terusik ketika pria paruh baya yang duduk di kursi utama yang merupakan pemegang tahta tertinggi mulai membuka suara.

"Kamu beneran sakit? Kok kakek nggak percaya," tanyanya dengan mata memicing kepada cucu keduanya.

Ezra, yang saat ini memakai kaos oblong alih-alih seragam sekolah, memasang wajah sengau yang ia buat seperti sedang demam agar kakeknya percaya bahwa ia sedang sakit. Padahal karna ia belum cuci muka sebelum turun untuk sarapan. Lalu, untuk menambah kesan kuat pada aktingnya, ia pura-pura batuk sambil sesekali menepuk dada.

Something Between UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang