PROLOG

40 6 0
                                    

Mereka saling terikat walau tinggal di bantala Nusantara yang berbeda. Mengukir aksara yang membekas di setiap detiknya, di sebuah kota yang terkenal akan julukan 'istimewa' milik nya.

Tiga orang terpilih, yang pada akhirnya telah diputuskan Tuhan untuk bertemu.

•●•

Ramai

Panas

Pengap.

Tiga kata yang mewakili gundahnya hati seseorang, atau bahkan ribuan orang yang tengah berdiri diteriknya sinar Matahari pada Pasar Legi Kotagede di Jogja kala itu.

Nara mengelap peluh keringat yang memenuhi dahinya dan perlahan menyucur ke bawah, membasahi kerah dari baju yang tengah dipakainya.

"Haduh Bule, maye je kogak ratinye ne. Panas betol"
(Haduh Bi, kenapa kaya gini. Panas banget)

Nara terus mengelap keringatnya. Ditangan anak itu sekarang penuh dengan belanjaan, mau dikanan ataupun dikiri yang membuatnya semakin kesusahan untuk mengelap keringat yang terus bercucuran dari dahinya itu.

Sang bibi memperhatikan, ia hanya tersenyum kecil memaklumi atas tingkah anak gadis yang ada disampingnya ini.

"Ngapuro Bule yo Nar. Kamu pasti belum terbiasa ya, karna Sumatera kan biasanya hujan terus. Dingin."
(Maafin)

Ya.. Walau tidak sesering itu. Kadang Sumatera juga bisa menjadi begitu panas.

Nara hanya mengangguk, kemudian menjawab "Iya Bule, Nara ngerti kok. Cuman ya kok bisa jadi panas banget gini.." Nara tidak mengeluh. Dia hanya menanyakan prihal mengapa Jogja kali ini bisa begitu panas.

Setelah beberapa bulan dirinya pindah dari tanah Sumatera, Nara sudah tahu jika Jogja memang lumayan panas. Tetapi kali ini seakan-akan suhu panas dari kota itu telah melewati temperature batas normalnya.

Matanya ia bawa kesana-kemari, mencari sekiranya jajanan juga minuman yang bisa mengganjal perut dan mengisi rasa hausnya.

Tetapi bukannya makanan atau minuman, mata Nara malah menangkap seseorang yang tengah kesusahan dan tergopoh-gopoh membungkuk ditengah-tengah ramainya lautan manusia.

Tanpa babibu ia langsung mendatangi lelaki itu dan menepuk bahunya lumayan kuat

"Eh! Nar–"

"Oi! Lagi ngapain kamu disini ha?"

Sang bibi terdiam. Tak habis pikir dengan tingkah laku dari keponakannya itu,

Pria yang didatanginya tadi berjengit terkejut dan langsung memalingkan wajahnya kearah belakang

Dan yang langsung ditangkap oleh sepasang kelereng jernih milik Nara adalah bagaimana mata yang begitu panjang bulu matanya itu tengah menatap tepat pada maniknya. Hidungnya mancung, dengan bibir tipis yang memerah alami. Garis rahangnya terlihat begitu tegas, dengan rambut hitam legamnya yang mungkin akan sangat halus jika kau sentuh.

Nara terkesiap. Kaget melihat betapa indahnya makhluk yang tengah berada dihadapannya saat ini. Ia pun menggeleng, berusaha untuk menjernihkan dan menyadarkan pikirannya.

"Lo ngapain kaya gini ha. Nunduk-nunduk sampe ditendang-tendang ama orang yang lewat, kaga sakit apa?" Nara berusaha membantu lelaki itu untuk berdiri, ia menarik baju dibagian lengan milik lelaki itu.

"Saya.. lagi nyari kalung saya, tadi pengaitnya putus, otomatis kalungnya jatuh" Nara diam. Ia tampak ikut celingukan seperti lelaki yang berada dihadapannya itu, mencari sesuatu yang dikiranya akan menghentikan perasaan gundah dari seseorang yang tengah mencarinya.

ARRAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang