06 : Kemana?

11 2 0
                                    

"Plis Azka. Kalau mau ngajak gua berantem ga gini juga cara nya"

Nara tersenyum dengan begitu manis. Menatap nyalang ke arah Azka yang malah mengabaikannya dan tertawa begitu saja, membuat perempuan itu semakin meradang atas respon yang diberikan oleh nya.

Oh ayolah. Sekarang masih pukul empat pagi! Dan si gila Raden Kaysan itu malah seenaknya saja menggedor pintu kamarnya dikala ia masih tertidur pulas memimpikan bebek-bebek kesayangannya. Dan entah bagaimana, bulenya mengizinkan si Azka untuk melakukan itu!

Berdalih bahwa Jogja akan pergi jika tidak cepat bangun pagi, Nara ingin sekali rasanya merobek mulut yang selalu tersenyum ceria itu dan memberikan nya kepada para bebek. Tentu saja, dalam mimpi nya. Karna jangankan melakukannya, Radmila bahkan tak akan membiarkan dia memikirkan hal gila itu.

Tetapi dia sudah memikirkan nya bukan?

Hmm.

"Jangan marah terus dong Nara. Rutinitas pagi itu banyak banget manfaat nya kalau dibiasakan"

Azka yang bersender di pintu kamar Nara sembari melipat kedua tangannya di dada pun tersenyum sumringah. Memperhatikan gerak-gerik Nara sedari tadi dengan intens, mengabaikan segala gumaman penuh penghakiman dan wajah Nara yang berkerut kesal. Hingga akhir nya Nara terduduk di tepian ranjang, meneliti hal apa lagi yang harus di lakukan nya.

"Tempat tidur udah, obat nyamuk udah gua matiin. Gorden nanti ajalah ya, masih jam empat anjir! Benyamuk pulak karang bilik tidor ne"
(Benyamuk pulak nanti kamar ni)

Entah bagaimana, tetapi pemandangan Nara yang bergumam kecil sembari menghitung kegiatan nya menggunakan tangannya yang agak pendek itu membuat Azka tersenyum lembut. Ia sekarang tengah berjongkok, menumpu wajah nya dengan tangan kanan milik nya. Memperhatikan dengan seksama kegiatan Nara yang berada di hadapannya itu.

"Udah?"

Azka bertanya. Membuat Nara menjadi langsung mengalihkan pandangan nya ke arah manusia tukang cengir itu, ia langsung mendengus kecil mengabaikan kekehan Azka yang terdengar mengalun begitu lembut di telinganya, membuat nya entah kenapa merasa tergelitik. Berusaha untuk menyembunyikan senyuman simpul yang akan tercipta di wajahnya.

"Kamu nanyea?"

Nara memasang ekspresi menye-menye. Manik milik Azka membola, hingga di detik selanjutnya manusia tukang cengir itu berhasil mengudarakan sebuah tawa yang begitu terbahak untuk Nara dengar. Nara yang menyaksikan respon dari Azka pun mengernyitkan dahi nya bingung, "Apaan anjir ampe terbahak gitu!?" Ucapnya jengkel. Merasa bahwa dirinya seperti tengah diledek oleh Azka. Niat nya ingin meledek Azka, tetapi kenapa malah ia yang seperti tengah di ledek balik?

Azka sibuk menepuk-nepuk pintu Nara, berusaha untuk menetralkan deru nafas nya yang tidak beraturan. Ia menarik nafas nya panjang, kemudian nenghembuskan nya dengan perlahan.

"Iya. Saya nanya, Alyanara. Udah? Kamu mau ngapain lagi? Maksud saya itu kalau kamu mau melakukan sesuatu hal lagi, biar saya tunggu." Azka menyibak rambut nya, merasakan bahwa keringat karna tawanya tadi telah membuat rambutnya menjadi lengket.

Nara merotasikan bola matanya malas, ia kemudian pergi dari ranjang nya, membuat Azka bertanya-tanya

"Nara mau kemana?"

"Mandi!" Sahut Nara berteriak, membuat Azka berjengit terkejut mendengar nya. Ah.. Alyanara dan segala amarah nya benar-benar membuat Azka hanya bisa menggelengkan kepala nya maklum. Ini bukan salah Nara, tetapi salah diri nya yang dimana dengan seenaknya saja menggedor pintu kamar dari orang yang tengah tertidur lelap di dalam nya.

Cukup lama Azka menunggu, hingga akhir nya ia bisa mencium bau semerbak khas shampo yang tiba-tiba saja tercium di kamar Nara. Azka langsung berdiri, mengalihkan pandangan nya ke kamar itu lagi,

"Apaan!?"

"Maa syaa Allah.."

Azka tersenyum dengan begitu manisnya.

Nara merotasikan bola matanya jengkel. Berusaha menyembunyikan kegugupannya atas pujian dari Azka barusan.

Nara memakai stelan hoodie navy oversize yang sangat cocok untuk tubuhnya yang lumayan tinggi. Tetapi jika untuk kapasitas ketinggian anak-anak disekolahnya dahulu, Nara masihlah masuk dalam kategori anak-anak pendek.

Dengan asal ia menguncir kuda rambutnya, membiarkan beberapa helai poni yang panjangnya sama dengan rambutnya tidak terikat.

Dengan alis yang mengernyit sembari merapikan bajunya di depan kaca dan menatap berulang kali kearah Azka, ia dibuat bingung dengan lelaki tukang cengir itu. Apanya yang 'Maa syaa Allah'? Setelannya sekarang ini benar-benar sangat tidak cocok untuk dikagumi. 

"Lo aneh Azka."

"Loh, kenapa? Kok gitu?"

"Maa syaa Allah dari mananya coba! Lo ngelece gua ya!?" Nara menunjuk-nunjuk Azka seolah-olah ia adalah penjahat kelamin yang telah menorehkan dosa begitu besar padanya.

Azka terdiam.

Ah.. Ternyata gara-gara itu.

Dengan menggeleng seraya tertawa kecil, Azka perlahan beranjak dari depan pintu kamar Nara, menyebabkan Nara otomatis jadi langsung mengikutinya.

"Kamu itu, jangan suudzon mulu sama saya. Kalau ternyata tampilan kamu memang layak untuk dipuji gimana?"

Nara terdiam. Ia melirik sekilas kearah Azka yang berusaha keras untuk menatapnya yang tengah berada di belakang mendorong punggung lelaki itu.

Azka tengah tersenyum kecil, alisnya terangkat sedikit menandakan bahwa senyumannya benar-benar tulus.

"Ga mungkin.." Gumamnya.

Alyanara tahu, ada yang tidak beres dengan hatinya.

Mengapa terasa begitu sesak?

Jangan nuntut, jangan nuntut!

"Udah ah, kebanyakan bacot kita" Alyanara mendorong Azka agar menjauh, lengkap dengan perasaan ganjil yang masih hinggap dihatinya terkait tuntutan yang baru saja terucap dikepalanya.

Bolehkah?

Tentu saja tidak.

Alyanara tidak akan membuat kesalahan yang sama untuk kedua kalinya.

Kali ini, perempuan kelahiran tanah Sumatera itu tak boleh sampai berharap, apa lagi menuntut hal yang seharusnya tidak ia miliki sampai kapanpun.

Tidak–

"Jangan bengong. Nanti sepedanya yang naikin kamu, bukan kamu yang naikin sepeda." Sebuah suara mengintrupsi Nara. Membuat ia yang tadi sempat termenung selama beberapa menit menjadi tersadar,

Posisi mereka sudah berdiri didepan pagar rumah Radmila, dengan Azka yang sudah naik keatas sepedanya dan menumpu kayuhannya dibagian kiri.

Melihat itu Alyanara mengernyit, mengundang raut keterbingungan dari Azka yang tengah memperhatikannya.

"Ga nyambung pe'ak"

Alyanara mengkayuh sepeda yang sudah lumayan berusia itu duluan, meninggalkan Azka yang tengah sibuk meracau dan mengeluh karna ditinggalkan olehnya.

"Apa boleh?"

Tuhan..

Bisakah ia sekali saja berharap, atas keajaiban?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 02 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ARRAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang