04 : Pasar

15 3 0
                                    

Tepat pada pukul tujuh, Nara dan Jino telah sampai dirumah Radmila. Keduanya langsung bersiap untuk pergi kepasar seperti arahan yang diberikan oleh Radmila pada beberapa waktu sebelumnya.

"Kapulaga, wortel, kentang, ayam, bawang merah, bawang putih. Beli semua bahan-bahannya. Jangan lupa!" Radmila memberikan beberapa lembar uang kepada Nara. Nara pun mengerutkan alisnya bingung,

"Ini saya disuruh naik kereta sendiri ke pasar?" Tanyanya dengan ekspresi wajah penuh harap. Berharap bahwa sang bule akan benar-benar mengizinkannya–

"Ya enggaklah."

Fuck.

"Ah bule mahhh" Nara memutar-mutar tubuhnya, kemudian langsung memeluk pohon yang ada di depannya. "Kamu kalau bawa motor, kecepatanya ngalah-ngalahin buroq, terus nge-prank malaikat maut. Biar si Jino yang nyetir, kamu duduk anteng aja di belakang." Wajah Nara yang tadinya sudah kecut kini semakin kecut lagi sekarang.

Karna cukup lama terlarut dalam kegalauannya, Nara sampai tidak menyadari kalau orang yang sedang ia tunggu sedari tadi kini telah berjalan mendekat kearahnya.

"Ayo Kak"

'Anjir.'

Nara tekesiap. Tak berkutik dengan tampilan Jino yang tiba-tiba saja muncul dihadapannya bak pahlawan di tengah siang bolong.

Dengan rambut yang sudah tersisir rapi alami dengan setelan celana training hitam juga hoodie abu-abu gelap yang Jino kenakan, membuatnya jadi terlihat begitu kasual.

Dan entah kenapa, penampakan Jino yang berdiri dihadapannya sekarang ini terlihat begitu rupawan. Yang seketika langsung mengembalikan mood Nara yang tadi sempat hilang di telan Bumi kini kembali lagi menuju langit.

"Kece banget adek gua" ucapnya bangga. Membuat Jino menjadi tertawa malu-malu

"Yaudah ayo Kak, jangan lama-lama. Nanti kesiangan" Nara mengangguk. Jino benar. Sekarang saja sudah pukul tujuh lima belas pagi.

Biasanya mereka akan berbelanja pada jam enam pagi atau kurang. Tidak pernah sesiang ini.

"Ayo lah"

Kedua orang berbeda gender itu kemudian langsung menuju ke sepeda motor yang telah disediakan oleh Radmila untuk keduanya gunakan,

"Kami pergi Bunda, Assalamu'alaikum!!"

"Wa'alaikumussalam!!"

Jalanan desa hari ini terasa begitu sejuk dan segar. Segalanya terasa begitu indah dengan iringan dari cuitan-cuitan kecil para burung yang bertengger di setiap pohon di tepi-tepi jalan yang Jino dan Nara lewati.

Tak ada satupun dari keduanya yang membuka percakapan. Terlihat bahwa masing-masing dari mereka tengah menikmati sejuknya hawa pagi hari yang menghampiri, walau matahari sudah menunjukkan diri.

"Jogja indah ya No.." Nara berucap random. Tangannya sudah ia telusupkan ke dalam jaket adik sepupunya itu, meminimalisir hadirnya kesejukan yang akan menyelimuti dirinya sebentar lagi.

Jino yang mendengar penuturan dari Nara pun tanpa sadar mengangguk sambil tersenyum tipis. Tersenyum karna masih bisa merasakan sejuknya atmosfer dan segarnya udara dari kota kelahirannya itu.

"Jino mau Jogja supaya tetap kaya gini terus Kak. Ga gersang, orang-orangnya tetap ramah, jajanannya tetap enak. Rasa syukur terbesar yang ingin Jino sampaikan itu kepada Tuhan. Jino mau nyampaikan terima kasih yang begitu luar biasa untuk Tuhan karna sudah buat Jino lahir ditempat ini."

Dengan tangan yang masih tetap stabil mengemudikan sepeda motornya, Jino tersenyum dengan begitu tulus. Menghirup berulang kali udara yang menurutnya adalah candu.

Nara yang mendengar pendeskripsian dari anak itu pun seketika langsung tertegun,

"Secinta itu lo sama Jogja No?"

"Iya. Tapi rasa cinta Jino bakalan kalah sama A' Azka. Jauh bahkan" kekehnya pelan. Tanpa sadar menggeleng kecil mengabaikan keterbingungan yang ditampilkan oleh Nara di wajahnya,

"Hah?"

Kenapa larinya ke Azka?

"Engga papa. Nanti juga Teteh faham"

Semoga.

Setelah itu hanya sunyi yang hadir diantara mereka. Beberapa menit telah berlalu, hingga akhirnya mereka telah sampai di tempat yang dituju.

"Ini kita langsung mencar aja. Gua bagi tugas, lo beli rempah-rempahnya karna kalo masalah sayur, lo pasti ga tau cara nawarnya kan? Ini daftar nya, jangan sampai salah!" Nara yang hendak berlari menjauh tidak jadi melakukannya karna melihat Jino yang tidak bergerak dari tempatnnya,

"Kenapa lagi!?"

"Jino ga faham Teh.. hehehe"

Oh Tuhan.

Luar biasa. Nara sampai tepuk jidat dibuatnya.

"Yaudah sini, lo ikut gua. Kita berdua aja belanjanya" Jino mengangguk. Nara menghela nafasnya pelan, nampaknya ini akan memakan waktu yang lumayan lama.

Mereka berjalan dengan posisi Jino yang berada tepat di belakang Nara, seolah-olah tengah menjadi bodyguard nya.

"Sutt, cewek!!"

Sebuah siulan dan nada genit mengalun di telinga Nara, sepertinya panggilan itu ditujukan untuk dirinya.

"Cewek, cewek kiw kiww maniessszz"

Sial.

Apakah mereka buta sehingga tidak bisa melihat bahwa dibelakang nya telah ada Jino yang sudah menyerupai Begu ganjang?

Tolong, Tuhan. Nara tak ingin mengamuk di sini sekarang.

Maniknya ia bawa kesana kemari, mengedar guna mencari sang pelaku yang membuatnya ingin memaki.

Dan dia menemukannya, maniknya membawa ia kepada beberapa remaja lelaki yang tengah berkumpul di satu titik bagian pasar. Nara yang melihat itu hanya mendengus dan memalingkan wajahnya tidak peduli, mengundang geraman dari mereka yang diabaikannya.

"Sombong banget lo! Sok jual mahal"

"Ahanjir, padahal mah aslinya pasti lima puluhhh~"

"HAHAHAHA"

Nara akan meledak. Tangannya nengepal, menahan diri untuk tidak mendatangi kerumunan itu dan berakhir membuat keributan.

Karna Radmila pasti tidak akan menyukai keputusan itu.

Pasar ini berada dibawah tanggung jawab bulenya, maka dari itu Nara harus menjaga nama baik dari bulenya pula. Ditambah sekarang ada Jino di belakangnya, bisa gawat jika anak itu sampai melihat ledakan amarah miliknya.

"Woi jalang!!" Dan entah bagaimana, seperti ada sekerumunan remaja lain yang berada tak jauh dari mereka yang tengah melihat kejadian ini. Salah seorang dari mereka yang dikira sebagai 'Ketua' pun hendak bangkit. Tetapi tidak jadi karna Jino tiba-tiba saja bertindak,

"ANJ–"

Srekk

Jino menarik Nara untuk berdiri dibelakangnya, digantikan dengan jangkungnya badannya yang berdiri didepan Nara. Seolah-olah tengah menjadi tameng untuk kakak sepupunya itu,

"Maraneh teh kunaon? Bangor pisan sungutna. Siga teu diajarkeun tata krama ku kolot kalian."
(Kalian kenapa? Kasar banget mulutnya. Kaya ga diajarin tata krama sama orang tua kalian.)

Jino menegakkan badannya, mengabaikan tatapan orang-orang di sekitarnya yang tiba-tiba saja berubah menjadi ketakutan, membuat Nara kebingungan atas situasi saat ini.

Dan setelah beberapa detik mencoba untuk memahami–

Nara menyadarinya.

Jino marah.

ARRAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang