Bulan Ramadhan tahun lalu, aku ingat sekali. Di mana aku dan kamu duduk bersebelahan di dalam ruangan, tempat kita biasa menghabiskan waktu dari pagi hingga langit kota berubah menjadi oranye. Kamu dengan laptopmu, dan aku dengan komputer layar penuh itu.
Hari itu aku memutuskan untuk datang ke sana, demi untuk bertemu denganmu. Bodohnya aku malah pergi menyusulmu ke sana dengan jarak tempuh yang menghabiskan waktu 45 menit. Padahal aku bisa hanya tidur saja di rumah.
Semua effort-ku nyatanya sia-sia. Disaat aku terus memberikan kode bahwa aku menyukaimu, kau malah menolak ku dengan kata-katamu yang membuatku hancur. Saat itu aku ingin menangis, ingin sekali rasanya aku menangis keras di depanmu. Di depan kamu yang sudah membuat hancur hatiku.
Seperkian detik aku tersadar, sadar bahwa memang aku tidak bisa bersamamu, sadar bahwa tidak ada tanda-tanda kamu akan membuka hati untukku, sadar bahwa aku hanyalah orang bodoh yang berharap pada ketidakpastian.
Kamu bercerita tentang dia, aku bisa melihat bahwa ada sinar bahagia dimatamu saat menceritakan tentang kalian.
Tidak sampai di sana saja, masih banyak sakit hatiku yang terjadi karena kejahatan dari pola pikirmu.
Notes di atas, aku tulis saat aku masih berada di sampingmu kala itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terang
NonfiksiJika kalian baca mungkin kalian akan sadar kalau isinya sama sekali tidak mencerminkan judulnya. Tulisan ini untukmu, untuk sinarmu.