1. 10:08 PM

263 29 0
                                    

Sudah dua kali mereka berdua bertemu di waktu yang berbeda.

Semula, ia tak ingin menyapa laki-laki itu, tersenyum pun enggan. Laki-laki bermata tajam itu meliriknya, sedikit menyunggingkan senyum, lalu menundukkan kepalanya seolah menyapa.

Samarra mau tidak mau ikut menyapanya.

Sudah dua kali mereka bertemu di waktu yang berbeda.

Dan ini ketiga kalinya.

Di hari Rabu, pukul sepuluh malam.

Saat pertama kali bertemu, mereka berpapasan di depan lemari pendingin yang penuh akan minuman berkafein tinggi, salah satu kebutuhan primer bagi Samarra, si penulis cerita fiksi, yang seringkali harus bekerja sampai dini hari. Laki-laki itu juga menyimpan beberapa kaleng minuman berkafein di keranjang belanjanya. Tiga dus kecil susu kambing, enam pocket makanan kucing, serta piring kertas kecil.

Iya, Samarra akui ia terlalu merekatkan pandangannya pada laki-laki berjaket kulit hitam dengan ripped jeans yang amat sangat mengganggu matany itu. Tidak ada alasan. Hanya saja, ia terlalu terang di tengah-tengah kerumunan orang yang menyelimuti gelapnya kota di malam hari. Ia tidak bisa untuk tidak memperhatikannya.

Di hari kedua setelah mereka bertemu, Samarra tidak bisa hanya memperhatikannya. Kakinya otomatis berjalan mengikuti laki-laki berpunggung tegap yang diselimuti jaket hitam itu.

Stasiun.

Pertigaan gang kecil di belakang megahnya apartemen perkotaan.

Halte bus.

Di depan pertokoan yang sudah tutup.

Samarra terus mengikutinya.

Entah apa yang sudah menyadarkan perempuan itu, ia segera memutar tubuhnya dan berjalan menjauh dari keberadaan laki-laki asing yang seperti menghipnotisnya.

Malam ini adalah ketiga kalinya mereka bertemu.

Samarra sudah siap apabila ia akan ditanya yang aneh-aneh seputar minggu lalu karena ia sempat mengintil laki-laki ini dari kejauhan. Saat perempuan ini sedang duduk menikmati kopi hangat dan beberapa cemilannya di dine in corner minimarket, ia dikagetkan oleh berdirinya seorang laki-laki dengan tas kain yang ia simpan di atas meja tempat Samarra tengah menikmati hidangannya.

"Mau ikut? Kali ini jangan cuma di belakang." ajak laki-laki yang selama dua minggu belakangan ini Samarra pikirkan.

Perempuan bernama lengkap Samarra Ishani Kelana ini mendongakkan kepalanya. Memperhatikan laki-laki yang ia ikuti minggu kemarin dari dekat. Terlalu banyak rasa yang tubuh dan pikiran Samarra coba cerna. Ketakutan dibalut dengan rasa malu, penasaran, sekaligus gemerlap kehangatan yang laki-laki itu pancarkan dari matanya yang tajam. Ia tidak bisa mendeskripsikan apa yang sedang ia rasakan saat ini, apa yang tubuhnya mencoba untuk cerna.

"Gak mau?"

Laki-laki itu bertanya lagi.

Samarra menipiskan bibirnya sejenak. Ia mendorong kursinya mundur, lalu berdiri dari duduknya. Kepalanya mengangguk, tanpa ragu, seolah rasa takut, rasa ragu yang semula menyelimutinya langsung hempas tertiup angin.

"Ayo!"

 
  
  
 
  

 
  
  
 
  
Totally stranger.

Seharusnya yang Samarra lakukan saat ini adalah lari sekencang-kencangnya dan meminta pertolongan untuk bersembunyi dari laki-laki asing yang kini tengah berjalan di depannya.

Dongeng Sebelum TidurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang