"Oh, Samarra. Masuk dulu, yuk."
Di sinilah Samarra, pukul sepuluh pagi duduk menatap rumah hangat bernuansa kayu yang semasa kuliah dulu sering ia datangi hanya untuk makan siang. Kediaman Imelda, orang tua Imelda.
Ibu Imelda berjalan menuju dapur dengan wedges kayu yang bergesekan dengan lantai. Khas keluarga Imelda dengan segala natural dan kecintaannya dengan sesuatu yang organik. Samarra sempat membenci masakan ibu sahabatnya itu, tidak pernah menggugah seleranya. Tapi demi kabur dari segala kekalutan era skripsi? Samarra rela meminum jus seledri itu lagi.
Sang ibu dengan rambut keriting sasak nya itu berjalan dengan membawakan air dingin serta membukakan toples kue kering di meja tamu. Ia duduk bersebrangan dengan Samarra.
"Gimana nih, sudah menentukan tanggalnya?" tanya Ibu Imelda. Samarra yang tidak mengerti maksud dari pertanyaan Ibu Imelda hanya bisa mengerjapkan matanya. Ibu Imelda tersenyum kecil, sembari menundukkan kepalanya, "Pernikahan dong, apa lagi?" lanjutnya.
Samarra menghela nafasnya, "Oh..." ia membasahi bibirnya sejenak sebelum akhirnya mencoba menjawab pertanyaan Ibu Imelda. "Belum tau sih, Tante. Gak buru-buru kok." jawab Samarra seadanya.
"Sekarang sih tunangan gak menjamin, ya. Banyak yang putus setelah bertunangan." ucap Ibu Imelda. "Cincin sudah tidak berarti apa-apa lagi, hanya simbolik." lanjutnya.
Kalau harus jujur, Samarra enggan membicarakan apapun yang berkaitan dengan dirinya, pertunangan, pernikahan, semua hal-hal sialan ini. Memuakan, menjijikan, terlebih ia benar-benar membencinya.
"Tante," panggil Samarra. "Sebenarnya aku mau ketemu Imelda sebentar. Ada di rumah kan, ya?" tanyanya.
"Oh, tante kira dia sudah pamit ke kamu loh, Sa." sahut Ibu Imelda. "Kemarin banget, Imelda udah flight ke SG. Buru-buru banget katanya ada kerjaan yang gabisa dia tinggal." jelasnya.
Demi Tuhan, Samarra hanya ingin merapikan semua yang sudah ia acak-acak, meski tak banyak yang bisa ia lakukan. Perempuan ini sadar bahwa ia yang kacau, tapi apa tidak boleh sedikitpun ia meluruskan yang seharusnya?
Perkara Demas, setidaknya Samarra bisa bicara jujur, tanpa perlu menambahkan, tanpa perlu mencari alasan untuk membela diri karena ia benar-benar tidak tahu bahwa Demas adalah laki-laki yang selama ini selalu Imelda ceritakan.
Tapi harus berkata apa dirinya pada Imelda?
Mau disimpan dimana wajahnya, mau disimpan dimana status persahabatan mereka?
Ia tidak tahu harus apa lagi selain membiarkan semua orang berbalik menyakitinya saja.
—
Air mata terus mengucur, membasahi kedua pipi Samarra yang memerah dan panas. Ia bahkan tidak tahu apakah boleh ia menangisi semua ini, sedangkan dirinya lah yang jahat. Paling jahat. Ia yang menyakiti semuanya, pantaskah ia untuk menangis?
Ia tidak tahu apakah rasa malunya cukup tebal untuk bertemu dengan Imelda, dengan Demas, terutama dengan Julio yang benar-benar ia hancurkan tak tersisa.
Tubuh Samarra meringkuk di sofa ruang tengahnya. Televisi menyala, terus memutar TV show Brooklyn 99 yang sama sekali tidak membantunya menghentikan tangisan yang keluar dari pelupuk mata.
Suara bel dirumahnya berbunyi. Perempuan itu beranjak perlahan. Ia menyeka air matanya dengan punggung tangan, seraya berjalan menuju pintu masuk rumah.
Ia mengintip di peep hole pintu, begitu yang terlihat adalah Demas, Samarra membukakan kunci lalu memberikan celah sedikit, tidak membuka seluruh pintunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dongeng Sebelum Tidur
Novela JuvenilMereka berharap bahwa semua ini dan ceritanya hanyalah dongeng sebelum tidur yang tidak akan pernah terjadi. written by jlldal © 2023