Hari pertunangannya tiba.
Dari harinya menghabiskan waktu bersama Julio, tidak ada senyum yang terpancar dari wajah Samarra. Ibu nya berkali-kali mengingatkan Samarra untuk tersenyum karena ini adalah hari bahagianya.
Bahagianya siapa?
Samarra sama sekali tidak merasakan kebahagiaan itu, tidak sama sekali.
Pertunangan Samarra dan Demas dilaksanakan di kediaman orang tua Samarra. Rumah bernuansa putih dengan arsitektur jadul ala rumah jaman dulu dihiasi jendela-jendela yang lebar dan tinggi.
Brush makeup yang menari diatas kulit wajahnya tidak membuat Samarra bergeming. Ia menatap lurus ke arah cermin besar yang menampakkan dengan jelas air mukanya yang tidak sama sekali memancarkan sedikitpun kebahagiaan.
Ini salahnya, ia menaruh kebahagiaan pada laki-laki asing bernama Julio itu pada saat ia hendak meninggalkannya. Samarra yang jahat, Samarra yang membiarkan Julio untuk menyimpan semua rasa bahagianya, lalu pergi tanpa ada isyarat.
Imelda mengeluarkan kamera analognya, ia memotret sahabatnya yang kini tengah duduk di kursi sembari dihias dengan cantik oleh para makeup artist.
Perempuan itu tersenyum melihat sahabatnya dari semasa kuliah ini hendak memulai kehidupan barunya.
"Sa, smile!" ujar Imelda.
Samarra menoleh, tapi ia sama sekali tidak tersenyum bahagia. Ujung bibirnya hanya naik, sedikit, tidak ada dorongan sedikitpun untuk Samarra agar ia tersenyum.
Perempuan bernama lengkap Imelda Adelia ini mengerti bahwa Samarra tidak benar-benar menginginkan pernikahan. Pernikahan ini, tepatnya. Tetapi ia sebagai sahabat baik, enggan memperjelas apa yang sedang Samarra rasakan.
Ketukan terdengar di pintu kamar Samarra. Salah satu sepupu Samarra membuka pintu kamar calon pengantin ini, menginfokan bahwa rombongan dari keluarga calon mempelai pria sudah tiba.
Di kamar itu, ada Samarra, Imelda, dua orang makeup artist dan hair stylist, serta beberapa sepupu dekat Samarra riuh ramai, merasakan kegembiraan yang sedari tadi dinanti-nanti.
Tapi tidak dengan Samarra, ia hanya bisa menatap kosong wajahnya yang terpantul dalam cermin.
Perempuan paling menyedihkan yang pernah ada.
—
Keluarga Demas datang dengan tiga mobil. Mobil pertama berisi Demas dan keluarga intinya, mobil kedua adalah sepupu terdekat, paman, dan bibi nya, dan mobil terakhir adalah teman-teman sejawatnya; Hanan, Fawaz, Haikal dan tentu saja, Julio.Sambutan hangat diterima dengan baik oleh keluarga Demas. Dengan pakaian serba putih dan sedikit hiasan kain putih dengan corak keemasan memenuhi ruang tengah kediaman orang tua Samarra.
Demas, dengan kemeja putih tulang dan celana bernuansa pasir pantai, terlihat menahan gugupnya begitu ia dipersilahkan untuk duduk di atas karpet berwarna hijau dengan hint olive itu. Tak henti-henti Hanan dan Fawad berbisik, memuji betapa megahnya kediaman calon istri sahabatnya ini. Tak heran kalau mereka berdua dijodohkan, ternyata derajat mereka sama.
"Megah banget." bisik Fawaz. "Gak heran kenapa ini calonnya mau dijodohin ama Demas." lanjutnya berbisik pada Hanan.
"Iya, sederajat soalnya." balas Hanan, sama-sama berbisik.
Haikal berdeham pelan, mengisyaratkan agar dua sahabatnya ini berhenti bergunjing.
Julio di lain sisi, ada perasaan gundah sedari awal ia mengiyakan untuk berangkat dan menjadi salah satu rombongannya Demas. Entah apa itu artinya, tetapi ia benar-benar merasa gelisah sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dongeng Sebelum Tidur
Teen FictionMereka berharap bahwa semua ini dan ceritanya hanyalah dongeng sebelum tidur yang tidak akan pernah terjadi. written by jlldal © 2023