Gara-gara Samarra.
Tiap kali Julio berbelanja di minimarket 24 jam ini, ia selalu menunggu kurang lebih tiga puluh menit untuk tahu apakah Samarra hadir malam ini.
Hampir dua minggu berturut-turut lamanya, Julio tidak melihat perempuan dan laptopnya itu di sudut dine in. Kesibukan membuat dirinya harus pulang larut malam, bahkan pukul dua dini hari ia baru saja turun di halte bus dekat minimarket tersebut.
Dalam termenungnya, laki-laki bernama lengkap Julio Hideki Ishaq ini hanya bisa menertawakan dirinya sendiri. Pertemuannya dengan perempuan itu tidak berarti apa-apa, bukan sesuatu yang bisa Julio anggap sebagai bagian dari perjalanan hidup yang bisa ia bagikan kelak pada keturunannya, atau bisa ia tuliskan di buku hariannya.
Samarra hanyalah perempuan biasa yang tidak sengaja bertemu dengannya.
Tidak ada maksud ataupun arti tertentu dari pertemuan mereka.
Sepertinya.
Tetapi, bolehkah, bolehkah Julio sedikit berharap bahwa semua ini ada artinya?
Bolehkah Julio berharap bahwa perempuan itu dan dirinya menghabiskan waktu yang tidak seberapa lama ini akan menjadi awal dari kebahagiaannya?
Bolehkah Julio berharap bahwa Samarra akan selalu ada di sebelahnya, setiap hari, di setiap malamnya?
Ujung bibir Julio terangkat, ia terkekeh, menertawakan dirinya sendiri yang dihantui harapan setinggi langit.
Ini bukan kisah cinta yang manis, ini bukan kisah yang pasti berujung indah, ini kisah hidupnya.
Hanya kisah hidupnya.
Tidak ada yang spesial, karena ia sendiri tidak tahu akan seperti apa akhir dari cerita ini.
Kesepian, pekerjaan, idealisme hidup yang tak kunjung terwujud. Di tengah-tengah itu semua, hadir seketika, sekejap, perempuan asing yang membuat Julio jadi berharap banyak, jadi ingin punya cita-cita, jadi meminta yang tidak-tidak pada waktu dan kehidupan.
Semua ini gara-gara perempuan itu.
Gara-gara Samarra.
—
Sore hari menjelang petang, cahaya matahari membelai halus wajah perempuan yang tengah tertuju kepada laptopnya. Mengetik kata demi kata guna menyelesaikan pekerjaannya sebagai penulis novel fiksi yang kini tengah dikejar-kejar deadline.Disela-sela huruf yang ia tulis, bayang sekilas tawa laki-laki itu terbesit cepat.
Julio.
Laki-laki asing itu mengacaukannya.
Beberapa minggu terakhir ini, Samarra selalu keluar pukul sepuluh malam dan sengaja menunggu laki-laki itu datang di minimarket 24 jam di dekat tempat tinggalnya, tempat biasa Samarra menghabiskan waktu mencari ide atau hanya menghabiskan malamnya yang sunyi di pojok makan minimarket tersebut.
Tapi laki-laki tak kunjung datang.
Samarra Ishani Kelana mulai terbuai oleh godaan waktu yang memberikannya kesempatan untuk berkenalan dengan laki-laki asing itu. Ia tidak tahu siapa dia, yang Samarra tahu hanyalah wajahnya, namanya, itu pun bukan nama lengkapnya. Tidak ada yang Samarra tahu perihal laki-laki itu.
Sialnya, ia terbuai. Samarra terbuai dengan angan-angannya sendiri. Jatuh mati penasaran dengan khayalannya sendiri tentang laki-laki itu. Tempat tinggalnya, kehidupannya, pekerjaannya, yang bahkan Samarra sendiri tidak tahu tentang itu. Kepalanya mulai menggila, ia menciptakan Julio versinya sendiri, ia menciptakan Julio dengan semua angan-angan dan harapan yang secara tidak sadar mulai Samarra tanam pada laki-laki itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dongeng Sebelum Tidur
Teen FictionMereka berharap bahwa semua ini dan ceritanya hanyalah dongeng sebelum tidur yang tidak akan pernah terjadi. written by jlldal © 2023