Kaki perempuan ini terus melangkah, entah akan sampai di mana ia berhenti. Surai hitamnya tergerai, dengan sandal tipis yang menjadi alas pijakannya.
Wajahnya pucat, lebam terlihat jelas di area matanya. Bukan karena ia menyiksa dirinya sendiri, tetapi karena ia terlalu sering menangis, lalu mengusap air matanya dengan kasar. Terdapat goresan luka halus di area pipinya, lagi, karena perempuan itu terlalu kasar mengusap air mata yang tidak ada hentinya mengalir.
Langkahnya berhenti begitu ia berada di sebrang cafe and diner bernuansa hijau itu, Orion's. Cafe milik Julio yang mulai redup karena hendak tutup.
Wajah laki-laki itu terpampang, guratan senyumnya terlihat begitu ia sedang bersenda gurau dengan dua orang yang bekerja di Orion's. Apron hitam yang laki-laki itu kenakan, hendak ia lepas. Ia menoleh ke arah jendela, tersenyum ke arah Samarra.
Tetapi, begitu Samarra mengedipkan matanya, wajah laki-laki itu menghilang. Sosok yang Samarra rindukan senyumnya, tak ada di pelupuk matanya. Hilang bersama rasa rindunya yang tak kunjung berbalas.
Ah, entah berapa lama sudah. Satu bulan? Dua? Tiga? Entah berapa lama Samarra mengurung diri di apartment nya, dan entah berapa kali ia berjalan di sekitar Orion's hanya untuk bertemu dengan Julio, tetapi hanya bayangnya saja yang muncul di mata perempuan ini. Semua alat komunikasi ia matikan, sampai orang tuanya khawatir, sampai editornya terus menghubunginya karena belum juga mengirimkan naskah.
Demas lagi-lagi yang harus membalas semua yang mencari Samarra. Ia memberitahu, sebagai calon suaminya, bahwa Samarra tengah disibukkan dengan persiapan pernikahan mereka sampai harus bed rest saking kelelahannya. Ia berbohong, tentu saja.
Beberapa pihak turut berbahagia sekaligus mengerti dengan keadaan Samarra. Ah, siapa sih yang tidak berbahagia merencanakan pernikahan yang idealnya hanya terjadi sekali seumur hidup itu?
Sanak saudara Samarra merasa lega mendengar jawaban tersebut dari Demas. Kekhawatiran mereka akan kondisi Samarra berkurang, dan disaat yang bersamaan rasa bangga mereka telah memilih Demas untuk menjadi calon suami Samarra tidaklah salah. Demas benar-benar pria yang bisa diandalkan.
Padahal sebenarnya tidak begitu, Samarra sama sekali tidak peduli dengan pernikahannya dengan Demas. Ia sama sekali tidak merencanakan apapun tentang pernikahannya dengan Demas. Ia hanya menangis, menangis, menangis, dan menangis.
Malam ini hujan turun, Samarra dengan langkahnya yang guntai berjalan masuk ke dalam minimarket guna berteduh sampai hujan reda. Ia membeli satu kaleng susu, lalu duduk menyendiri di dine in corner minimarket.
Matanya menangkap bayang-bayang Julio untuk yang kesekian kalinya. Ia dengan jaket kulit hitam dan celana jeans nya berjongkok di bawah pijar lampu jalanan dengan payung transparan yang melindunginya dari rintik hujan.
Payung itu terangkat, sosok itu berdiri sembari membalas tatapan Samarra dari tempatnya duduk di dalam minimarket. Kali ini bayang-bayang Julio nampak semakin jelas di mata Samarra. Katakanlah Samarra sudah gila, tapi sungguh, semakin hari ia semakin dibuat bingung oleh bayang Julio yang terus menerus menghantuinya. Sepertinya ia benar-benar sudah gila.
Ini pasti alam bawah sadarnya yang terus menerus membuat semua yang ia lihat berkaitan dengan Julio, laki-laki yang menjadi korban atas ketidakmampuan Samarra.
Mata Samarra terus mengikuti gerak-gerik bayang Julio yang bergerak hendak masuk ke dalam minimarket tempat Samarra termenung. Payung yang ia kenakan, di lipat, lalu ia simpan di depan jendela minimarket sebelum akhirnya membuka pintu, dan masuk.
Tidak punya malu. Samarra masih memperhatikan bayang Julio yang begitu nyata, mendekat ke arahnya yang sedang duduk termenung.
Lalu bayang itu tersenyum hangat, ikut duduk di sebelah kanan Samarra sembari menyandarkan sikunya di atas meja, dan berpangku dagu, balik menatap Samarra sendu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dongeng Sebelum Tidur
Teen FictionMereka berharap bahwa semua ini dan ceritanya hanyalah dongeng sebelum tidur yang tidak akan pernah terjadi. written by jlldal © 2023