Senyum penuh harapan terukir cantik di wajah Imelda Adelia pagi itu. Setelah turun dari taksinya, perempuan itu kini berdiri di sebuah rumah bernuansa abu-abu, tidak begitu besar, tidak begitu kecil juga. Letaknya tidak jauh dari jalan utama, dengan pagar kayu kecoklatan yang begitu tinggi menutupi hampir seluruh halaman depannya.
Imelda sudah berkali-kali menelepon laki-laki ini, tetapi nomornya sudah tidak aktif. Entah kemana laki-laki itu, tapi Imelda ingat kalau dulu laki-laki itu pernah memberikan alamat tempat tinggalnya di Indonesia saat mereka masih menjalin kasih dulu. Maka dari itu tanpa pikir panjang, Imelda memilih untuk datang langsung ke kediaman laki-laki tersebut.
Sebenarnya Imelda pun bingung hubungannya dengan laki-laki ini seperti apa. Selama dua tahun menjalin kasih, yang mereka lakukan adalah putus-nyambung-putus-nyambung. Entah mengapa selalu seperti itu. Ada masalah, putus. Tidak lama, kembali lagi. Mereka seperti menganggap hubungan putus nyambung ini memang sudah menjadi ciri khas mereka. Tidak heran mengapa Imelda tidak pikir panjang untuk menemui kembali kekasihnya ini setelah mereka memutuskan untuk putus empat bulan yang lalu.
Imelda dan laki-laki ini menjalin kasih karena merupakan kolega di tempat kerjanya. Awalnya ya seperti itu, hanya candaan yang berujung mereka terikat kasih. Tapi ternyata keduanya sering kali cekcok, dan keduanya mudah sekali mengucapkan kata putus satu sama lain. Karena mereka tahu bahwa sehabis ini mereka akan rujuk kembali.
Tidak masuk akal tapi begitu adanya.
Perempuan ini menekan bel yang ada di dekat pagar rumah tersebut, dua kali, tiga kali, belum ada yang menjawab atau datang keluar. Sampai kelima kalinya, suara pintu terbuka terdengar oleh Imelda.
Ia bersiap untuk memberikan senyuman hangatnya pada laki-laki yang sudah menjalani naik turunnya percintaan bersamanya.
Tetapi begitu pagar coklat itu terbuka, yang terlihat bukanlah laki-laki yang ia harapkan.
"Iya, ada apa ya?" tanya seorang laki-laki yang kelihatannya masih sangat muda, jauh lebih muda di bawah Imelda.
Mata cantik perempuan bernama lengkap Imelda Amelia ini berkedip cepat, "Ini kediaman Demas Adi Erlangga bukan ya?" tanyanya.
"Oh, itu pemilik lamanya kak kalau gak salah." jawab laki-laki itu. "Saya baru sebulan tinggal disini." lanjutnya.
Imelda keheranan, "Rumah ini dijual?" ia bertanya lagi.
"Iya," jawab laki-laki itu cepat. "Ini dengan siapa ya, mohon maaf sebelumnya."
Imelda menggelengkan kepalanya, "Oh, enggak, saya mau cari Demas, pemilik rumah ini yang sebelumnya." ujarnya. "Kira-kira ada nomor telepon yang bisa saya hubungi tidak ya?" tanya Imelda.
"Sebentar ya, saya cari dulu. Lupa deh masih disimpan atau enggak." Laki-laki itu sedikit berlari menuju rumahnya, kemudian ia memberikan secarik kertas kepada Imelda yang bertuliskan nomor telepon milik Demas. "Ini, saya ada nomor teleponnya yang ini."
Imelda menerima kertas tersebut, dan membaca angka demi angka yang familiar itu. Iya, itu adalah nomor Demas yang sama seperti yang Imelda telepon berkali-kali setelah ia sampai di Indonesia. Nomor yang tidak aktif lagi.
"Kira-kira ada info gak ya pemilik sebelumnya pindah kemana?" tanya Imelda lagi.
Laki-laki itu mengusap tengkuknya kikuk, tidak tahu menahu perihal ini.
"Wah, itu sih saya kurang tau ya." jawab dia seadanya.
"Oh yaudah kalau gitu, mohon maaf ya saya pasti ganggu waktu istirahatnya." Imelda memilih untuk pergi dari rumah berpagar coklat itu.
"Iya, gak apa-apa."
"Kalau gitu saya pamit dulu, permisi."
Langkah kaki Imelda terlihat hampa. Niatnya untuk memberi kejutan pada Demas benar-benar tidak tercapai. Saat ini ia dibuat berpikir, apa mungkin setelah berkali-kali putus-nyambung-putus-nyambung dengan Demas, pada akhirnya mereka putus dan selesai begitu saja?

KAMU SEDANG MEMBACA
Dongeng Sebelum Tidur
Teen FictionMereka berharap bahwa semua ini dan ceritanya hanyalah dongeng sebelum tidur yang tidak akan pernah terjadi. written by jlldal © 2023