Bab 6 - Tragedi Persimpangan Pattimura

48 1 0
                                    

Knop pintu ruangan Restin di rawat terbuka membawa langkah Ferrari masuk

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Knop pintu ruangan Restin di rawat terbuka membawa langkah Ferrari masuk. Bau khas obat-obatan langsung menyeruak memasuki indra penciuman gadis itu, bunyi alat monitor elektrokardiogram terdengar dengan tampilan sebuah garis grafis sangat mendominasi di dalam ruangan ICCU.

Detak jantung Ferrari tidak beraturan saat melihat Restin memejamkan kedua matanya erat di atas brankar dengan bantuan alat-alat medis yang membantu laki-laki itu melawan masa kritisnya.

"Tus... " Panggil Ferrari dengan suara yang tercekat.

"Gue di sini, lo nggak mau bangun?" Ferrari menggenggam erat jemari Restin.

Ferrari membekap mulutnya berusaha menahan tangis yang hampir pecah, dirinya benar-benar tidak menyangka bahwa Restin akan mengalami hal seperti ini. Ini sama sekali bukan harapan yang Ferrari minta.

"Tus, ayo bangun. Katanya kangen sama gue? Katanya mau peluk gue kalau udah ketemu? Kalau lo nggak bangun, siapa yang bakal jadi teman bolos gue nanti? Siapa yang bakal nemenin gue beli martabak malam-malam sampai muter alun-alun?" Hening, Restin masih setia memejamkan kedua matanya.

Ternyata benar apa kata orang, bahwa luka paling dalam, ketika kita tidak bisa berbuat apa-apa untuk orang yang menjadi penghargaan di hati kita.

"Bangun, bangsat!" Teriak Ferrari tiba-tiba, gadis itu mengguncang tubuh Restin yang terbaring lemah di atas brankar. Untuk nafas saja Restin memerlukan bantuan selang oksigen.

"Benturan di kepalanya cukup keras, kemungkinan Restin untuk sadar hanya tiga puluh persen, sisanya kita hanya perlu berdoa kepada Tuhan." Saat hendak masuk ke dalam ruangan ICCU, Ferrari tidak sengaja mendengar obrolan dokter dan Tante Erna.

"Dok, lakukan apa saja untuk keponakan saya, saya mohon, dokter." Pinta Tante Erna memohon.

Ferrari menekan dadanya kuat, begitu sesak rasanya mendengar pernyataan bahwa Restin, sahabatnya, tidak punya banyak harapan untuk melanjutkan hidup.

"Ini hari ulang tahun gue, harusnya lo datang ke ultah gue bawa kado boneka kelinci yang lo janjikan waktu itu, tapi, kenapa lo malah terbaring di brankar kaya gini, Tus?"

Tangan Ferrari bergerak mengelus lembut pipi Restin, mengusap sisa-sisa air matanya dengan tersenyum miris. "Tus, bangun, yuk? Katanya mau jadi tameng yang hebat buat gue? Katanya mau ngajak gue, Mama, sama Tante Erna liburan ke Singapura? Nanti, kalau lo nggak mau bangun, yang ngajak jalan-jalan gue siapa?" Kata Ferrari dengan tubuh yang bergetar.

Dulu, waktu masih kecil, saat Ferrari sedang sakit, Restin selalu menemaninya, pernah juga ikut membantu Mama Umara membuat bubur walaupun Restin belum begitu paham dengan dunia dapur.

"Lo nggak mungkin ninggalin gue, kan? Kalau lo ninggalin gue, yang jagain gue selama Papa keluar kota dan Mama sedang kumpul arisan siapa?"

Bagi Ferrari, Restin sosok tameng terbaik setelah Papa Danang. Laki-laki itu selalu mengalah demi kemauan konyol Ferrari. Sepertinya, takdir Tuhan sedang bercanda, mempermainkan hati yang sedang sedih bertambah kecewa. Mau bagaimanapun Ferrari meminta Restin untuk bertahan, jika sudah takdirnya, kita harus berbuat apa selain menerimanya dengan lapang dada?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 30 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Setelah Kepergian Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang