11. Ide Dadakan

6.8K 653 7
                                    

Satu jam kemudian satu piring bakwan tersaji panas di atas meja dan siap untuk di santap, untuk cocolannya, Helena menggunakan cabe, tomat, dan bawang yang ditumbuk jadi satu sampai lumayan halus kemudian di tumis sebentar lalu di beri sedikit gar...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Satu jam kemudian satu piring bakwan tersaji panas di atas meja dan siap untuk di santap, untuk cocolannya, Helena menggunakan cabe, tomat, dan bawang yang ditumbuk jadi satu sampai lumayan halus kemudian di tumis sebentar lalu di beri sedikit garam dan gula.

Memasak memang butuh keahlian, tapi insting juga berperan, Helena bukan tipikal orang kaya yang masa bodoh, dia juga kadang kepo meski belum pernah praktek. Sekaranglah saatnya dan ternyata hasilnya tidak mengecewakan.

Perasaan senang dan sedih mengiringi setiap kunyahan Helena karena teringat dunianya yang dulu. Dunia ini memang menyenangkan, tapi terlalu kejam. Andai punya pilihan gadis itu ingin kembali agar bisa bertemu orang tuanya meski hanya sesekali, ia-pun rela melanjutkan pengobatannya sampai bisa berjalan. Namun jika jiwanya bisa berpindah berarti jasadnya di sana sudah mati.

"Apa makanannya tidak enak, kok Nona sampai menangis?"

"Entahlah, mungkin saja, saos merah itu kelihatan mengerikan, Nona menaruh banyak cabe di dalamnya mungkin dia kepedasan" Sese dan Tula kembali saling menimpali.

Lala yang juga penasaran akhirnya terbang mendekat dan hinggap di atas meja. "Kenapa Nona? Apa ada masalah dengan makanannya?" tanyanya.

Gadis yang kini senang berkepang dua itu menggeleng sambil menyeka air matanya. "Aku hanya sedang memikirkan sesuatu, bukan hal penting" jawabnya kemudian tersenyum tipis dan melanjutkan makannya. Helena mencoba pasrah, mau tidak mau dia harus menerima takdir barunya di dunia ini.

Setelah makan malam, gadis itu kembali ke kamar dan langsung rebahan memikirkan bagaimana membuat hidupnya disini tidak membosankan. Alur novel tidak lagi menarik minatnya, terserah para pemerannya saja.

Usianya yang baru beranjak 18 tahun dan jarang mendapatkan arahan dari orang tua membuat Helena mudah dilema dan berubah arah tergantung suasana hatinya. Terkadang ia merasa senang dengan dunia barunya, terkadang ia juga bosan seperti sekarang. Usianya kini adalah masanya pencarian jati diri, tapi pencarian jati dirinya kejauhan, bablas sampai ke dimensi lain.

🌳

Setelah mandi dan rapi, Helena keluar dari rumah dengan mengenakan gaun yang lebih cerah tapi tidak norak dan tetap nyaman. Tas salempang rajut berisi uang tak lupa ia bawa untuk bekal jika ingin jajan. Rencananya hari ini dia akan menjelajah wilayah di sekitar rumahnya saja.

Belum seratus meter berjalan, perhatian Helena teralih ke seorang wanita yang sedang menjual apel merah yang lumayan besar, kelihatan segar dan menggiurkan. Dia pun mendatangi toko wanita itu.

"Nyonya berapa harga apel ini?"

"Nona cantik, selamat datang, semua apel ini masih segar baru ku petik tadi pagi dari kebun ku, harganya murah, kau bisa dapat lima buah hanya dengan satu koin tembaga" jawab wanita itu ramah.

"Apa Nyonya sedang beramal, itu murah sekali" ujar Helena heran, karena di kota Robinson harga apel sebuah adalah satu koin tembaga.

"Mau bagaimana lagi, panenku berlimpah, daripada busuk jadi ku jual murah saja, lagi pula apel seperti ini mudah tumbuh disini, oh ya Nona, apa kau tinggal di restoran yang bangkrut itu"

My Helena (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang