Gavin memandang langit-langit kamarnya sendu, semenjak dia didiagnosis penyakit itu, Gavin menjadi lebih pendiam. Beberapa kali notifikasi ponselnya berbunyi, Gavin bisa menebak jika Andre yang sedang mengirim pesan kepadanya. Jika bukan Andre, lalu siapa teman Gavin?
Gavin beranjak dari tempat tidurnya, berniat membersihkan diri. Hari ini terasa sangat melelahkan. sebelum pergi menuju kamar mandi, Gavin mengambil segelas air dinakas kecil samping tempat tidur. Sial.. airnya habis, mau tidak mau, Gavin harus mengambir air minum di dapur. Sejujurnya Gavin enggan karena nanti ia akan bertemu dengan Kavin. Bukan, Gavin tidak membenci Kavin, hanya saja ia kecewa. Bukankah itu sesuatu hal yang wajar?
Sebelum Gavin sampai ke dapur, ia melewati kamar milik saudara kembarnya. Gelap, Gavin heran karena tidak seperti biasanya kamar itu gelap. Gavin tahu jika Kavin sangat tidak menyukai kegelapan. Bahkan seisi rumah dibuat penuh lampu oleh Mahardika, tentu tujuan utamanya adalah supaya Kavin tidak merasa takut. Emm.. ralat seisi rumah memang penuh lampu berwarna putih terang, kecuali kamar milik Gavin yang hanya memiliki satu lampu bohlam berwarna kuning. Bisa dibayangkan.
"GUE GAMAU MATI!!!!!!!!!!"
Deg..
Gavin tersentak mendengar teriakan dari kamar Kavin. Gelas yang dipegangnya diletakan begitu saja lalu segera memasuki kamar Kavin.
"Kav, lo kenapa?" tanya Gavin panik.
Gavin mencoba menarik tangan Kavin yang sedang menjambak rambutnya sendiri, Gavin bingung harus berbuat apa. Tanpa pikir panjang Gavin membawa Kavin ke pelukannya. Akhirnya, setelah bertahun-tahun kedua saudara kembar itu kembali berpelukan. Mungkin pelukan untuk yang terakhir kali?
"Kavin, lo tenang, ada gue disini, Gavin udah ada sama Kavin. Jadi gue mohon tenang ya?" pinta Gavin.
Kavin membalas pelukan dari Gavin. Tanpa sadar dua saudara kembar itu meneteskan air mata. Entah itu air mata kerinduan, atau hal yang lain. Hanya mereka yang tahu.
Gavin merasa pelukan yang tadinya erat perlahan terlepas, sepertinya Kavin tidur didalam peluknya. Gavin senang Kavin sudah tidak menolak kehadirannya seperti beberapa waktu lalu. Namun, tidak begitu lama, Kavin lalu menghempaskan tubuh Gavin untuk menjauh.
"Pergi" ucap Kavin dingin
"Kav, lo kenapa?"
"Bukan urusan lo, mending lo pergi"
Gavin menatap sendu, rasanya sia-sia jika dia mengharapkan Kavin kembali menerimanya seperti dahulu. Andai saja, kesempatan itu ada, pasti Gavin akan sangat senang sebelum dia pergi.
Setelah mengambil air minum, Gavin kembali menuju kamarnya. Gavin menatap langit-langit, kembali lagi, dia rindu dengan kehangatan keluarganya yang dulu. Gavin rindu rumah.
tess
tess
tess
"Shitt"
Gavin menegakan tubuhnya ketika merasa kepalanya mulai berdenyut. Cairan merah berbau anyir itu kembali meluncur dari dalam hidung Gavin. Oh tidak, Gavin lupa meminum obatnya lagi. Gavin beranjak dari duduknya, ia mengambil tas berwarna hitam kusam, dan mencari sumber kehidupan Gavin didalamnya. Obat itu tersisa hanya beberapa butir saja, tidak cukup untuk menampung semua kesakitan Gavin besok.
"Ck, balik ke rumah sakit lagi dah gue" monolog Gavin.
"Gapapa deh, gue belum mau mati, gue mau mati kalau Kavin sama papah mau nerima gue lagi" lanjutnya.
Setelah meminum beberapa butir obat, Gavin merasa matanya sangat berat. Efek samping obat itu ternyata tidak jauh berbeda dengan obat yang lain, sama-sama membuat seseorang mengantuk dan tertidur. Gavin merasa fungsi obat sekarang bukan untuk menyembuhkannya dari penyakit itu, tapi.. melupakan semua yang penyakit itu beri untuk tubuhnya. Entahlah, Gavin bukan ahli medis dan, dia memang tidak bercita-cita menjadi seorang dokter. Cita-cita Gavin saat ini adalah GAVIN INGIN HIDUP LEBIH LAMA. Itu saja.
*****
Kicauan burung dan bunyi alarm menjadi backsound pagi ini. Terlihat seseorang yang masih menyembunyikan tubuhnya dibalik selimut. Wajahnya sembab, akibat tangisnya semalam. wajahnya tidak jauh berbeda dengan Gavin, yang membedakan adalah kulit tubuhnya yang sedikit lebih putih dari Gavin. Ya.. seseorang itu adalah Kavin.
Kavin meraba nakas disamping tempat tidurnya. Lalu mematikan alarm yang sedari tadi berbunyi dan mengganggu tidurnya. Kavin menggeliat pelan, terduduk dan mengusap wajahnya. Ia berdiri lalu mengambil handuk menuju kamar mandi. Bukan waktunya untuk bermalas-malasan.
Kavin menatap pantulan dirinya dicermin. Matanya terlihat sembab dan hidungnya memerah, yang paling terlihat adalah bibirnya yang pucat dan terdapat sedikit noda darah mengering disudutnya. Ia menghela nafas pelan, sudah lama penyakit itu tidak muncul, kenapa satu minggu kebelakang ini, penyakit itu hadir kembali. Kavin sangat frustasi.
Kavin mengacak rambutnya, memberikan sedikit minyak lalu ia sisir dengan jari panjangnya. Sejujurnya Kavin malas berangkat sekolah hari ini, tapi ia juga tidak bisa lari dari kewajibannya sebagai pelajar, toh tinggal beberapa bulan lagi sebelum ia berganti profesi sebagai mahasiswa.
Tidak jauh berbeda dengan Kavin, disamping pintu depan rumah itu terlihat seorang pemuda duduk dengan posisi memeluk lututnya. Badannya terlihat gemetar karena udara pagi ini, giginya beradu menimbulkan suara lirih dan terkesan menyakitkan. Pemuda itu tak lain dan tak bukan adalah Gavin.
Setelah pulang dari rumah sakit. Gavin tidak berani masuk ke rumah itu lagi, ahh lebih tepatnya ia tak kuat melihat kondisi saudara kembarnya yang seperti itu. hatinya terlampau sakit, di kepalanya selalu terngiang-ngiang kejadian malam tadi. Tolong siapapun bilang kalau ini semua hanya mimpi Gavin semata?
Oh tidak Gavin..
Semua ini nyata!
Cklekk
"Ngapain lo disini?"
Gavin mendongakkan kepalanya ke atas.
"D-dingin"lirih Gavin
"Bego"
Gavin tersenyum getir. Kavin pergi begitu saja dengan seragam sekolahnya yang sudah rapi dan meninggalkan Gavin sendiri disini.
Tapi.. Bukankah Gavin selalu sendiri?
TBC
SEE YOU ASAPPPP
TERTANDA agstnmda_
KAMU SEDANG MEMBACA
GAVIN
Teen Fiction"Pah, Gavin hanya ingin papa peluk Gavin disaat terakhir Gavin" "Paru paru Gavin sakit papa, tapi hati Gavin jauh lebih sakit" "Gavin hanya ingin papa sama Kavin sayang sama Gavin" "Gavin butuh kalian" . . . . Ini bukan kisah seorang badboy yan...