Kedua

11.7K 773 49
                                    

Benar apa yang dikatakan Andre, hujan akan turun beberapa saat lagi, dan Gavin terjebak di halte bus kompleks perumahannya, Gavin merapatkan jaketnya lalu melindungi kepalanya dengan tas punggung miliknya. Gavin lalu menerobos hujan, tak peduli seragam dan buku buku pelajarannya basah karena air hujan, yang terpenting dia harus sampai ke rumah sebelum pukul 5, jika tidak mau mendapat 'hadiah' dari ayahnya.

"Cklekk"

Gavin membuka pintu rumah lalu menghela nafas lega, Gavin melangkah menuju kamarnya yang berada di lantai 2, namun saat gavin menaiki anak tangga ketiga, suara Bariton sang ayah menghentikan langkahnya.

"Dari mana saja kamu"

"ehm Gav.. Gavin... Tadi"

"Kamu lupa peraturan dirumah ini vin?"tanya sang ayah.

Gavin menggelengkan kepalanya lemah, lalu menunduk. Dalam hati ia berdoa semoga saja ayahnya tidak memberi hadiah untuk saat ini. Namun, dewi fortuna sepertinya sedang tidak berpihak Gavin. Lagi lagi kali ini Gavin mendapat hadiah dari ayahnya.

"Masuk ke ruangan itu Gavinio Mahardika, ayah tunggu disana"ujar Mahardika lalu berlalu meninggalkan Gavin yang menunduk lesu.

Gavin menyeret kakinya lemah menuju ruangan rahasia. Baginya ruangan itu adalah surga, tempat dimana ayahnya mencurahkan segala bentuk kasih sayang dengan caranya sendiri.

Gavin menunduk lalu dengan segera melepas seragam yang dipakainya. Menampilkan punggung putih dengan beberapa memar yang dihasilkan karena kasih sayang sang ayah.

Gavin sudah hafal betul, apa yang akan ayahnya lakukan untuknya, bahkan disana sang ayah telah mempersiapkan cambuk ditangannya untuk sang anak.

Gavin menelan ludah dengan susah payah, baginya hukuman cambuk adalah yang terberat daripada dia mendapat pukulan yang bertubi tubi di tubuhnya dari sang ayah.

Gavin menutup rapat matanya, kala sang Ayah akan mengayunkan cambuk ke punggungnya.

CTARRR

Perih, panas, sakit. Seperti itulah yang Gavin rasakan. Tak terasa Gavin menangis kecil, menggigit bibir bawahnya guna menahan isakan dan suara kesakitannya itu. Heyy bukan, Gavin bukannya cengeng, tapi lihatlah kasih sayang yang diberikan ayahnya. Tak lain adalah kebencian bukan kasih sayang, oh ayolahh, kalian pasti tau itu.

"C cccukup yyyahh, sssakittth"Rintih Gavin namun sepertinya sang ayah menutup telinganya atas rintihan Gavin.

CTARRR

CTARRR

CTARRR

"Agrhhhhhhh"teriak Gavin saat ia tak mampu lagi menahan sakitnya.

"Masih berani merintih kau Gavin!!!, Apa belum cukup kau membunuh istri dan anak perempuan saya!!! Kau juga akan membunuh saudara kembarmu sendiri Hah?!!! Saya tidak pernah sudi menganggap mu sebagai anak!!! Kau adalah pembunuh!!!" Maki Mahardika didepan wajah Gavin.

'Cuihh

Mahardika meludah lalu meninggalkan ruangan kedap suara dengan diameter 6×8 meter dibawah tanah itu. Gavin merintih, punggungnya terasa kebas, sakit, perih dan merah. Beruntung sekali ruangan itu kedap suara, sekarang yang dilakukannya adalah mengerang, menangis dan berteriak, menyuarakan kesakitan yang selama ini dia pendam seorang diri.

Gavin menangis, baginya lebih baik ia ikut dengan kakak juga bundanya daripada ia hidup dengan tatapan kebencian dari ayah dan saudara kembarnya itu. Setelah sepuluh menit meratapi nasib di ruangan itu, Gavin menyeret kakinya pelan, memungut tas dan baju seragamnya di sudut ruangan lalu pergi dari surga itu. Ehh ralat, neraka itu.

Gavin melangkahkan kakinya pelan menaiki satu persatu anak tangga, hatinya mencelos sakit kala mendengar suara tawa dari arah meja makan dari gurauan saudara kembarnya juga ayahnya, perlahan buliran bening itu kembali menganak sungai setelah ia melihat perlakuan Mahardika terhadap saudara kembarnya jauh berbeda daripada dengannya.

Tak mau berlama lama menyaksikan kebahagiaan itu, Gavin mempercepat langkahnya, melewati dua orang yang sedang berbahagia tanpa Gavin yang tak lain adalah anggota keluarganya.

'Ceklek

Pintu bercat putih dibuka oleh Gavin, Gavin menghela nafas lega, ia masih bersyukur karena sang ayah mau memberinya kamar tidur dengan fasilitas lengkap walaupun masih lengkap kamar milik saudara kembarnya itu.

Gavin menutup pintu dan tak lupa menguncinya lalu berjalan menuju kamar mandi yang terletak di kamarnya, tak berapa lama Gavin keluar dari kamar mandi dengan lilitan handuk yang hanya menutupi pinggang sampai bagian lututnya.

Gavin menatap pantulan cermin kecil di lemarinya, membalikan punggungnya lalu nampaklah punggung putih dengan beberapa memar kebiruan serta bekas darah yang telah kering sekaligus memerah. Ini bukan kali pertama Gavin mendapat hukuman cambuk, kalau dihitung hitung, ayahnya lebih sering menghukum dia dengan bogeman mentah daripada dengan cambuk kecuali kalau ayahnya mendapat masalah dikantor, dan dirinya melakukan sesuatu yang menyelakai saudara kembarnya Kavin.

Gavin segera memakai bajunya dengan susah payah, gesekan antata baju serta kulitnya menimbulkan kesan tersendiri bagi Gavin.

Gavin lalu merebahkan tubuh kurusnya dengan pelan, setelah punggungnya yang terasa sakit, sekarang perutnya juga sakit. Gavin lupa makan hari ini, sejak tadi pagi hanya ada air putih yang diberikan oleh Andre, sesuap roti pun tidak ada.

Gavin masih waras, ia lalu beranjak dari tempat tidur dan menuju ke ruang makan, pikirnya berharap masih ada makanan sisa dari ayah dan saudara kembarnya.

Setelah sampai ke meja makan dan membuka tutup sajinya. Harapan Gavin pupus sudah, tidak ada makanan apapun disana, Gavin lalu memeriksa sekeliling, matanya tertuju pada sebungkus mie instan yang tergeletak di samping kompor, senyum Gavin terbit, dengan segera dia menuju ke meja kompor lalu memasak mie instan tersebut. Gavin tersenyum lega, setidaknya perutnya terisi walau hanya mie instan.

"Lagi ngapain lu?"Suara serak saudara kembarnya memudarkan senyuman Gavin. Ia lalu membalikan badan seraya menunduk, bagi Gavin, saudara kembarnya adalah neraka kedua setelah sang Ayah, bahkan saudaranya lebih kejam daripada sang Ayah.

"Lagi masak mie Kav"Ucap Gavin ragu ragu sembari menunduk.

"Buatin gue juga kalo gitu, gue laper"ujar Kavin. Lalu duduk di meja makan.

"Tap tapi, Mie instannya tinggal satu, gue juga laper kav"sahut Gavin.

BRAKKK

Kavin menggebrak meja makan yang membuat Gavin terlonjak kaget. Kavin lalu berjalan menuju Gavin yang menunduk takut, tatapan Kavin kini menajam, tercetak amarah didalam bola matanya.

Bughh

Gavin meringis kala merasakan pukulan dasyat dari Kavin yang tak lain adalah saudara kembarnya itu. Gavin jatuh tertunduk sembari memegang perutnya yangbterasa nyeri. Ia meringis lalu segera berdiri menghadap Kavin yang wajahnya jauh berbeda dengannya walau mereka adalah saudara kembar.

"Kalo gue bilang buatin ya buatin?!!, jangan sok sokan ngelawan?!!"Bentak Kavin.

"Gue cuma mau makan kav, gue laper"sahut Gavin.

"lu kira gue ga laper hah?!!, gue juga laper bego"lanjuy Kavin.

"Kav pliss, perut gue sakit belum makan dari pagi, ditambah lu pukul perut gue, gue cuma mau makan Kav, pliss"ucap Gavin. Raut mukanya memelas, Gavin juga menyatukan tangannya didepan Kavin berharap ada setitik rasa belas kasihan Kavin terhadapnya, namun hasilnya nihil, bahkan Kavin memalingkan wajahnya ke tempat lain, menghindari tatapan Gavin yang menyendu.

"Plesetan dengan semua omongan lu"sahut Kavin lalu melanjutkan aktivitas memasak mie instan Gavin.

Mata Gavin mengikuti gerakan gerakan Kavin, sesekali ia meringis menahan sakit dibagian perutnya. Gavin duduk dimeja makan lalu menelungkupkan wajahnya diantara lipatan tangannya. Gavin menangis dalam diam lagi dan lagi.

********

TBC

HALLO SIAPA YANG KANGEN GAVIN??

GAVINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang