BAB 12

272 32 2
                                    


"Presiden Indonesia?" dengus Liam kepada Emma, yang sedang duduk bersila di karpet ruang tamu rumahnya. "Berlebihan sekali. Kenapa anak itu akhirnya menjadi Presiden?" tanya Liam tidak mengerti, sambil terus membaca hasil tulisan Emma.

Emma berhenti mengerjakan tugas Accounting-nya di atas meja pendek ruang tamu, lalu menengadah menatapnya yang duduk di sofa. "Siapa orang nomor satu di negara ini? Presiden! Kalau kita mau bertindak sebagai tuhan bagi hidup anak itu, yah jangan tanggung-tanggung," kata Emma berapi-api.

Cewek itu lalu bangkit berdiri dan bergaya ala Power Rangers dengan satu tangan terkepal di udara. "Kita akan tunjukan kepada orang tuanya yang tidak tahu diri itu bahwa anak mereka bisa menjadi orang nomor satu di negara ini, bahkan tanpa kasih sayang mereka. Biar tahu rasa kalian!" seru Emma penuh semangat.

Liam merasa Emma juga sedang berbicara tentang dirinya. Cewek itu lalu menepuk punggungnya keras. "Kamu juga harus begitu. OK?" kata Emma tegas.

Tangan Emma berada di punggungnya selama beberapa saat, dan Liam kembali merasakan sensasi aneh itu lagi. Seperti saat Emma menepuk punggungnya di dojo tempo hari. Ya Tuhan, rasanya nyaman sekali.

Emma kembali duduk di karpet. Liam langsung kehilangan rasa nyaman itu. Ia berdeham untuk mencegah dirinya meminta Emma menyentuh punggungnya lagi. "Tapi apa harus jadi Presiden Indonesia?" gerutunya lagi.

"Apa kamu punya ide lain?" Emma kembali menulis di buku Accounting-nya.

Liam berusaha memikirkan sebuah ide cerita. "Mmm... Bagaimana kalau suatu hari anak ini terlibat dalam suatu perkelahian, terus terluka parah..." Liam berhenti bicara dan berpikir lagi. "Tapi karena lukanya terlalu parah, kedua tangan dan kakinya harus diamputasi dan digantikan dengan tangan dan kaki buatan. Terus dia berubah menjadi sebuah robot pembela kebenaran," kata Liam sambil menerawang.

Emma berhenti mengerjakan tugasnya, menghela napas pasrah. Ucapan Carol ternyata benar. Ada apa dengan anak cowok dan superhero? Emma berusaha mengingat-ingat. Ia pernah mendengar cerita mirip cerita Liam tadi. Cerita apa ya?

"Bagaimana? Apa pendapat kamu?" tanya Liam, saat melihatnya hanya diam saja.

"Pendapat aku? ulang Emma, diam-diam meraih sebuah bantal sofa. "Ini pendapat aku!" seru Emma, memukulkan bantal itu ke kepala Liam.

Liam sesaat terpana, lalu ikut meraih sebuah bantal, menjadikannya tameng ketika Emma memukulnya lagi. Ia bangkit berdiri sambil terus menangkis serangan Emma dengan bantalnya.

"Kenapa anak itu tiba-tiba berubah seperti Robocop! ROBOCOP!!!" teriak Emma tidak percaya, sembari terus mengejar Liam mengelilingi ruang tamu itu.

"Why not?" tanya Liam polos.

"Karena Bu Dania berkata dia mungkin akan memberi kita nilai A+ karena novel kita paling realistis," kata Emma, terus memukul-mukulkan bantalnya. "Apa menjadi Robocop itu realistis?!" seru Emma marah.

Liam benar-benar tidak bisa menahan tawanya melihat kemarahan Emma. Cewek itu terlihat benar-benar menggemaskan ketika marah.

"Apa ini yang kalian sebut dengan belajar?" tanya sebuah suara tiba-tiba. Liam menoleh dan melihat neneknya sedang berdiri sambil melipat kedua lengannya di depan dada.

Seketika itu juga Emma berhenti menyerangnya, lalu menoleh untuk menatap neneknya. Liam mengambil kesempatan itu untuk memukul bagian belakang kepala Emma dengan bantalnya.

"William!" seru neneknya memperingatkan.

"Selamat sore, Mrs. Delia," kata Emma sambil membetulkan letak kacamatanya yang miring. "Kami tadinya sedang mengerjakan tugas, tapi tiba-tiba kami berbeda pendapat," lanjut Emma, melirik kesal kepadanya.

You're Still The One (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang