BAB 20

325 40 3
                                    


Mereka bertiga berdiri diam. Tidak bergerak, tidak bersuara. Suara teman-teman sekelas mereka yang sedang bergembira hanya terdengar sayup-sayup di telinga Emma.

"I'm pregnant," ulang Amira pelan.

Butuh waktu beberapa saat bagi Emma untuk mengerti situasi yang sedang terjadi. Otaknya berhenti bekerja, darahnya membeku. Emma merasa sangat kedinginan. Tubuhnya mulai gemetaran. Ia memaksakan diri memandang Liam.

"Liam?" panggilnya lirih. Amira sedang bercanda, kan? Emma ingin bertanya seperti itu, namun bibirnya tidak bisa dibuka.

Liam tidak mendengarnya. Cowok itu hanya terperangah menatap Amira, lalu menelan ludah susah payah. Liam membuka mulutnya, namun tidak ada suara yang keluar. Cowok itu terlihat linglung dan bingung.

Sikap Liam itu menjelaskan segalanya.

Emma merasa ada seseorang yang menarik jantungnya keluar dari rongga dadanya, membuangnya ke tanah, lalu menginjaknya.

Hubungan mereka sudah sejauh itu. Liam sudah berhubungan intim dengan Amira, batin Emma dengan hati hancur. Ia menggigit bibirnya yang bergetar, dan berjuang menahan air matanya yang nyaris tumpah.

Amira dipanggil ke ruangan Mrs.Delia karena alasan itu. Hasil tes itu tidak menunjukan Amira memakai narkoba, melainkan menunjukan kalau cewek itu sedang hamil. Amira sedang mengandung bayi Liam.

Emma memejamkan kedua matanya. Oh, Tuhan, rasanya sakit sekali. Rasa sakit di punggungnya tidak ada apa-apanya dibanding rasa sakit yang dirasakannya saat ini. Emma membuka mata, menarik napas susah payah. Terkutuklah ia kalau mendengar percakapan ini lebih lama.

Emma beranjak meninggalkan tempat itu, namun Amira menghalangi jalannya.

"You don't want to stay and hear the details?" bisik Amira, tersenyum licik.

"Minggir," geramnya. Ia tidak akan membiarkan Amira puas melihatnya menangis. Ia menatap Amira tanpa gentar, sambil tersenyum merendahkan, "Some women are just born to be an absolute whore. Like you."


***

"But why, Em?" tanya Carol sambil terisak. "Kenapa kamu harus pergi sekarang? Acara kelulusan kita tinggal lima hari lagi, kenapa enggak tunggu sampai acara itu selesai?"

"Something happened, and I must go, Car," jawab Emma pelan, sambil terus memasukkan baju-baju dan barang-barangnya ke dalam koper.

"Tapi apa, Em? Apa yang terjadi? Tadi malam kamu pergi meninggalkan acara perpisahan kita, kamu enggak pulang ke asrama, dan sekarang mata kamu bengkak. Apa kamu sakit?"

Emma mengangguk pelan. Ia teramat sangat sakit. Emma yakin sakit hati yang dirasakannya sejak tadi malam perlahan bisa membunuhnya. Setelah mendengar Amira mengumumkan berita yang menghancurkan hatinya itu, Emma langsung berlari ke kamar hotel ibunya dan menangis sejadi-jadinya di sana. Ia meminta ibunya untuk mencari tiket penerbangan paling cepat ke London, dan menyelesaikan semua urusan yang tersisa dengan pihak sekolah.

Emma tidak ingin tinggal di sekolah ini lebih lama lagi. Ia tidak punya alasan apapun untuk tinggal lebih lama di Harlow.

"Apa luka di punggung kamu masih sakit?" tanya Carol prihatin.

Emma sadar ia berutang kejujuran kepada Carol. Sahabatnya itu harus tahu alasan mengapa ia harus pergi secepatnya dari Harlow. Emma duduk di tempat tidurnya, dan menyuruh Carol duduk di tempat tidur cewek itu.

"Aku akan menceritakan sesuatu, Car. Tapi ini harus menjadi rahasia kita berdua. Enggak boleh ada orang lain yang tahu. Promise me?" Emma menatap Carol sungguh-sungguh. Sahabatnya itu menganggukkan kepalanya cepat-cepat.

You're Still The One (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang