BAB 28

336 35 0
                                    


Liam sudah berdiri di depan pintu rumah Emma selama setengah jam. Seumur hidupnya ia belum pernah berdiri termenung di depan pintu seorang wanita. Ia tidak pernah membayangkan hal ini akan terjadi kepadanya, ketika ia pulang ke Indonesia untuk mengurus pemakaman neneknya.

Atau ketika Liam memutuskan untuk menghadiri acara reuni itu. Saat itu ia hanya ingin bertemu Emma lagi, dan mengetahui kabar wanita itu. Ia tidak menyangka pertemuannya kembali dengan Emma akan mengubah perasaannya terhadap wanita itu.

Liam tertarik kepada Emma. Akhirnya ia berani mengakuinya. Sebagai seorang laki-laki, kepada seorang perempuan. Sejak ia melihat wanita itu lagi setelah sekian lama. Dan terutama setelah ia mengetahui perasaan Emma kepadanya dulu.

Hanya Emma yang ada di dalam pikirannya seminggu terakhir ini. Ia rindu menghabiskan waktu bersama Emma, dan mengobrol dengan wanita itu. Hal yang belum pernah dialaminya dengan seorang wanita pun dalam kehidupan dewasanya. Bahkan dengan wanita-wanita yang pernah berhubungan dengannya.

Emma adalah hal terbaik yang pernah terjadi di dalam hidupnya. Liam baru benar-benar menyadarinya ketika bertemu wanita itu lagi. Ia bisa melewati masa-masa terberat dan terkacau dalam hidupnya berkat wanita itu. Namun, ia malah menyakiti hati Emma.

Mungkin ia adalah pria yang tidak tahu malu, karena ia masih berharap Emma masih memiliki perasaan untuknya. Liam merasakan dorongan aneh untuk mengajak Emma kembali ke Harlow. Ia mempunyai firasat kuat kalau nasibnya akan ditentukan di tempat itu, dan semua kebenaran akan terungkap di sana.

Liam melirik jam tangannya, mengembuskan napas gugup sebelum menekan bel rumah Emma. Ia mendengar suara-suara di balik pintu, sebelum akhirnya pintu terbuka dan menampilkan sosok Emma dalam pakaian kasual. T-shirt putih polos, cardigan tebal berwarna abu-abu, celana jins dan sepatu Converse berwarna biru. Wanita itu tidak mengenakan make-up sama sekali. Rambutnya dikucir kuda, dan dia mengenakan kacamata mungilnya.

Liam terpaku. Perasaan rindu yang aneh melandanya. Ia seperti sedang memandang sosok Emma tiga belas tahun yang lalu. "Long time no see," ucapnya tanpa sadar.

Emma menyipitkan matanya, seperti kebiasaannya dahulu ketika wanita itu sedang kesal kepadanya. "Kita baru bertemu dua hari yang lalu," dengus Emma, mengunci pintu rumahnya sambil memegang tas berpergiannya yang mungil. "Kenapa sih kita harus berangkat jam lima pagi? Aku benci bangun subuh-subuh begini."

Liam tertawa. "Ah, you're not a morning person. Noted."

"Nobody is a morning person on weekends," gerutu Emma.

Liam mengambil tas bepergian Emma dari tangan wanita itu. "Lalu lintas menuju Puncak di hari Sabtu padat sekali. Kita harus berangkat pagi-pagi sekali kalau tidak mau terjebak macet," Liam menjelaskan tenang.

Emma memandangnya sambil cemberut. Liam memerhatikan wajah wanita itu dengan seksama. "Em, are you a vampire? You haven't aged a bit," gumam Liam takjub.

Emma menyipitkan matanya lagi. "Do you mean I still look like a 12-year-old?"

"Aku sudah berhenti menganggap kamu seperti anak kecil sejak aku melihat kamu memakai gaun merah itu," sahut Liam jujur.

Wajah Emma mulai memerah. Wanita itu berdeham pelan. "Where's your car?"

Mata Emma membelalak ketika Liam menunjuk sebuah Mercedes keluaran terbaru berwarna hitam yang terparkir beberapa meter dari halaman rumah Emma.

"Not mine," sahut Liam buru-buru. "Punya Eyang."

Emma hanya memutar bola matanya.

Liam berjalan mendahului, lalu membukakan pintu penumpang untuk Emma. Wanita itu tertawa geli melihatnya bersikap seperti seorang gentleman. Ia meletakkan tas bepergian Emma di kursi belakang, di samping plastik-plastik belanjaan yang dibawanya.

You're Still The One (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang