BAB 33

322 32 1
                                    


LIAM memejamkan mata sejenak. Ini hanya sebuah mimpi buruk. Ia ketiduran di rumah Emma setelah bercinta semalaman dengan wanita itu, lalu mengalami mimpi buruk ini.

"Pak Armand, perkenalkan, ini Dokter William Wicaksono. Dia ini calon dokter bedah saraf terbaik yang akan dimiliki negara kita ini," kata Dokter Martin, menepuk-nepuk pundaknya.

Tepukan Dokter Martin menyeret Liam kembali pada kenyataan. Ia membuka mata, menatap ayah Emma yang sekarang menatapnya tajam. Ini sama sekali bukan mimpi! Liam mengerang keras di dalam hati. Oh, Tuhan... Mana ada kebetulan yang kejam seperti ini!

Ayah Emma tiba-tiba memicingkan matanya. Kilas pengenalan berkilat-kilat di matanya. "It is you!" seru ayah Emma kaget.

Liam hendak mengucapkan sesuatu, namun bayangan wajah Emma yang bahagia ketika menerima buket bunga lily tadi tiba-tiba melintas dalam benaknya. Sebuah kesadaran baru menghantamnya telak.

Liam merasakan wajahnya memucat. "Emma doesn't know, does she? You're hiding this from her!" tuduh Liam, berusaha menekan emosi yang mulai menggelegak di dalam dadanya.

Ayah Emma mengalihkan pandangannya. "She doesn't have to know," bisik ayah Emma lemah.

Mata Liam membelalak. "Excuse me, Sir?" tanya Liam, tidak memercayai pendengarannya.

Suara berdeham tiba-tiba terdengar. "Sepertinya kalian berdua sudah saling kenal," kata Dokter Martin, menatapnya dan ayah Emma bergantian dengan penasaran.

Liam mengabaikan kata-kata Dokter Martin itu. Ayah Emma masih tidak berani memandangnya. Lalu, sebuah kesadaran mengerikan lain menghantamnya lagi. Liam sampai harus menghirup udara dalam-dalam. "Om berencana untuk meninggal sendirian. Betul, kan?" tuduh Liam marah. Persis seperti yang dilakukan Eyang!

"Saya akan tinggalkan kalian berdua," Dokter Martin menyela pelan, lalu keluar dari kamar.

Ayah Emma mengatupkan bibirnya yang bergetar. "Apa kamu pernah melihat Emma menangis, William? Maksud Om, saat dia benar-benar sedih? Om pernah melihatnya. Dua kali. Saat ibunya meninggal, dan saat seorang anak laki-laki IDIOT menghancurkan hatinya!" seru ayah Emma, menatapnya marah.

Liam tahu benar siapa anak laki-laki idiot yang dimaksud ayah Emma itu. Ia sama sekali tidak merasa tersinggung melihat ayah Emma meneriakkan kata itu di depan wajahnya. Ia pantas mendapatkannya.

"Setiap kali melihat Emma menangis seperti itu, Om merasa umur Om berkurang drastis. Om enggak akan sanggup melihat dia menangis kali ini, William. Om akan mati saat itu juga kalau melihat dia menangis karena melihat kondisi Om seperti ini," gumam ayah Emma sedih.

Bayangan wajah bahagia Emma melintas lagi di benak Liam. Ia mengerang sedih. "Tapi apa perasaan Emma tidak penting, Om? Dia selalu senang setiap kali menerima bunga-bunga lily itu dari Om. Dia pikir Om baik-baik saja di Amerika."

Persis seperti yang Liam pikirkan tentang neneknya. Ia selalu berpikir neneknya sehat dan baik-baik saja di Indonesia. Sampai kabar duka itu datang seperti kilat yang menyambar.

"Mungkin masih banyak yang ingin Emma katakan kepada Om," gumam Liam tanpa sadar. "Mungkin Emma ingin mengucapkan terima kasih atau meminta maaf kepada Om," lanjut Liam pelan. Ia bahkan tidak sempat mengucapkan terima kasih kepada neneknya karena sudah merawat dan menyayanginya. Atau meminta maaf karena sering membuat neneknya sedih. Liam selalu berpikir ia masih punya banyak waktu untuk mengatakan semua itu kepada neneknya. Ia akan selalu menyesali hal itu seumur hidupnya. Liam tidak ingin Emma mengalami hal yang sama seperti dirinya.

You're Still The One (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang