Kegilaan itu bernama rindu
Ia tega membuatku
menempuh sekian puluh kilometer
Sendirian tanpa temanAh, terlebih lagi aku dan musuh bebuyutanku
Gerimis yang menjebak
Kaca helmku mengembun tak karuan
Petang makin mendekat
Kabut bergegas merapat
Aku begidik ngeri merapal doaSalah fokus bisa runyam aku
Benteng tinggi tebing di kanan
Curam sungai berbatu di kiri
Aku, motor, serta kacamata
mewanti-wanti kesadaran
Sebentar lagi sampaiDiburu Maghrib
Aku menepi
Persinggahan ramai
untuk raga yang kesepian
Semburat ketakutan merambah
Tapi keberanian harus ditambah
Demi cinta, kukataDalam balutan jas hujan aku menghangatkan diri
Mengusap nyali agar segera sampai
Rupanya aku berani
Berani-beraninya seorang diri
di jalanan yang gulita
penuh konsentrasi
dari hujan yang tak kunjung henti,
dari lampu jalanan yang saling menjarak terangnyaMalam makin menyeru
Gelapnya menari bersama sunyi
Aku terus menggenggam stang motor
Mensugesti bahwa aku akan pulang
dengan aman dan tentram
Begitulah kenyataannya
tak muluk-muluk dari yang adaLebih dari seratus dua puluh menit
Aku macam lari terbirit-birit
Entah macam apa ini perasaan
Semalam aku penuh tanya
Bisa-bisanya nekat terjang bahaya
Syukur pada pemilik semesta
Aku masih bisa lega
Sehingga hari ini bisa kutuliskan
Untuk sekiranya terbacaAkankah aku melaju dikengerian malam?
Aku enggan lagiPa, 03 Maret 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Kubiarkan Kau Membacanya
PoesíaApa kau punya waktu? Mampirlah sebentar Walau hanya bisa kusuguhkan kata