23. Senyum Batavia

240 15 0
                                    

Bab 23

Saat mentari mulai bersinar kembali, Zaidan mulai berangkat untuk menyelesaikan semua dokumen yang sudah merindukannya. Seperti biasa, para karyawan mulai menyapa dan tersenyum formal saat mereka melihat Zaidan berjalan menuju ruang direktur. Meski wajahnya terlihat tenang, tapi tidak dengan jantungnya yang sudah mulai berdetak kencang karena antisipasi saat dia memikirkan akan kembali melamar gadis yang menolaknya tiga tahun lalu.

Sejak semalam, dia memikirkan berulang-ulang tentang niatnya untuk melamar kembali. Di tambah, dia sempat bertemu lagi dengan gadis yang menolaknya.

Bukan karena menghindar, hanya saja takdir tidak pernah mengizinkannya bertemu bahkan melihat gadis itu sejak penolakkan tiga tahun lalu. Namun, kemarin berbeda karena Allah memberikannya izin untuk kembali bertemu dengan gadis itu.

Apakah ini jawaban dari semua doanya? Doa yang selalu dia langit kan dalam sepertiga malam. Doa untuk memutuskan pilihan terbaik jalan hidupnya.

Bahkan, saat Nando membacakan jadwalnya hari ini. Zaidan tidak mendengarkan dengan baik. Pikirannya bercabang ke mana-mana.

Brak!

"Astaghfirullah!" latah Zaidan saat mendengar gebrakan meja.

"Mohon maaf, Pak. Tolong fokus, karena sebentar lagi kita akan ada pertemuan dengan salah satu klien di cafe Lily!" tegas Nando yang sedang dalam mode serius.

"Ah, maaf. Silahkan lanjutkan!" ujar Zaidan.

Setelahnya Nando melanjutkan tugasnya, apa saja yang akan mereka bahas saat melakukan pertemuan nanti. Dan Zaidan kembali fokus mendengarkan penjelasan-penjelasan Nando. Akan sangat tidak bertanggung jawab jika Zaidan lalai dalam pekerja hanya karena masalah pribadinya. Membuat pekerjaannya menjadi terabaikan dan berakibat fatal untuk perusahaan.

𓅪𓅪𓅪

Lelah seharian bekerja, membuat Zaidan sedikit melupakan rencananya setelah pulang dari kantor. Dia berniat membatalkan rencananya, tapi hatinya malah menjadi semakin yakin untuk kembali memperjuangkan.

Karena itu, setelah merapikan meja kerja. Zaidan keluar dari ruang kerjanya lebih dulu dari Nando, dia juga sudah pamit pada Nando. Saat di perjalanan, adzan maghrib berkumandang. Tanpa berpikir ulang, Zaidan langsung membelokkan mobil ke masjid terdekat. Dia tidak ingin meninggalkan kewajibannya hanya karena tujuannya saat ini.

Selesai sholat, Zaidan yang sedang menggunakan sepatu di sapa oleh bapak-bapak. "Nak Zaidan?"

Zaidan menoleh dan melihat Pak Ravin yang berjalan mendekat ke arahnya. "Assalamualaikum, apa kabar, Nak? Pulang kantor?" tanya Pak Ravin berbasa-basi.

"Wa'alaikumussalam, iya Pak. Pak sering sholat di sini?"

"Iya, lokasinya enggak jauh. Masih bisa di jangkau dari rumah," jawab Pak Ravin menunjukkan rumahnya yang berjarak lima rumah dari masjid tersebut.

"Mau mampir, Nak?"

"Boleh?" tanya Zaidan.

"Mari!" Pak Ravin mempersilahkan Zaidan. Mereka berjalan bersama. Sedangkan mobil Zaidan di tinggalkan di parkiran masjid.

Sampai di rumah, Pak Ravin mempersilahkan Zaidan untuk duduk. Dan Pak Ravin izin masuk sebentar, sayup-sayup Zaidan mendengar omelan Pak Ravin pada Aira. Tanpa Zaidan sadari hatinya menghangat, dia jadi ingat pada Jihan adiknya.

"Silahkan di minum, Bang." Suara Aira membuyarkan lamunan Zaidan. "Terima kasih," ucap Zaidan.

Aira mengangguk.

"Ayah bilang, Bang Zai tolong tunggu sebentar Ayah ada telepon. Bang Zai mau dipanggilkan Kakak?" tanya Aira.

"Tidak usah, terima kasih."

Aira mengangguk lalu berbalik kembali ke dapur.  Dia duduk di salah satu kursi meja makan sebentar sebelum naik kembali ke kamarnya.

Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya Pak Ravin kembali ke ruang tamu dengan senyum bahagia. Zaidan merasa gugup untuk mengutarakan niatnya sekali lagi setelah tiga tahun berlalu.

"Nah, berhubung ini sudah waktu makan malam, kenapa Nak Zaidan tidak bergabung dengan kami? Saya maksa sih ini!" ujar Pak Ravin sambil tersenyum jenaka.

Zaidan hanya bisa tersenyum kikuk. Sebenarnya dia tidak begitu lapar, tapi dia tidak mungkin menolak tawaran Pak Ravin sebagai tuan rumah.

"Baik, Pak. Maaf sudah merepotkan Bapak dan keluarga."

𓅪𓅪𓅪

Selesai makan, Zaidan dan Pak Ravin melanjutkan obrolan. Di sini Zaidan mulai menyampaikan niatnya. Walau terkesan terburu-buru, tapi disini Zaidan lebih ingin meminta izin.

"Sebelumnya, apakah Aira sudah di lamar Pak?"

"Belum, Nak. Mana ada yang mau dengan putri saya yang manja itu," ujar Pak Ravin bergurau.

"Saya berniat meminta izin untuk mengkhitbah Aira kembali Pak Ravin. Jika khitbah saya kali ini diterima, minggu depan saya akan bawa orang tua saya ke sini untuk mengkhitbah Aira sesuai adabnya." Zaidan berkata dengan tegas.

"Benar Nak?" tanya Pak Ravin yang tidak percaya jika Zaidan kembali melamar putrinya.

"Iya Pak," jawab Zaidan tegas.

"Sebagai ayahnya, tentu saya memberikan izin atas khitbah Nak Zaidan pada Aira. Namun, keputusan menerima atau menolak tetap hak Aira. Apa nak Zaidan bersedia menunggu jawaban Aira?"

"Iya, Pak. Saya bersedia menunggu jawaban Aira," jawab Zaidan.

Pak Ravin pamit masuk ke dalam, tak lama kemudian Pak Ravin kembali menemui Zaidan. Wajah Pak Ravin terlihat serius, membuat Zaidan menjadi semakin gugup.

"Sudah saya tanyakan pada Aira. Dan jawaban Aira untuk khitbah Nak Zaidan adalah..." Zaidan menunggu dengan harap-harap cemas. Jika memang kali ini dia kembali di tolak, dia akan ikhlas melepaskan Aira.

"Aira bersedia," lanjut Pak Ravin."

Zaidan langsung mengangkat wajahnya menatap Pak Ravin.

"Datanglah kembali dengan membawa kedua orang tua, Nak."

"Baik, Pak."

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Selamat siang!
Apa kabar? Lama enggak nyapa, beberapa kali update ga nyapa, hehehe.

Siap nih yang seneng? Kapal Ai-Zai akan segera belayar? Doa terbaik buat mereka.

Seperti biasa!!!
Jangan lupa buat klik tanda bintang untuk vote, dan gambar pesan untuk ketik komen kalian.

Tunggu ya guys!

🐨🐼, 18 April 2024

Senyum Batavia✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang