Bab 33
Setelah berjam-jam merasa terbakar di dalam gedung, Aira merasa sangat bebas bisa keluar dari gedung wisuda.
"Panas banget?" tanya Zaidan.
Aira mengangguk, "Abang enggak panas emangnya?"
"Enggak. Iya kan Dek?" jawab Zaidan dan bertanya juga pada Jihan yang juga ikut dalam acara wisuda Aira.
Bukan hanya Jihan, Zero dan kedua orang tua mereka juga ikut dalam acara wisuda Aira.
"Iya, masih panas neraka soalnya."
Mendengar jawaban Jihan, Zaidan tertawa pelan. Tanpa sadar hal itu melukai hati kecil Aira. "Lo kenapa sih?" tanya Aira pada dirinya. Dia menghela napas pelan dan bersikap biasa.
Aira segera mengajak mereka untuk bergabung dengan yang lain. Setelah semua berkumpul, mereka berangkat ke foto studio untuk mengabadikan momen ini.
Selama perjalanan Aira berubah menjadi diam. Hanya ada Aira dan Zaidan di mobil milik Zaidan. Sesekali Zaidan melihat Aira yang terus menatap luar dalam diam. "Kenapa?" tanya Zaidan meraih tangan Aira lalu mengecupnya, membawanya dalam genggaman.
Aira tersenyum dan menggeleng dengan pelan. Membuat Zaidan semakin dibuat bingung dengan perubahan drastis istrinya.
Sikap diam Aira juga terus berlanjut sampai malam hari. Sebelum bergabung dengan Aira yang sudah lebih dulu terlelap Zaidan menatap wajah polos tersebut.𓅪𓅪𓅪
Kerlap-kelip lampu pasar malam terlihat biasa saja untuk Aira, sejak kemarin suasana hatinya buruk. Dia hanya memperhatikan sekitar tanpa ada niat atau rasa tertarik. Berbeda dengan Jihan yang sejak tadi mengajaknya untuk naik salah satu wahana disana.
"Maaf, Kak. Kak Jihan sama Abang aja ya, Ai tunggu disini."
"Ayo lah!" Jihan masih berusaha membujuk. Sedangkan Zaidan yang tidak tega melihat wajah tak bersemangat istri segera menarik Jihan.
"Sama Abang aja, Ai biar tunggu disini."
Jihan mengangguk.
Mereka berpamitan pada Aira yang memilih menunggu sendirian. Bukannya merasa senang karena tidak dipaksa lagi, Aira merasa tidak dianggap.
Tanpa sadar air matanya mengalir membasahi pipinya, segera diusapnya dengan cepat sebelum ada yang sadar. Di keramaian pasar malam, Aira merasakan kesepian yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya.
"Jangan cengeng Ai," bisik Aira.
Aira merasa ada yang menyentuh pundaknya, dia menonggak untuk melihat siapa pelakunya. Ketika tatapan kedua bertemu lalu terhalang sebuah boneka beruang putih. Dengan perlahan Aira meraih boneka tersebut, melihat boneka itu senyum Aira kembali terlukis.
"Abang!" teriak Jihan bersamaan dengan Zaidan yang mengaduh kesakitan.
"Abang jahat banget! Masa Jihan ditinggal sendirian," omel Jihan.
"Abang gak tinggal kamu sendirian. Itu ada Samu, kamu ditemani Samu dulu."
"Jihan gak mau," tolak Jihan.
Ketika Zaidan akan berusaha membujuk Jihan, Aira menarik pelan kaosnya. "Jangan di paksa Kak Jihan nya, Bang."
"Kita bareng-bareng aja. Kalo cuman Kak Jihan sama Kak Samu, Kak Jihan pasti gak nyaman."
Jihan tersenyum senang dan membatin, "Alhamdulillah. Kakak ipar peka, enggak kayak Abang."
Zaidan menghela napas kasar. Dia paham jika adiknya tidak akan suka jika ditinggal berdua dengan Samudra. Tapi dia juga tidak tega jika harus meninggalkan Aira untuk menemani Jihan mengelilingi pasar malam.
Zaidan melotot pada Samudra yang hanya diam. "Lo bisu?" tanya Zaidan pelan.
"Enggak. Gue gak mau maksa Jihan juga. Lagian Jihan mana mau sama cowok modelan gue," ujar Samudra sedikit mencuri pandang pada Jihan.
"Udah jangan ribut. Kita makan aja yuk! Ai laper, mau makan nasgor."
"Ayo!" Jihan dengan semangat menggandeng Aira agar mereka berjalan lebih dulu. Membiarkan dua laki-laki itu mengikuti mereka.𓅪𓅪𓅪
Setelah membasuh muka, Aira segera mengambil air wudhu. Dia baru saja sampai rumah setelah tadi puas mengelilingi pasar malam.
Ketika keluar dari kamar mandi, Aira melihat Zaidan yang sudah kembali duduk manis dengan laptop di pangkuannya.
"Sudah malam, Bang."
Zaidan tersenyum, menepuk sofa kosong di sampingku. Aira menurut, dia berjalan mendekat pada suaminya. "Abang itu manusia, butuh istirahat."
"Iya," jawab Zaidan meraih tangan Aira lalu mengecupnya. "Sudah ngantuk?" Aira menggeleng.
"Temani Abang ya?" Aira mengangguk, dia menyandarkan kepalanya pada pundak Zaidan. Nyaman adalah kata yang pas untuk mendefinisikan.
Zaidan melirik pada Aira yang memejamkan mata sambil bersandar pada pundaknya. Dia segera merangkul Aira dalam pelukannya, mengecup kening Aira lama.
"Terima kasih," bisik Zaidan."
Aira yang awalnya memejamkan mata mendongak menatap wajah Zaidan yang tersenyum manis. "Abang jangan senyum," tangan Aira terulur menutupi senyum Zaidan.
"Kenapa?"
"Abang kalo senyum manis banget. Gantengnya jadi keliatan," jawab Aira dengan jujur.
"Jadi bisanya gak ganteng?"
"Ehem. Abang kalo mukanya datar terus diam aja, gak ada ganteng-gantengnya. Malah serem, melebihi sayton."
Zaidan hanya tertawa mendengar jawaban Aira. "Ai!"
"Ya?"
"Aira!"
"Iya, Abang."
"Humaira!"
"Dalem, suami Ai."
Zaidan tersenyum puas ketika mendengar jawaban Aira yang tidak dia duga. "Kalo punya anak nanti Ai mau kasih nama apa?"
"Nama?" Zaidan mengangguk.
"Belum ke pikiran sih! Cuman kalo perempuan Ai kasih nama Adira."
"Adira?" tanya Zaidan.
"Iya. Adira itu dari bahasa Arab, Bang. Artinya kalo ga salah itu mulia dan memiliki kekuatan. Sama seperti hakikatnya perempuan yang menjadi fondasi suatu bangsa."🐨🐼, 27 April 2024
Jangan tanya kenapa tiga hari ini double up terus walau gak ada yang vote apalagi komen. Karena meskipun kalian gak vote apalagi komen, kalian masih setia baca Senyum Batavia.
Itu lebih dari cukup, biar Allah yang gerakin hati kecil kalian biar lebih ringan buat klik vote dan ketik komen. Aamiin paling serius.

KAMU SEDANG MEMBACA
Senyum Batavia✓
عاطفيةSetiap manusia memiliki takdirnya masing-masing. Pertemuan, perpisahan, semua itu tidak lepas dari yang namanya takdir. Di bawah langit yang cerah di Kota Tua, seorang pria tidak sengaja melihat seorang gadis yang masuk ke dalam frame kameranya. Ses...