18. Kejujuran Seorang Pembohong

90 11 0
                                    

"Selamat datang. Wahai jiwa yang tersesat."

Saat mendengar kalimat misterius penuh tekanan dan hawa tak mengenakkan itu, Arcelia mau tak mau menampilkan sisi dirinya yang sudah lama tidak pernah dia anggap keberadaannya.

Rasa tak berdaya.

Gadis itu hanya sanggup untuk mundur selangkah, seakan ada sesuatu yang menghalangi niatnya untuk melarikan diri. Entah itu kakinya yang gemetar, badannya yang tiba-tiba menjadi tegang secara aneh, atau jantungnya yang serasa copot hingga aliran darahnya terhenti. Wajahnya memucat tanpa dia sadari.

"Bagai—Bagaimana kau—tahu—" Ucapannya tersendat seakan tersedak sesuatu. Arcelia sudah akan mencapai puncak titik panik tertinggi seumur hidupnya.

Namun berbeda dari dia yang sibuk merangkai kata ditengah kepanikan yang melanda, sosok yang masih dengan mata tertutup itu tidak menampilkan emosi sedikit pun selain menarik sedikit sudut bibirnya.

"Jangan panik, Arcelia. Tenang lah," Suaranya tampak ingin menenangkan. Namun Arcelia tidak bisa menangkap maksud tersebut dan masih terus berusaha menangkap sisa-sisa rasional miliknya. Dia tidak bisa mencegah pikirannya yang sudah lebih dahulu terbang dengan spekulasi-spekulasi buruk.

Dia tahu kebenarannya.

Tentang siapa aku, hingga apa aku.

Apa ini akhirnya?

Sampai sini saja?

Aku tidak mau.

Aku tidak mau.

Aku tidak mau mat—

Hangat mulai menyelubungi diri Arcelia berwujudkan suatu aliran magis yang terasa sedang memeluknya dengan lembut. Membuat napasnya yang tertahan mulai kembali mengalir.

Suatu guncangan pada dirinya mulai perlahan stabil. Bibirnya yang kelu sudah bisa dia katupkan. Sisa-sisa air mata yang tanpa dia sadari ikut mengalir seketika berhenti layaknya sebuah keran yang diputar ke arah berlawanan.

Arcelia kembali bisa merasakan sensasi tubuhnya sendiri.

Namun karena tahu sosok di hadapannya masih memantaunya, dia pun tidak bisa sepenuhnya kembali normal.

"Apa yang—" Arcelia menarik napas panjang. "Apa yang akan kau lakukan padaku...." Kalimat keduanya lebih mirip cicitan yang bisa tidak terdeteksi keberadaannya.

Walau tahu akan segala resikonya, Arcelia sebenarnya sudah bersiap untuk mengerahkan seluruh potensi dirinya saat itu juga.

Bukan untuk membela diri.

Tapi untuk memohon.

Memohon agar segala realitas yang dia alami ini tidak diambil darinya.

Karena jujur, dia sudah perlahan menyukai dunia ini walau dengan segala kesempurnaan serta kekurangannya.

Terutama keluarganya, orang-orangnya, atau bahkan... Seseorang yang diam-diam dia harapkan kehadirannya kembali.

"Tenang lah nak," Suara penuh kemisteriusan itu kembali terdengar. "Aku tidak akan melakukan apapun yang kau takutkan itu."

Arcelia kembali berhadaan dengan kebingungan yang menyimpan sebuah tanda tanya besar yang bahkan sebelum sempat dia lontarkan, sosok itu kembali membalasnya.

"Tebakanmu benar. Aku bisa mendengar suara pikiran. Bahkan suara hati seseorang."

Arcelia terbelalak ketika mendengar fakta tersebut walau sudah sedikit menebak-nebak.

Gadis itu menghembuskan sedikit napas lega. Merasakan ketegangan miliknya berkurang, walau sedikit. "Jadi kau—maksudku—jadi anda tidak akan berbuat apapun padaku?"

Sosok itu tersenyum lembut hingga menambah keramahan pada dirinya. Walau tetap ada hawa magis yang membuat siapapun segan untuk mendekatinya.

"Apa kau menyukai kehidupanmu kali ini?"

Arcelia terdiam sejenak.

Dia tidak tahu apakah pertanyaan itu punya maksud lain yang nantinya bisa menjadi jebakan untuknya. Namun insting gadis itu sama sekali tidak menagkap sinyal-sinyal akan adanya maksud terselubung. 

Jadi tanpa ragu Arcelia mengangguk pasti. Walau tak yakin sosok itu dapat melihatnya.

"Aku sangat menyukai kehidupanku ini," Pernyataan itu membuat dada Arcelia berdesir aneh. Dia tidak pernah mengakui hal itu secara terang-terangan. Tidak juga berpikir akan menggunakan ungkapan itu pada orang lain, apalagi seorang penyihir agung yang seingatnya tidak pernah memihaknya sama sekali di alur novel, maupun di sisa ingatan Arcelia.

Namun karena sudah terlanjur, kata-kata selanjutnya dari bibir gadis itu malah keluar dengan gampangnya. "Entah ini hasil dari campur tangan takdir oleh yang Berkuasa atau apapun itu, aku hanya bisa mengatakan, bahwa aku bersedia untuk menyerahkan apapun yang kupunya untuk mempertahankan realitas ini. Anda mungkin akan menganggapku sangat kurang ajar, tapi kehidupan ini lah yang aku inginkan," Ingatan tentang senyuman ibunya serta tepukan bangga di pundak dari ayahnya membuat Arcelia seketika membuatnya merasa haru.

"Jika pada saat ini aku bisa bersikap egois, biarlah ini menjadi keegoisanku yang terakhir," Dadanya menjadi sesak saat mengatakan segala hal yang dipendamnya itu. "Aku. Tidak. Akan. Pergi."

Walau ungkapannya berakhir dengan penuh tekanan, tidak sedikit pun Arcelia menangkap ketidaksukaan oleh lawan bicaranya.

Setelah beberapa menit keheningan, sebuah hawa magis kembali dia rasakan. Kali ini lebih seperti pelukan hangat dari seseorang yang sudah dia kenal baik.

Kepalanya pun kini sedang diusap lembut beberapa kali.

"Kau sudah melakukan hal yang benar anakku," Sosok itu berkata lembut hingga membuat siapapun tidak bisa berkata-kata atau memikirkan apapun.

Kehangatan itu masih bisa dia rasakan walau sosok itu sudah menjauhkan tangannya. Mematik perasaan aneh pada diri Arcelia.

"Percayalah pada dirimu sendiri."

Arcelia medongak saat mendengar hal tersebut. Tidak langsung percaya akan apa yang dia dengar.

"Lakukan lah hal yang sudah kau rencanakan. Namun, pesanku untukmu hanya satu," sosok itu mendekat hingga jarak mereka hanya beberapa inci.

Gadis itu tanpa sadar menahan napasnya. "Dengarkan kata hatimu, Arcelia."

Setelah berkedip di detik selanjutnya, sosok itu lenyap hingga meninggalkan keheningan asing yang lagi-lagi melingkupi suasana.

** Bersambung **

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 19 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Action of VillainessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang