Catatan Hitamnya

3.4K 278 13
                                    

Mataku menelaah satu persatu manusia dalam ruangan itu. Dimana dia?

"Apa kau mencari Fay?" lelaki berkacamata usang itu bersuara melihat indikasi kebingungan di wajahku. Ia—Risu—menatapku dengan ekspresi datar.

"Iya. Dimana dia?"

"Ia belum kembali sejak tadi. Ada apa?" ekspresinya masih belum berubah.

"Bukan urusanmu. Oh, aku ingin tahu kemana kau membawa Nessa tempo hari?"

"Bukan urusanmu" ia menjawab dengan intonasi yang sama persis denganku dan kembali membaca buku yang berada di tangannya. Sial. Entah mengapa ia membuatku kesal. Jika Fay tidak ada maka tidak ada gunanya aku disini. Dengan sedikit kecewa aku membalik badanku dan melangkah kembali ke kelas.

Seiring perjalanan panjangku—yang sebenarnya pendek—menuju kelasku, aku mengingat berita yang dibawa Pak Richard saat memasuki kelas hari ini. School trip, huh? Hm.. tahun ini akan pergi ke gunung. Ah, aku ingat pernah membelikan Iru celana renang karena ada kabar bahwa school trip tahun ini akan pergi ke pantai. Siapa yang memberiku kabar seperti itu? sekarang jadi sia-sia, bukan?

"Jika kau sebegitu takutnya celana itu akan sia-sia, aku akan memakainya sekali pun itu di gunung, Rene" tiba-tiba suara itu membuyarkan lamunanku. Aku menghentikan langkahku dan berbalik. Iru tersenyum manis dan menatap mataku.

"Bagaimana kau bisa mengetahui apa yang ada dalam pikiranku, Iru? Kau punya kekuatan magis bisa membaca pikiran seseorang?" aku sedikit menjauhkan badanku. Iru tertawa mendengar perkataanku seakan itu adalah suatu pertanyaan terbodoh yang pernah ia dengar. Sedetik kemudian aku menyadari bahwa pertanyaan itu memang terdengar bodoh.

"Tidak, Rene. Aku tidak bisa membaca pikiran tapi aku bisa mendengar semua kalimat yang terdengar dari mulutmu" aku terdiam. Mencoba mencerna apa yang ia katakan. Seketika pipiku bersemu merah. Jadi aku mengatakan semuanya? Ah, bodoh. Orang yang mendengarku akan mengira aku gadis mesum yang memikirkan celana renang seorang lelaki. Iru tersenyum melihatku dan menggandeng tanganku. Kami berjalan menuju kelas dalam keadaan hening.

:::::::::::::::::::::::::::::

Cklek!

Ah, sangat segar. Mandi air hangat memang sangat menenangkan. Aku menggosok rambutku yang basah dengan sebuah handuk kecil berwarna krem. Kakiku melangkah menuju lemari—sepuluh langkah dari tempatku berdiri sekarang. Ya, ku ulangi sekali lagi, kamarku memang sangat luas. Tanganku membuka gagang pintu perak lemari itu.

"Apa yang harus ku pakai? Apa ada jadwal setelah ini? Ah, pekerjaanku menumpuk. Dokumen-dokumen yang ku telantarkan selama berhari-hari. Aku harus mulai mencicilnya. Tanganku mengambil celana selutut dan kaos longgar dari tumpukan kain dalam lemari itu. Dua menit kemudian aku selesai memakai semuanya. Tanganku mengambil sebuah karet rambut di meja dan mengikatkannya di rambutku. Tubuhku berdiri di depan cermin yang menampakkan seluruh tubuhku.

"Rene Fixlrein, lihatlah dirimu. Tubuhmu tidak seindah di majalah. Kau terlalu kurus. Matamu sipit. pipimu terlalu tirus. Bibirmu kering dan tipis. Sungguh tidak menarik sama sekali" aku mengkritisi penampilan fisikku di depan cermin—mungkin efek terlalu sama sendiri. Aku menghela nafas panjang. Bibir, huh? Jariku mulai menyentuh bibirku. Ini membuatku mengingat ciuman pertama itu. Secara reflek dua ujung bibirku tertarik ke atas. Iru, ia membuat hidupku semakin menarik. Namun sedetik kemudian aku mengingat kejadian dua hari lalu. Di tempat itu.. di bibir yang sama dengan bibir yang bersentuhan dengan bibir Iru. Brengsek! Ia benar-benr psikopat brengsek! Bajingan! aku bahkan masih dendam padanya bahkan setelah melihat kematiannya di depan mataku. Bagaimana bisa rasa dendam ini hilang jika sentuhan menjijiknya masih terasa di tubuhku? Jariku berbalik menggosok bibirku dengan penuh amarah. Aku menggelengkan kepalaku dan menepuk kedua pipiku kemudian berjalan meninggalkan kamarku.

::::::::::::::::::::::::::

"Jaga Nona baik-baik. Jangan mengulangi kesalahan yang sama atau aku akan menghukummu, Iru!" suara ini...Ken?

Aku mengendap-endapkan kakiku menuju sumber suara dari salah satu ruangan. Badanku sedikit membungkuk dan berusaha menepatkan satu mataku ke arah celah pintu yang terbuka. Tunggu, mengapa aku harus mengendap-endap di rumahku sendiri?

"Baiklah. Maafkan, aku."

"Nona tidak tahu apa-apa mengenai dua hari lalu, bukan?"

"Tidak. Ia tidak bertanya padaku dan aku juga tak membahas apapun tentang dua hari lalu"

Gotcha! Mereka menyembunyikan sesuatu dariku. Aku bisa saja tiba-tiba membuka pintu ini dan bertanya tentang hal yang sebenarnya. Tapi aku tak melakukannya karena aku tahu Ken tidak sebodoh itu mengatakan semua kebenaran jika ia benar-benar ingin menyembunyikannya. Bahkan jika ia telah tertangkap basah merahasiakan sesuatu dariku. Jadi mungkin aku akan menyelidiki ini sendiri.

Aku melanjutkan langkahku menuju ruang kerjaku. Namun sebuah cahaya yang keluar dari sebuah celah pintu membuatku ingin melihat apa yang ada di dalam ruangan itu. Tanganku perlahan mendorong pintu kayu itu. Cahaya dari jendela menyilaukan mataku. Mataku reflek terpejam. Kakiku melangkah memasuki ruangan bernuansa putih itu. Perlahan aku membuka mataku yang masih berusaha menyesuaikan dengan cahaya terang disana.

"Bukankah ini ruangan yang tidak terpakai? Mengapa terbuka?" mataku menangkap sebuah tas yang bertengger di meja tulis. Oh, jadi ini kamar Iru. Aku memutar kepalaku untuk melihat keadaan kamar itu.

"Terlalu rapi untuk kamar seorang laki-laki. Tunggu, Ini bahkan tidak berubah sama sekali. Hanya tas di meja tulis saja yang berubah sejak dua tahun lalu aku kemari" Kakiku melangkah menuju meja tulis kayu yang terlihat sudah tua itu. Aku menyadari buku tulis yang terselip di bawah tas. Buku tulis berwarna hitam.

"Apa ini? Seperti daftar kriminalitas. Catatan hitam?" aku membuka buku itu secara acak.

          29042003

Kayu rotan, sabuk, tali. Kayu rotan, sabuk, tali.
Mana yang akan dipakai hari ini?
Ctak! Ternyata sabuk yang digunakan.

Pinggang, kaki, lengan. Pinggang, kaki, lengan
Mana yang akan jadi sasaran hari ini?
Ctak! Ternyata pinggang yang jadi sasaran hari ini.

Malaikat? Tuhan? Bidadari?
Hanya dongeng sebelum tidur
Hanya khayalan, hanya bualan

Aku membelalakkan mataku. Apa ini? Puisi kematian? Tapi ada tanggalnya, mungkin ini diary? Tapi.. bait-bait itu...

"Apa yang Anda lakukan disini, Nona Rene?" suara Iru mengagetkanku dan membuatku reflek menjatuhkan buku hitam itu.

"Ah, Iru? Tidak! Aku tidak—" Dengan tatapan dingin Iru melirik buku yang terjatuh dari tanganku dan berjalan menujuku.

"Emm.. itu—" Aku tergagap. Iru mengambil buku itu dan menatapku secara dingin dan tajam. Kemudian ia tersenyum—yang aku tahu itu palsu, sangat palsu.

"Apa Anda membaca isinya?"

"Ya.. hanya beberapa baris." Aku menjawabnya ragu tanpa melihat matanya.

"Saya akan membakarnya"

"Membakarnya? Tapi mengapa? Bukankah itu milikmu?" aku kaget dengan jawabannya.

"Bukan. Ini bukan miliki Iru." Ia mengeluarkan pemantik dari dalam sakunya dan menyalakannya. Ia mengarahkan pemantik itu ke ujung buku dan perlahan api merah membakarnya.


Update lagi~ Jangan lupa vote dan comment ya. Terima kasih kawan. -w-

Btw aku merasa cerita ini bakalan panjang.........banget

MineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang