PART 10

49K 85 5
                                    

Danar memasukkan beberapa barang-barangnya ke dalam tas kerjanya. Sebagian besar karyawan sudah meninggalkan area pabrik mengingat jam kerja mereka telah selesai. Hanya ada beberapa orang karyawan yang masih ada di locker room termasuk Danar salah satunya. 

"Bro, Lu dipanggil Bu Devi HRD tuh!" Ucap Bambang, salah satu rekan kerja Danar yang bertubuh tambun. 

"Bu Devi? Ada apa ya?" Tanya Danar sambil mengrenyitkan dahi.

"Waduh Gue juga nggak tau dah. Coba langsung ke kantornya aja deh, siapa tau ada yang penting. Tau sendiri gimana tabiat tu nenek lampir." 

"Ah, oke..oke Bro. Makasih ya!"

"Yoi!"

Danar bergegas mengemasi tas kerjanya dan melangkah menuju ruang kerja Devi Christiana, kepala HRD di pabrik. Wanita berusia 38 tahun itu memang terkenal sangat tegas, bahkan cenderung keras terhadap karyawan-karyawan pabrik. Apakagi jika ada karyawan pabrik yang melakukan pelanggaran prosedur, Devi tak segan mengambil tindakan tegas berupa teguran tertulis, pengurangan gaji, bahkan sampai pemecatan. Maka tak heran janda cantik itu sering diberi julukan sebagai " Nenek Lampir" oleh banyak karyawan pabrik, khususnya mereka yang pernah bersinggungan dengan kepala HRD tersebut.

Danar sendiri selama bekerja sama sekali tak pernah berurusan dengan Bu Devi kecuali untuk urusan pengambilan gaji bulanan. Praktis selama ini suami Laras tersebut menjalankan tugasnya dengan sangat baik dan jauh dari teguran pihak HRD pabrik. Meskipun demikian dia tetap saja cemas setelah mendapat kabar dari Bambang barusan, pikirannya dipenuhi oleh segala macam kemungkinan buruk. Danar mengetuk pintu ruang HRD, sebelum terdengar suara seorang wanita dari dalam.

"Ya, masuk!"

Danar membuka pintu, dan langsung bisa melihat sosok Devi sedang berada di belakang meja kerja ditemani tumpukan berkas yang menggunung. Ruang kerja Devi berukuran cukup besar, selain satu set meja kerja berukuran besar, di bagian kiri terdapat satu set sofa minimalis berwarna cream, senada dengan cat ruangan yang berwarna putih tulang. Danar melangkah masuk dan mendekati meja kerja.

"Permisi Bu, tadi saya diberi tau kalo Ibu memanggil saya?" Ujar Danar, Devi menatap wajah Danar dari balik kaca mata minusnya, ekspresinya datar.

"Silahkan duduk Pak Danar."

"Terima kasih Bu." 

Danar meraih kursi yang bersebrangan dengan meja kerja Devi. Jantungnya makin berdebar, apalagi melihat ekspresi dingin yang ditunjukkan oleh Devi. Wanita itu beberapa saat masih menandatangani berkas-berkas di atas meja, seolah mengacuhkan keberadaan Danar. 

"Oke, langsung saja ya Pak Danar." Suara Devi memecah keheningan di ruang HRD, Danar menyimaknya dengan sangat serius.

"Saya kemarin dapat laporan dari bagian keuangan, katanya Pak Danar bulan kemarin mengajukan pinjaman di Koperasi? Apa benar?"

"Be-Benar Bu." Jawab Danar tergugup.

"Lalu kenapa tidak melapor ke saya dulu? Kenapa langsung datang ke bagian keuangan?" Raut wajah Devi menjadi jauh lebih serius. Danar yang diberondong pertanyaan seperti itu semakin panik, dia bahkan tak mengetahui jika apa yang dilakukannya melanggar peraturan pabrik.

"Ma-Maaf Bu, saya tidak melapor ke bagian HRD karena teman-teman yang lain juga begitu. Langsung mengajukan ke bagian keuangan, kalo sudah di ACC baru lanjut ke bagian koperasi."

"Oh...Jadi menurut Bapak, mengikuti sesuatu yang salah bisa dibenarkan di sini?"

"Bu-Bukan begitu maksud saya Bu, ta-tapi..."

"Kalo Pak Danar nggak melapor dulu ke saya perihal pinjaman di koperasi, bapak tidak bisa melihat rencana keuangan dan gaji bapak di sini! Begini saya jelaskan, kemarin anda mengajukan pinjaman 10 juta rupiah dengan cicilan 800 ribu per bulan. Jika cicilan itu dipotong dari gaji maka sisa uang yang anda bawa pulang cuma 1 juta per bulannya. Apa itu cukup? Anda sudah menikah kan?" Danar mengangguk pelan.

ISTRIKU DAN PRIA LAINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang