XII.

530 33 0
                                    

Ketika Jaemin terbangun keesokan paginya, menyadari bahwa dirinya masih berada di pelukan Jeno. Senyum tidak henti-hentinya tersungging di bibirnya. Melihat wajah tampan kekasihnya yang begitu pulas tertidur –walaupun sebenarnya bukan hal baru mereka berada di ranjang yang sama, tapi inilah situasi pertama mereka menjalani hubungan yang lebih tinggi yakni, sepasang tunangan.

Bagaimana cahaya matahari yang menembus masuk melalui sela-sela jendela. Memberikan efek berkilau pada sesuatu yang terpakai di jarinya. Hadiah dari Jeno kemarin sore.

"Indah." Decaknya. Mengamati kekaguman pada cincin yang ia arahkan ke atas. Kilaunya bahkan melebihi bintang di pagi buta.

"Kau jauh lebih indah." Timpal suara yang tidak tahu bangun sejak kapan.

Jeno yang awalnya mengintip tanpa bisa menahan untuk tidak meraup bibir kekasihnya. Lantas begitu lumatan singkat diberikan, keduanya pun merubah posisi tubuh jauh lebih santai.

"Bagaimana kau bisa membelinya?" Nada penasaran terdengar jelas. Masih mengagumi benda batuan berstruktur bening di jarinya.

Jeno mungkin tidak pernah memperlihatkan kemewahannya selama ini. Dibanding Jaemin yang tidak bisa terlepas dari gaya hidup hedon –karena profesinya seorang model. Sementara itu dia menyadari bahwa bekerja sebagai ekspedisi tak cukup menghasilkan banyak uang. Berapa sih bayaran yang didapatkan hanya dengan menjual foto singa yang sedang kawin, atau ulat yang sedang berselimut?

"Ini tidak murah Jen?" Ucapnya lagi saking penasarannya.

"Karena orang yang ingin ku dapatkan juga tidak murah." Jawabnya singkat. Alih-alih bercanda, membawa-bawa profesi Jaemin sebagai Beauty 5000 dollars. Bayaran itu juga tidak murah.

"Padahal aku selalu menawarimu dengan gratis."

Jeno akui ia akan selalu gagal aksinya dalam menggoda Jaemin, karena sosok itu membalasnya tenang dengan memasang wajah tanpa dosanya seperti ini.

"Jadi kapan kau ingin menyentuhku?"

Lagi pertanyaan yang membuat telinganya seakan memerah. Dari sekian banyak pembahasan di pagi hari mengapa Jaemin terfokus pada satu hal itu.

"Apakah itu penting untuk dibahas sekarang?"

"Tentu saja penting untuk membuktikan di masa depan bahwa suamiku tidak aseksual."

Jeno hanya diam. Dan itu lagi-lagi membuat Jaemin kebingungan. Ayolah, mereka sudah sejauh ini. Jaemin pikir di malam Jeno melamarnya, ia akan melakukannya –karena keduanya sempat berciuman panas dengan Jeno sampai melepas baju. Tapi yang ada, begitu merasakan tonjolan besar dibalik celananya, Jeno tiba-tiba menarik diri dan menuju ke kamar mandi. Cukup lama sekali sampai Jaemin akhirnya tertidur seorang diri karena kelelahan.

"Kau sungguh tidak...–

"Tidak sayang." Jeno buru-buru menepis karena tidak ingin Jaemin berpikiran bodoh seperti sebelumnya. Lantas tubuh Jaemin semakin didekatkan, menyikap helai-helai rambut yang menutupi surainya. "Ada waktunya Na, nanti."

"Setelah kita menikah?"

Jeno mengangguk pelan. Pada saat itu berharap Jaemin bisa memahami komitmennya. Bukan, bukan berarti Jeno aseksual, tidak punya nafsu atau tidak tertarik pada tubuh indah kekasihnya itu. Katakan saja seberapa besar dia menahan untuk tidak memukul klien-klien brengsek yang menyetubuhi kekasihnya dan menggantinya dengan segepok uang. Jeno sebenarnya secemburu itu. Hanya saja perasaan itu berusaha ditekannya erat, karena yang dia cintai adalah sosok Jaeminnya, bukan tubuhnya.

Hubungan itu akan lebih indah dilakukan oleh seseorang yang saling mencintai satu sama lain secara dewasa bukan karena tuntutan hawa nafsu dan kebutuhan biologis semata. Jadi bagi Jeno tidak apa-apa menunggu lama, asal dilakukan dengan cara yang benar dan tepat.

The Beauty 5000 Dollars (NOMIN) REPUBLISHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang