Malam di hari ulang tahun Gladys Alveyra yang ke-19...
Dentuman musik DJ terdengar membahana memenuhi ruangan cukup luas dengan lampu temaram. Di atas panggung, terlihat beberapa penari berpakaian minim yang serba menonjolkan lekuk badan. Pemandangan itu sudah biasa bagi mereka yang senang mendatangi klub malam, termasuk Rey.
Sementara pada salah satu kursi di sisi meja bar, Vey terduduk sembari meletakkan kepala di meja.
"Lagi, Om. Yang banyak, jangan tanggung-tanggung kenapa, sih?" ucap perempuan itu sambil mengarahkan gelas kosong ke hadapan Rey yang duduk di sebelahnya.
"Kamu udah terlalu banyak minum, Vey." Rey sengaja tidak menuruti permintaan anak atasannya tersebut, karena memang Vey sudah cukup banyak meneguk minuman haram yang membuat perempuan itu seakan melayang.
Vey mengerucutkan bibir, kemudian mendecak kesal. Dia merebut paksa botol berisi minuman haram dengan merek ternama dari tangan Rey, kemudian menuangkan ke dalam gelas kecilnya.
"Habis ini udah, Vey. Bahaya kalau Pak Al sampai tahu kamu mabuk-mabukan di sini. Lagian kamu enggak seharusnya minum ini. Kadar alkoholnya rendah, tapi kamu sampai teler begini. Kamu enggak bisa minum minuman beralkohol." Rey mengambil botol dari Vey secara paksa, meletakkannya sedikit jauh dari jangkauan perempuan itu.
Tanpa menghiraukan perkataan Rey, Vey segera meneguk cairan dalam gelasnya hingga tandas. Dia mengarahkan gelas ke depan Rey sambil cekikikan sendiri.
"Om tahu enggak, sih? Mama sama Papa tuh enggak anggep aku ada. Buktinya ... mereka enggak inget sama hari ulang tahun aku. Boro-boro dirayain, pesta, makan-makan bareng. Ngasih selamat aja enggak!" Vey meracau disertai tawa kecil. Dadanya terasa sesak mengingat kedua orang tua yang selalu saja sibuk sendiri. Mereka seolah-olah melepaskan tanggung jawab sebagai orang tua.
Sebentar kemudian, tawa Vey berganti menjadi isak tangis yang tidak bisa lagi ditahan. "Aku kecewa banget sama mereka, Om. Apa artinya aku buat Mama sama Papa?"
Rey merengkuh tubuh perempuan itu, menepuk-nepuk punggungnya perlahan sebagai bentuk dukungan, menyalurkan kekuatan.
"Om Rey enggak akan kayak mereka, kan? Om Rey enggak akan tinggalin aku, kan? Cuma Om Rey satu-satunya yang aku punya." Vey mendongak, menatap lekat wajah asisten Altezza yang kini ditugaskan untuk selalu menemani keseharian Vey, memantau perempuan itu supaya tidak seenaknya shopping dan keluyuran tidak jelas.
Rey mengangguk ragu. "Ya, saya akan selalu ada buat kamu. Kapan pun kamu butuh, kamu bilang aja."
Gladys Alveyra merasa terharu dengan perhatian yang diberikan Rey. Awalnya dia merasa bahwa keberadaan Rey di sisinya hanyalah sebagai tuntutan kerja. Namun, semakin lama kebersamaannya dengan Rey, Vey merasa laki-laki itu memang tulus terhadapnya.
Perlahan, Vey mengangkat telapak tangan dan mendaratkannya di wajah Rey. Senyum manis terukir di wajah Vey yang layu. Kemudian, perempuan itu meraih leher belakang Rey dan menyatukan bibirnya dengan bibir laki-laki yang tiga tahun belakangan ini ditugaskan sang Papa untuk menjadi asisten pribadinya.
"Vey, jangan gini. Kita pulang, sekarang. Kamu udah mabuk berat," ajak Rey yang merasa tidak enak karena khawatir apa yang dilakukan Vey tertangkap oleh sepasang mata yang nantinya akan menjadi bumerang baginya.
Ruangan remang-remang dengan gemerlap lampu warna-warni itu begitu bising. Namun, Vey masih enggan meninggalkan tempat yang baru pertama kali dia datangi tersebut. Janjinya kepada Rey, hanya sekali ini saja karena ingin melepas penat yang melanda hati karena orang tuanya yang selalu sibuk sendiri.
Tidak mendapat respons bagus dari Vey saat diajak pulang, Rey menggendong Vey secara paksa. Karena bagaimanapun juga, dia yang bertanggung jawab menjaga Vey. Jika sampai terjadi apa-apa pada perempuan itu, sudah pasti dia juga yang akan terkena imbasnya.
"Om Rey enggak seru banget! Aku masih mau happy-happy, kenapa Om bawa aku pulang? Nyebelin!" keluh Vey ketika Rey melepas sabuk pengamannya saat mobil sudah terparkir sempurna di halaman.
"Udah jam dua belas lewat, Vey. Kamu enggak bisa di sana lama-lama." Rey menanggapi dengan santai. Tanpa sengaja, tatapannya tertuju pada dua gundukan Vey yang naik turun mengikuti ritme pernapasan perempuan itu. Kaus press body dengan model V neck membuat belahannya sedikit terekspos, sehingga berhasil menyebabkan Rey terasa sulit menelan saliva.
Laki-laki itu menggeleng cepat, kemudian segera keluar dari mobil. Kondisi Vey yang mabuk berat tidak memungkinkan Vey berjalan dengan benar sampai ke dalam kamar, sampai Rey harus kembali menggendongnya ala bridal style.
"Om Rey gentle banget kalau kayak gini. Aku jadi makin suka sama Om," bisik Vey sambil mengeratkan kedua tangan yang melingkar di leher Rey. Perempuan itu dengan sengaja menyembunyikan wajah di dada Rey dan menghidu aroma maskulin asisten pribadi papanya tersebut. "Aku suka banget sama wangi parfum Om," bisiknya yang tanpa sadar telah membuat Rey sedikit geli.
Rumah yang sepi menandakan bahwa seluruh penghuni di dalamnya sudah tertidur pulas. Dan menurut keterangan satpam di depan, dia mengatakan bahwa Altezza dan Valerie belum pulang dari luar kota.
Bukan hanya Nia yang iba melihat Vey kekurangan kasih sayang orang tua, tetapi Rey merasakan hal yang sama.
Tiba di depan pintu kamar Vey, Rey membukanya dengan sangat hati-hati, kemudian menutupnya kembali dengan kaki. Dia tidak ingin siapa pun melihatnya menurunkan Vey di tempat tidur, sehingga berpikir macam-macam.
Rey hampir menjangkau ranjang berukuran king di hadapan. Akan tetapi, tali sepatu yang lepas dan tidak sengaja terinjak kaki satunya, membuat laki-laki itu terhuyung hingga dirinya jatuh di atas pembaringan dengan posisi menindih tubuh Vey.
Rey sama terkejutnya dengan perempuan yang kini berada di bawahnya.
Laki-laki itu hendak bangkit, tetapi kedua tangan Vey yang masih melingkar di leher, menariknya hingga bibir tipis nan mungil milik Vey menempel di bibirnya. Akal sehat Rey masih berjalan, sehingga secara sadar, dia segera menyudahi pagutan lembut bibir mungil Vey yang terasa manis.
"Vey, maaf ... saya harus pulang." Rey berbisik lirih.
Vey membuka mata perlahan. Tatapannya masih terlihat sendu. "Tadi Om Rey sendiri yang bilang. Om Rey bakal selalu ada saat aku butuh, kan? Apa Om Rey lupa?" tanya perempuan itu, sengaja tidak melepas leher Rey dari jerat kedua tangannya. "Aku butuh Om Rey sekarang," tegas Vey, lalu kembali memagut bibir Rey dengan berani.
Siapa yang akan bisa menahan diri jika berada dalam posisi Rey? Laki-laki itu mendadak seperti kucing yang diberi ikan segar. Mana mungkin akan menolak?
Lama tidak merespons pagutan Vey, rupanya membuat Rey tidak tahan hingga akhirnya membalas dengan pagutan yang tidak kalah panas. Jika sudah seperti itu kejadiannya, Rey mana tahan untuk tidak membuka seluruh pakaian yang membalut tubuhnya dan juga Vey.
"Ss ... sakit, Om, aahhh ...," desah Vey ketika Rey berhasil membobol satu-satunya mahkota paling berharga yang Vey punya.
"Pelan-pelan, ya. Sakitnya akan hilang sendiri nanti," bisik Rey sembari mengusap lembut wajah Vey, kemudian kembali menggerakkan miliknya yang sudah tenggelam di bawah sana dengan sangat hati-hati.
"Om, aaahhh ...."
Desahan Vey dengan paksa dibungkam Rey dengan kecupan lembutnya. Gerakan laki-laki itu secara perlahan mulai membuat Vey nyaman dan menikmati permainan.
Vey terengah-engah. Perempuan itu mencoba mengatur napas yang tidak beraturan, kemudian berbisik lirih di telinga Reyhan yang masih mendominasi di atasnya. "Apa Om Rey mau temenin aku setiap malem?"
Pertanyaan itu membuat Rey menghentikan gerakan seketika. "Vey, aaahhh ...." Tidak ingin melanjutkan, tetapi kenyataan berbeda. Rey sudah mencapai puncaknya dan dengan cepat mengeluarkan miliknya dari Vey.
Laki-laki itu menggumam frustrasi. "Ya Tuhan, apa yang udah aku lakukan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Hasrat Terlarang
RomanceGladys Alveyra terjebak hasrat terlarang dengan Reyhan saat usianya mulai menginjak 19th. Hingga tanpa sadar, laki-laki dengan usia 11th lebih tua itu telah membuat Vey hamil. Orang tua Vey menyudutkan Kenan karena anak teman bisnis sang Papa terseb...