Bab 9 - Sentuhan Demi Sentuhan

1K 3 0
                                    


Vey terperanjat. Perempuan itu terbangun dari mimpi buruk dengan tubuh dipenuhi keringat. Vey menekan pelipisnya perlahan sembari menekuk lutut dengan mata memejam.

Kejadian malam itu kembali terbayang dan melintas dalam ingatan. Tepat di hari ulang tahunnya yang ke sembilan belas, Vey sangat merasa kesepian tanpa kedua orang tua di sisinya. Keduanya mengaku sibuk dan tidak pulang karena ada urusan kerja di luar kota.

Saat itu Vey sangat mengharap akan mendapat kado spesial dari Valerie dan Altezza selaku orang tua. Bukankah seharusnya mereka bangga memiliki anak gadis cantik jelita dan cerdas seperti Vey? Namun, jangankan kado spesial. Ucapan selamat atas bertambahnya usia pun tidak Vey dapat di hari itu.

Vey mendesah lelah. Kepalanya terasa berat. Apalagi saat sentuhan demi sentuhan itu dia ingat. Rasanya Vey ingin sekali ....

"Hueeekkk ...." Vey menutup mulut dengan kedua tangan dan segera berlari menuju wastafel.

Perempuan itu merasa mual. Setelah memuntahkan isi perut, Vey terduduk lemas di lantai kamar mandi. Beruntung, tempatnya masih kering karena belum ada yang memasuki sebelum Vey.

Jika saat itu Vey sangat menikmati permainan panasnya dengan Rey, maka tidak dengan saat ini. Vey masih ingat betul bagaimana Rey mencumbu perempuan seksi dalam klub malam yang dia kunjungi saat hendak memberi tahu laki-laki itu akan kehamilannya. Sejak saat itu, hilang sudah segala rasa yang dimiliki Vey terhadap Rey.

Kini, Vey menganggap Rey tidak lebih dari laki-laki murahan yang tidak pantas untuk dibanggakan. Bahkan laki-laki itu juga yang membuat Vey merasa jijik dengan dirinya sendiri.

"Aku harus gimana?" lirihnya di antara isak tangis yang terdengar. Sembari bersandar di salah satu sisi dinding kamar mandi, Vey duduk memeluk lutut sambil menyembunyikan wajah dalam kedua tangan yang terlipat.

Mengingat tentang masa-masa di sekolah menengah atas, tidak ada keseruan yang Vey rasakan. Karena di bawah kendali Rey, yang dilakukan Vey hanyalah belajar, belajar dan belajar. Dia melakukannya dengan suka cita mengingat betapa baiknya Rey terhadapnya. Namun, siapa yang menyangka bahwa Rey yang selalu baik di hadapannya, ternyata adalah laki-laki nakal di luar sana.

Sungguh, Vey tidak habis pikir bagaimana dirinya bisa jatuh dalam pesona Rey.

"Bodoh kamu, Vey! Bodoh! Menjijikkan! Bodoh!" Vey merasakan gemuruh dalam dadanya. Teriakannya berganti gerakan kedua tangan yang menarik-narik rambut panjangnya dengan sengaja.

Menerima kenyataan tentang kehamilan di luar nikah sudah membuat Vey merasa sedih karena dengan begitu, sudah pasti mengecewakan kedua orang tua. Ditambah lagi dengan kelakuan Rey yang ternyata tidak baik di belakangnya, membuat Gladys Alveyra semakin kecewa.

"Vey, kamu kenapa di situ? Kamu enggak apa-apa, kan?"

Pertanyaan itu dibarengi dengan gerakan hendak meraih lengan Vey, tetapi perempuan itu menghindar dengan cepat.

"Keluar dari kamar aku," bisik Vey dengan suara parau.

"Pak Al minta saya kirim sarapan. Makanan kesukaan kamu, buatan Pak Rudi, Vey. Kamu makan dulu, ya," bujuk Rey yang belum mengetahui tentang apa yang sebenarnya terjadi dengan Vey.

"Aku bilang keluar," bisik Vey untuk yang kedua kalinya. Dia tidak ingin berlama-lama melihat Rey, karena hal itu hanya akan membuatnya sakit hati.

"Seenggaknya kamu bangun dulu, ngapain duduk di kamar mandi?" Rey meraih bahu Vey, tetapi lagi-lagi perempuan itu menampiknya.

Tidak mau menerima uluran tangan Rey, Vey lebih memilih untuk bangkit sendiri tanpa bantuan. Dia tidak peduli dengan rasa berat yang mulai menjalar di kepala. Dengan langkahnya yang pelan, dia berhasil sampai di pembaringan.

"Hampir semingguan kamu kayak gini, Vey. Kenapa? Biasanya kamu paling semangat buat cerita." Rey memperhatikan Vey yang menyandarkan punggung pada headboard ranjang. "Kamu ada masalah apa? Mungkin aja saya bisa bantu buat selesaikan masalah kamu, Vey," lanjutnya sembari duduk di sisi tempat tidur Vey.

"Enggak ada, Om. Aku bilang keluar, ya keluar! Om Rey enggak denger, apa?"

Kedua mata Vey yang sudah berkaca, menatap tajam ke arah Rey yang duduk tidak jauh darinya.

"Apa kamu marah karna saya udah balik kerja sama Pak Al lagi beberapa hari belakangan?" Rey mencoba mencari tahu. "Pak Al lagi sibuk banget dan Papa kamu butuh saya buat bantu hendel semua, karna pegawai yang biasa bantu Papa kamu lagi ada acara di tempat asalnya, di luar kota."

Siapa yang akan peduli dengan penjelasan Rey?

"Jadi tolong, Vey. Kamu ngerti, kan? Ini buat sementara aja."

"Aku enggak peduli!" sahut Vey kesal.

"Bilang, Vey. Saya harus gimana? Coba kamu bilang. Saya paling enggak bisa lihat kamu kayak gini. Waktu tiga tahun itu bukan waktu yang singkat buat kita. Saya ...." Rey mengacak rambutnya dengan kasar. "Rasanya sedih lihat kamu begini, Vey."

"Permisi, ini sarapannya Non Vey udah Bibi siapin, Mas." Nia mendorong daun pintu kamar Vey yang memang tidak tertutup rapat. Dibawanya makanan itu mendekati Vey dan meletakkannya di atas nakas.

Untuk yang kedua kalinya, Vey merasakan perutnya kembali mual. Hal itu disebabkan karena aroma makanan yang tidak dia suka.

"Bawa makanannya keluar, Bi." Vey memberi perintah.

Rey menatap Vey dengan keheranan. Begitu juga dengan Nia.

"Loh, ini maksudnya gimana? Non Vey bukannya harus sarapan dulu? Tadi emang Tuan Al bilang, enggak usah siapin sarapan buat Non Vey karna Tuan mau kirim makanan kesukaan Non dari resto. Tapi kenapa Non enggak mau? Padahal ini tuh makanan kesukaan Non Vey," ujar Nia.

Vey menggeleng cepat. Sebisa mungkin, dia tidak menunjukkan reaksi apa-apa di depan Rey. Dia tidak ingin laki-laki itu curiga atau pun tahu bahwa Vey sedang mengandung darah dagingnya.

"Bawa keluar," titah Vey lagi, sambil jari telunjuknya diarahkan keluar kamar.

"Gimana ini, Mas? Non Vey masih belum mau makan. Coba Mas Rey bujuk Non Vey lagi, siapa tahu mau ma—"

"Aku bilang bawa keluar!" Vey memotong kalimat Nia dengan penuh amarah. Rasa tubuhnya tidak karuan saat menahan perutnya yang masih mual.

"Ya udah Bi, bawa keluar dulu aja," titah Rey pada Nia. Dia pun tahu, saat ini Vey berada dalam fase susah dibujuk. "Kalau kamu enggak mau makan itu, kamu mau apa?"

"Aku mau Om keluar dari kamar aku sekarang," jawab Vey yang kemudian bangkit dari tempat duduknya, lantas membuka pintu lebar-lebar.

Kening Rey mengerut saat melihat Vey terdiam di balik pintu. Dia tahu, maksud Vey adalah memintanya keluar kamar. Namun, Rey justru mendekati Vey, meraih leher belakang perempuan itu dan hendak mengecup bibir mungilnya secara paksa.

"Lepasin Vey!" gertak seseorang yang meraih bahu Rey dengan kasar sampai laki-laki itu sedikit mundur. Pukulan keras dilayangkan sehingga mendarat tepat sasaran. "Pergi dari sini dan jangan ganggu Vey lagi!" 

Hasrat TerlarangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang