Bab 10 - Jalan Satu-satunya

387 3 0
                                    

"Pak Al baik-baik aja? Saya lihat belakangan ini ... Pak Al seperti kurang semangat. Apa ada masalah yang ganggu kenyamanan Bapak?"

Zashi dengan sengaja menyambangi ruang kerja Altezza karena merasa gemas melihat sang atasan yang tampak berbeda dari biasanya. Bahkan pagi-pagi begini saja raut Altezza sudah seperti kardus dilipat.

"Kalau Pak Al butuh refreshing, saya bisa temani. Mau ke mana? Jangan sampai mood Bapak yang enggak baik, nantinya berpengaruh ke pekerjaan." Perempuan itu mendudukkan diri pangkuan Altezza, mengalungkan kedua tangan kemudian mengecup bibir laki-laki itu sekilas.

Altezza menggeleng samar. "Saya bingung aja, Za. Baru selesai satu masalah, sudah ada masalah lain yang buat saya bingung," balasnya sambil melingkarkan tangan di pinggang Zashi. "Mungkin lebih baik kamu kembali kerja. Enggak enak kalau tiba-tiba kepergok pagi-pagi begini," lanjutnya dengan gerakan tangan meraba-raba punggung Zashi.

Perempuan itu dengan gerakan sensual menempelkan diri pada tubuh Altezza, kemudian membisikkan kalimat di telinga atasannya. "Bapak lupa, saya masuk siang. Pagi ini jatahnya Pak Rudi."

Altezza bisa merasakan embusan napas Zashi menyapu kulit lehernya, menjadikan kesadarannya hilang sesaat.

"Saya cuma mau ambil makanan. Biasa, kesukaan saya untuk sarapan." Zashi sudah kembali menjauhkan wajah, senyum simpul terkembang pada wajah cantiknya. "Saya permisi dulu. Kalau Pak Al butuh saya, anytime. Saya akan selalu ada kapan pun Bapak butuh."

Lagi, Zashi mendaratkan kecupan singkat di bibir Altezza. Perempuan itu hendak bangkit dari pangkuan, tetapi Altezza justru menahan dengan melingkarkan kedua tangan di pinggangnya.

"Sebentar aja, ya?" ujarnya dengan tatap penuh harap.

Ruangan tertutup itu sudah terkunci sejak Zashi masuk ke dalamnya, sehingga apa pun aktivitas yang mereka lakukan di sana, tidak akan ada yang melihat. Altezza bahkan sengaja tidak memasang CCTV dengan alasan, tidak ingin privacy-nya terganggu.

"Whatever you want, Baby." Zashi menyambut dengan senang hati. Dirinya paham akan situasi yang sedang dihadapi Altezza. Perempuan itu kembali melingkarkan kedua tangan di leher Altezza. Dengan gerakan menggoda, dia menempelkan dua benda padat nan kenyalnya pada tubuh si lelaki yang hampir dua tahun ini menjadikannya teman ranjang cadangan.

Tanpa menunggu lama, Altezza segera mengangkat tubuh Zashi dan mendudukkannya di atas meja. A-Line skirt yang dikenakan perempuan itu tidak membuatnya kesusahan membuka kain tersebut, untuk mempermudah menurunkan kain berbentuk segitiga tipis yang menjadi penutup inti kelembaban milik Zashi.

"Aah ... you're the best, Baby. Eemmhh ...." Zashi meracau pelan dengan mata memejam, sedang kedua tangan mencengkeram erat kepala Altezza, merasakan kenikmatan permainan lidah laki-laki itu pada inti tubuhnya.

Mereka masih terus bermain sampai tiba giliran Zashi untuk memuaskan Altezza di tempat yang sama.

Sementara di kediaman mewah Altezza, terjadi keributan kecil akibat Kenan yang melihat aksi nekat Rey.

Kenan tidak terima ketika melihat Vey meminta Rey keluar dari kamar, laki-laki itu justru mendekati Vey dan hendak mencium bibirnya secara paksa. Hingga pukulan demi pukulan Kenan layangkan ke wajah laki-laki yang telah menyebabkan Vey hamil.

"Ya Tuhan ... ini ada apa ini? Kenapa Mas Rey sama Mas Kenan baku hantam begini pagi-pagi?" Nia tergopoh-gopoh mendatangi dua laki-laki yang saling menatap penuh benci. Wajah satunya aman, sementara wajah satunya lagi terlihat berdarah pada salah satu sudut bibir. "Mas Rey enggak apa-apa? Ayo, biar Bibi obati lukanya," tanyanya sambil mendekati Rey.

Melihat Vey yang terduduk di lantai sembari menekuk lutut, semakin membuat Rey penasaran. Kedua tangan perempuan itu mencengkeram rambut yang sepertinya belakangan ini jarang bersentuhan dengan sisir. Rasa hati ingin sekali mencari tahu apa yang terjadi, tetapi sikap Vey yang sedang tidak baik terhadapnya membuat urung untuk mendekat. Laki-laki itu lebih memilih mengikuti Nia. Selain wanita paruh baya itu, tidak ada asisten rumah tangga yang berani mendekat.

"Bangun, Vey. Kamu enggak boleh terus-terusan kayak gini. Aku enggak suka lihat kamu pasrah gini, Vey. Mana Vey yang biasanya jutek dan ketus sama aku? Mana Vey yang selalu semangat buat lari tiap aku datengin, mana?" Kenan menarik lengan Vey dengan sedikit memaksa, meminta Vey bangkit dari dinginnya lantai kamar.

"Aku enggak bisa kayak gini, Nan. Mama sama Papa enggak ada yang peduli sama aku. Mungkin lebih baik aku mati aja sekalian. Aku enggak sanggup kayak gini."

Kenan menarik tubuh Vey ke dalam dekapan. "Enggak! Kamu enggak boleh mati, Vey. Masa depan kamu masih panjang. Kalau kamu pilih jalan pintas, bukan cuma kamu yang jadi korban, tapi juga janin yang ada dalam perut kamu. Apa kamu enggak kasihan? Dia enggak bersalah, Vey."

Vey semakin terisak. Dia memukul-mukul Kenan yang seharusnya bukan menjadi sasaran kemarahan. Akan tetapi, Vey melakukan itu secara refleks. Sampai pada akhirnya, pukulannya melemah.

"Aku enggak butuh jawaban kamu lagi. Tapi maksud aku dateng ke sini, buat kasih tahu kamu kalau aku udah ngambil keputusan ini, Vey. Demi kamu, demi jabang bayi yang ada dalam perut kamu." Kalimat itu dilontarkan Kenan dengan sungguh-sungguh, tidak ada nada gurauan yang tersemat di dalamnya.

Perempuan yang berada dalam rengkuhan lantas memisahkan diri, mendongak menatap bingung wajah Kenan yang matanya menyorot tajam. "Maksud kamu apa?" tanya Vey dengan wajah basah. Perempuan itu terlihat sangat berantakan.

"Nanti sore aku bakal beranikan diri bilang ke Papa. Aku mau nikahin kamu biar kamu bisa terbebas dari kejaran Om Rey. Itu kan, yang pengen kamu lakuin sekarang?" Kenan to the point. "Sayangnya, kamu enggak akan bisa menghindar dari dia, karna kamu tahu sendiri. Dia itu tangan kanan Papa kamu yang sangat bisa diandalkan, sangat dipercaya. Jadi mana mungkin Papa kamu mau pecat dia?"

Vey hampir mengucap sepatah kata, tetapi kembali membungkam bibir saat mendengar kalimat Kenan selanjutnya. Gladys Alveyra terduduk lemas di sisi tempat tidur.

"Ini jalan satu-satunya, Vey. Lagian juga ... Papa sama Mama kamu udah ngira kalau aku yang bikin kamu hamil." Kenan memasukkan dua tangan di saku celana sambil berjalan menuju jendela kaca, kemudian membukanya lebar-lebar.

Perempuan yang diajak bicara kini menunduk dalam-dalam. "Kamu jangan gila, Nan. Pernikahan itu sesuatu yang sakral dan enggak bisa dijadiin mainan."

"Siapa bilang aku bakal jadiin itu buat mainan?" Kenan berbalik badan dan memperhatikan Vey yang masih menunduk. "Seenggaknya, aku bisa selamatkan kamu dari situasi ini, Vey. Setelah kita nikah, kamu bisa ikut aku dan pergi dari sini. Dengan begitu, kamu bisa menghindar dari Om Rey. Selain itu juga kamu bisa ngerasain suasana baru. Aku bakal bebasin kamu buat lakuin apa pun yang kamu mau."

"Stop, Kenan! Jangan gila!" sahut Vey. "Aku enggak cinta sama kamu."

Pengakuan gadis itu sontak membuat Kenan terdiam. Ada nyeri yang diam-diam menyusup ke dalam hati yang paling dalam.

"Lupain masalah itu, Vey. Aku enggak peduli. Sore nanti, aku bakal bilang ke Papa tentang ini. Please, jangan lakuin hal-hal di luar kendali. Karna setiap masalah udah pasti ada solusi." Kenan menegaskan. "Aku mau ke sekolah buat urus acara perpisahan. Apa kamu mau ikut? Seenggaknya ... kamu ada hiburan dan bisa menghindari Om Rey yang kemungkinan masih di sini karna Bi Nia harus obati lukanya, kan?"

"Enggak lucu, Nan. Apa yang bakal aku lakuin kalau aku tiba-tiba mual?"

Kenan tersenyum kecil. "Tinggal bilang kalau kamu hamil anak aku. Beres, kan?"

Ucapan Kenan membuat Vey mendelik tajam, kemudian melempar laki-laki itu dengan bantal. Mana bisa dia membiarkan Kenan melakukan itu sebagai bahan gurauan?

Hasrat TerlarangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang