Bab 7 - Gugurin Kandungan Aku!

345 6 0
                                    


"Sayang ... tunggu! Denger penjelasanku dulu." Altezza mengikuti langkah cepat Valerie memasuki rumah.

Wanita yang hampir dua puluh tahun menjadi istrinya itu tidak bisa terima dengan alasan yang dikemukakan Altezza karena batal menjemput ke toko bunga. Terlebih, alasannya tidak masuk akal dan tidak ada pemberitahuan sama sekali sebelumnya. Istri mana yang bisa terima?

Altezza meraih pergelangan tangan Valerie, sehingga langkah wanitanya terhenti. Namun, sang istri mengempaskan genggaman Altezza begitu saja.

"Enggak ada yang perlu dijelasin," elak Valerie yang merasakan kadar kekesalannya sudah berada di ubun-ubun.

"Sayang, aku minta maaf. Tadi emang batal jemput kamu karna ada urusan mendadak," ujar Altezza sembari menggaruk kulit kepala yang tidak gatal.

Lelaki itu merasa frustrasi. Akibat tergoda dengan perempuan cadangan, Altezza tidak sengaja melupakan waktu untuk menjemput istrinya. Padahal beberapa menit sebelumnya, dia sudah mengatakan akan menjemput Valerie dengan paksa demi membicarakan tentang masalah anak gadis mereka yang tiba-tiba hamil, tanpa diketahui siapa laki-laki yang menidurinya.

"Urusan apa lagi? Siapa yang tadi maksa banget buat ngajak makan bareng? Kamu enggak tahu, kan, kalau demi jemputan paksa yang kamu bilang tadi ... aku sengaja batalin semua janji ketemu klien hari ini. Aku nunggu kamu diem di tempat, tapi mana? Enggak ada jemputan, enggak ada kabar, telepon kamu matiin. Ada urusan apa sampai kamu enggak bisa dijangkau sama sekali?" cecar Valerie yang tidak habis pikir dengan kelakuan suaminya.

Valerie yang dulu teramat sangat mencintai Altezza dan menganggap bahwa laki-laki itu adalah sosok terbaik untuknya, merasa kecewa terhadap sang suami yang kini lebih sibuk mengurus pekerjaan sendiri. Dirinya bahkan bingung, di mana sosok Altezza yang dulu dia bangga-banggakan?

"Handphone tiba-tiba mati. Aku udah bilang, kan? Semalem lupa nge-charge sampai baterai habis dan aku enggak nyadar."

Adu mulut itu terdengar sampai di telinga Vey. Anak perempuan mereka yang baru saja menginjak usia sembilan belas tahun satu bulan yang lalu, merasa semakin tertekan dengan keributan yang diciptakan kedua orang tua.

Belum selesai mereka memperdebatkan tentang siapa laki-laki yang sudah membuat Vey hamil, kini pembahasan Valerie dan Altezza sudah berbeda lagi. Entah, Vey pun merasa bingung karena waktu demi waktu, perdebatan orang tuanya itu seakan-akan tidak ada jalan tengah.

"Non, makan dulu, ya?" Nia memasuki kamar Vey usai mengetuk pintu perlahan. Wanita berusia lima puluh tahun itu tidak heran lagi mendengar pertengkaran yang kerap terjadi antara Altezza dengan Valerie. Dia pun bisa memahami bagaimana perasaan Vey sebagai anak sang majikan.

Vey yang duduk termenung di sisi jendela, menoleh ke arah pintu dan memperhatikan Nia yang baru saja memasuki kamar. "Aku enggak laper, Bi. Makanannya bawa aja keluar."

Sejak mengetahui dirinya tengah berbadan dua, Vey kehilangan semangat. Perempuan itu bahkan kehilangan nafsu makan. Raut wajahnya memucat, mulai muncul tanda-tanda tidak sehat.

Tatapan Vey kembali menerawang. Masih ada keinginan dalam hatinya untuk aborsi. Dia ingin sekali menggugurkan bayi yang ada dalam kandungan. Namun, Vey teringat akan kata-kata Kenan yang mengatakan, tidak seharusnya dia membunuh nyawa yang tidak berdosa.

Ya, bukankah memang jabang bayi itu tidak salah? Vey sendiri yang sudah salah, terlalu lena pada kebaikan dan perhatian yang dicurahkan Rey sehingga tanpa sadar telah melakukan suatu hal yang seharusnya tidak mereka lakukan.

"Non Vey harus makan. Dari pagi Non enggak makan, nanti kalau sakit gimana?" Nia menghampiri Vey.

Aroma makanan di atas nampan yang masih berada di tangan Nia, tidak sengaja terhirup oleh indra penciuman Vey dan membuat perempuan itu mendadak mual.

"Bi Nia enggak denger? Aku enggak mau makan! Aku enggak suka makanan itu. Baunya bikin enek. Bawa keluar sekarang juga!" seru Vey dengan nada tinggi.

Vey sontak berdiri, kemudian menatap sengit ke arah asisten rumah tangganya. Tidak peduli dengan reaksi atas keterkejutan wanita itu mendapat perlakuan yang kurang enak dari Vey.

Dalam rumah besar yang dihuni Vey, hanya Nia yang ditugaskan untuk melayani 'Tuan Putri' tersebut. Sedang asisten rumah tangga yang lain sudah memiliki tugas masing-masing.

"Ada apa sih, ribut-ribut?" Valerie mendekat karena wanita itu mendengar suara lantang Vey. Kekesalannya terhadap sang suami belum juga hilang, ditambah lagi dengan tingkah Vey yang semakin menambah kadar nyeri di kepala.

Nia sedikit menjauh dari Vey. Wanita paruh baya itu meletakkan nampan di atas meja belajar. "Non Vey enggak mau makan, Nya. Padahal dari pagi belum makan," katanya mengadu.

Valerie menghela napas panjang. "Bibi taruh di situ aja makanannya, biar nanti Vey makan," titahnya.

Nia pun menurut, lantas menjauh dari Vey dan Valerie.

"Enggak! Aku enggak mau makan! Bawa nampannya keluar! Aku enggak suka baunya. Bawa keluar, Bi!" sahut Vey yang tetap kukuh pada pendirian.

Dengan bahasa isyarat, Valerie meminta Nia untuk keluar kamar. Wanita itu lantas menutup pintu rapat-rapat dari dalam.

"Kamu harus makan, Vey." Nada bicara Valerie sudah lebih lunak dari beberapa waktu lalu saat Vey mendengar mamanya itu adu mulut dengan sang Papa. "Jangan seperti anak kecil, dong."

Vey memalingkan wajah. Selalu saja kalimat itu yang dilontarkan sang Mama setiap kali menghadapi sikap tidak acuh Vey.

"Kalau aku tetap enggak mau, gimana?" balas Vey.

"Kamu harus makan, setelah itu kita bicara! Mama sama Papa harus tahu siapa laki-laki yang udah buat kamu hamil, Vey. Kamu enggak bisa diem-diem terus buat nutupin itu. Karna semakin lama, kandungan kamu akan semakin besar. Kamu harus segera menikah, Vey. Enggak mungkin, kan, kamu melahirkan anak tanpa seorang suami."

"Emang kenapa kalau aku melahirkan anak tanpa suami? Mama malu? Bukannya ini salah Mama juga yang udah abai sama aku? Mama terlalu sibuk dan lebih milih ngurus kerjaan daripada nemenin aku di rumah. Aku ngerasa enggak dianggap di sini, Ma," balas Vey setengah teriak.

Dua kaum hawa yang sedang bersitegang itu terkejut saat melihat pintu kamar mendadak terbuka. Tidak lama setelahnya, terlihat sosok Altezza melangkah masuk.

"Ada apa ini? Bicara pelan-pelan bisa, kan? Gimana kalau yang lain denger? Jangan sampai ada orang lain tahu tentang—"

"Kehamilan aku? Iya?" Vey dengan cepat memotong pembicaraan Altezza. "Makanya kalau punya anak itu dijaga. Bukan malah ditinggal sendiri, sana-sini sibuk kerja. Apa sih, artinya aku buat Mama sama Papa?"

Wajah Vey memanas. Cairan hangat yang sudah sejak tadi tertahan di pelupuk mata, pada akhirnya luruh juga.

"Vey, kamu ...." Altezza ingin marah, tetapi tidak tega.

"Jaga bicara kamu, Vey!" Kini giliran Valerie yang mengingatkan.

Vey mengangguk-angguk. "Bukan cuma Mama sama Papa yang bakal malu kalau aku punya anak tapi enggak ada bapaknya."

Belum selesai Vey mengutarakan apa yang ingin dikatakan, Valerie lebih dulu bersuara. "Makanya itu, bilang ke Mama sama Papa ... siapa yang udah lakuin ini ke kamu? Laki-laki itu harus tanggung jawab, Vey. Jangan sampai kamu juga menanggung malu."

"Mama kamu bener, Vey. Kamu harus—"

"Gugurin aja kandungan aku! Beres, kan? Jadi ... Mama sama Papa enggak perlu menanggung malu." Vey kembali menyahut.

Sebuah tamparan keras mendarat di wajah Vey.

Indra penglihatan Altezza membulat melihat kelakuan sang istri yang sontak menampar Vey dengan penuh emosi. "Sayang ... apa yang kamu lakukan?"

Hasrat TerlarangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang