Bab 2 - Masalah Vey

889 28 178
                                    

"Rey, bisa bicara sebentar?" Altezza memanggil Reyhan saat asisten pribadinya itu mulai melangkah menjauh dari meja kerjanya.

Reyhan yang biasa dipanggil Rey pun membalikkan badan sembari menjawab, "Bisa, Pak." Lelaki itu kembali menghampiri Altezza dan duduk di kursi yang berada tepat di depan atasannya. "Apa ada hal lain yang harus saya kerjakan?"

"Enggak. Enggak ada. Saya cuma mau tanya sesuatu aja." Altezza menjawab, kemudian menutup laptopnya dan memusatkan perhatian kepada Rey.

Rey mengangguk pelan dengan senyum tipis di bibirnya. "Oh, baik. Apa yang ingin Bapak tanyakan? Pasti akan saya jawab."

Altezza mendongak dan menatap Rey dengan saksama. "Apa kamu tahu siapa laki-laki yang lagi dekat sama Vey?"

Pertanyaan Altezza membuat senyum di wajah Rey mendadak pudar. "Laki-laki, ya?" tanpa sadar dia menggumam.

Altezza mengangguk cepat. "Iya. Laki-laki yang dekat sama Vey. Apa kamu tahu?"

Bukan tanpa alasan Altezza menanyakan perihal Alveyra kepada Rey. Selama ini dia memberi tugas pada asisten pribadinya tersebut untuk mengantar ke mana pun Alveyra pergi, bahkan jika ada undangan dari sekolah yang ditujukan untuk orang tua wali Vey, yang datang justru Rey atas perintah dari Altezza. Karena itu, Altezza menganggap Rey tahu segalanya tentang anak semata wayangnya.

"Kamu udah jadi asisten Vey cukup lama dan sering antar ke mana pun dia pergi. Jadi ... pasti kamu tahu, kan? Rasanya enggak mungkin kalau kamu enggak tahu tentang itu," tanya Altezza lagi sebelum Rey sempat menjawab pertanyaan pertama.

Reyhan menghela napas panjang. "Vey ... sejauh ini enggak ada laki-laki yang dekat sama dia, Pak. Karena di sekolah, atau di mana pun itu, dia lebih suka menyendiri. Cuma ... kalau laki-laki yang saya tahu selalu ngejar Vey dari dulu, itu cuma Kenan. Banyak yang sebenarnya ngejar Vey, tapi karna sikapnya yang dingin, membuat para laki-laki itu kemudian menjauh dengan sendirinya dan tinggal Kenan yang sampai saat ini masih bertahan. Mungkin karna dia anak teman bisnis Bapak, sering berinteraksi jadi enggak mudah melupakan Vey," terangnya panjang lebar.

Altezza tampak sedang berpikir. Dia memang kenal dekat dengan papa Kenan dan sering kali mengadakan acara pertemuan yang melibatkan keluarga. Bisa jadi, diam-diam Vey dan Kenan menjalin hubungan tanpa sepengetahuannya. Seperti itulah yang kini dipikirkan Altezza.

"Jadi begitu, ya?" gumam Altezza yang terlihat tidak bersemangat atas kejadian yang menimpa sang anak.

Rey mengangguk-angguk. "Memangnya ada apa dengan Vey, Pak?"

"Enggak. Enggak ada apa-apa." Altezza menggeleng perlahan. "Saya minta Pak Rudi masak buat makan siang Vey. Kalau sudah siap, nanti tolong kamu antarkan ke Vey. Sekalian tanyakan, dia butuh apa. Kamu bisa belikan buat dia," titahnya.

Bagi Altezza, Rey bukan hanya sekadar asisten pribadi. Akan tetapi, laki-laki yang berusia dua puluh sembilan tahun itu sudah dianggap seperti keluarga sendiri. Tidak ada pegawai Altezza yang lebih cekatan daripada Rey. Karena itu, dia tidak segan memberi mandat apa pun kepada Rey yang sangat dia percaya, bahkan untuk menjaga anak perempuannya.

"Baik, Pak." Rey mengangguk patuh. "Hanya itu aja, Pak? Atau ada yang lain?"

"Sementara itu aja."

"Baik, kalau begitu saya permisi dulu, Pak."

"Silakan," balas Altezza.

Rey segera berdiri dan berlalu dari hadapan Altezza yang sedang merasa pusing dengan masalah Vey. Sejak kemarin, anak semata wayangnya itu masih saja bungkam dan tidak mau memberi tahu apa pun tentang siapa laki-laki yang sudah menghamilinya.

Ingin sekali Altezza meminta bantuan kepada Rey untuk membujuk Vey supaya memberi tahu siapa laki-laki yang sudah berhubungan badan dengannya. Namun, Altezza tidak mau gegabah. Dia ingin menyelidiki masalah itu dari Vey sendiri tanpa melibatkan orang luar. Altezza pun mulai mengambil langkah pertama dengan menghubungi istrinya.

"Ya, halo," sapa Valerie yang terdengar dari ujung telepon.

"Halo, Sayang. Bisa kita makan siang di luar? Kita harus bicarakan lagi masalah Vey," ajak Altezza yang ingin segera tahu siapa ayah dari jabang bayi yang dikandung Vey.

"Duh, Sayang. Apa harus sekarang? Aku lagi sibuk banget karna banyak pesanan yang harus diselesaikan hari ini," balas Valerie yang agaknya keberatan dengan ajakan sang suami.

"Sayang, yang kita hadapi sekarang ini masalah Vey. Vey anak kita. Kita harus segera tahu siapa laki-laki yang sudah menghamili dia. Jadi tolong, luangkan waktu kamu sebentar. Bisa, kan?" Altezza mendengkus kesal. "Kita enggak bisa membiarkan masalah ini terlalu lama. Bagaimanapun juga, kita harus segera cari tahu siapa laki-laki itu untuk meminta pertanggungjawaban. Vey itu hamil. Semakin hari, perutnya akan semakin besar. Mau ditaruh di mana muka kita kalau orang-orang di luar sana sampai tahu tentang kehamilan Vey di luar nikah?" cecarnya.

"Ya udah, kalau gitu ... nanti sore aku pulang lebih cepet. Kita bisa makan di rumah bareng Vey, jadi kita bisa sekalian tanya ke dia."

"Aku butuh bicara sama kamu lebih dulu. Karna ... kadang kamu enggak bisa kontrol emosi di depan Vey. Walaupun dia sudah buat kesalahan, dia tetap anak kita. Dan seharusnya kamu enggak bersikap kasar ke dia."

"Jadi menurut kamu, aku harus gimana? Apa aku harus diam aja lihat anak kita yang sekarang mulai bisa melawan?"

"Sayang, please. Aku mau kita bicara baik-baik demi Vey. Bukan malah berdebat kayak ini," pinta Altezza.

"Iya, iya, maaf. Jadi menurut kamu, aku harus gimana?"

"Kita bicara dulu, please. Bisa, kan? Aku akan jemput kamu sekarang. Masalah pekerjaan, kamu bisa serahkan sama asisten kamu seperti biasa."

"Sayang, kamu kan tahu sendiri, aku belum dapet pengganti. Karna itu, aku kerepotan."

Altezza menghela napas panjang. Beberapa tahun belakangan, dia merasa istrinya terlalu maniak dalam bekerja. Sampai-sampai dia melupakan kewajiban sebagai seorang Ibu yang seharusnya mengurus dan memperhatikan anaknya di rumah.

Sudah sering kali Altezza mengingatkan, tetapi Valerie yang selalu tidak mau kalah, tetap saja tidak mau mendengar. Diam-diam Altezza sedikit menyesal karena dulu telah membuat toko bunga sang istri menjadi ramai dan banyak diminati. Karena imbasnya baru terasa belakangan ini.

"Aku enggak butuh alasan apa-apa lagi. Sebentar lagi jam istirahat, jadi aku akan segera jemput kamu," ucap Altezza, lalu segera memutus sambungan teleponnya dengan Valerie.

Setelah gawai dimasukkan dalam saku celana, Altezza buru-buru bersiap hendak menjemput paksa sang istri. Jika hari-hari yang lalu lelaki itu selalu sibuk dengan pekerjaan, kali ini Altezza mencoba untuk meluangkan waktu demi Vey.

Derap langkah Altezza terdengar cepat hingga sampai pada pintu ruang kerjanya. Namun, dia begitu terkejut saat membuka pintu dan seseorang berdiri di depan sana.

"Kamu ...?"

Hasrat TerlarangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang