"Ada apa, Dek?"
"Kita terancam nggak nerima beasiswa lagi Bang dan bisa berhenti sekolah di sini." Cantika berujar dengan raut sedih yang sangat kentara. Keinginan almarhum ayahnya selalu terngiang-ngiang untuk ia dan kedua saudaranya melanjutkan pendidikan. Ia tidak ingin mengecewakan keinginan terakhir mendiang ayahnya, karena itu apa pun yang terjadi ia akan berjuang keras untuk mempertahankan beasiswanya dan juga kakaknya.
"Ya udah nggak pa-pa, biar Abang cari uang buat kamu sama Tania sekolah."
"Nggak Bang, nggak, nggak boleh gitu. Abang nggak inget pesen almarhum Ayah yang mengharuskan kita sekolah paling nggak sampai lulus SMA?"
"Ah ya udah Abang pinjem uang sama temen Abang aja ya."
"Nggak Bang, jangan! Maksudku, Bang Kevin bantuin aku aja."
"Bantu apa, Dek?"
"Jadi, kepala sekolah bakalan ngasih beasiswa buat kita lagi kalau aku bisa minimal bikin seseorang yang sering bolos jadi masuk seminggu berturut-turut."
"Siapa?"
"Fattan Aliditia Assegaf. Abang mau bantu aku nyari cowok itu kan?" tanya Cantika dengan polos yang disambut tawa cekikikan Kevin. "Bang Kevin kenapa ketawa? Ih nyebelin!" Cantika memukul lengan kiri Kevin karena sebal.
"Ya, habis kamu lucu. Masa nggak kenal sama Fattan? Dia kan sekelas sama kamu."
"Hah? Sekelas... sama aku? Yang mana?"
"Ayo ikut Abang, biar Abang kenalin sama dia."
Kevin mengajak Cantika menuju kantin sekolah di mana The Alfa sudah pergi duluan ke sana. Sebagai satu-satunya laki-laki dalam keluarga kecil mereka sekarang, Kevin merasa bertanggung jawab besar pada ibu dan kedua adiknya. Ia paham betul, reputasinya yang buruk di sekolah membuat dampak buruk bagi beasiswanya dan Cantika, tapi mau bagaimana lagi? Serangan sekolah lain menuju ke sekolah mereka jika tidak dihalau bisa membahayakan Cantika juga nantinya. Ia tidak ingin adik-adik dan ibunya terluka oleh hal apa pun itu selama ia masih bisa melindungi mereka.
"Fattan sini bentar dah!" Kevin melambai ke arah The Alfa, lebih tepatnya ke arah Fattan yang tentu membuat anggota yang lain ikut menoleh. Fattan pun meninggalkan The Alfa dan berjalan ke tempat Kevin dan Cantika yang berada di pojokan kantin, sementara anggota The Alfa yang lain hanya angkat bahu acuh tak acuh pada urusan yang mungkin melibatkan Fattan, Kevin, dan adiknya.
"Ada apaan Vin? Eh, hai manis!" Fattan mengedipkan sebelah matanya ke arah Cantika.
"Nah ini Fattan, orang yang kamu cari Dek." Kevin menjelaskan pada Cantika, mengabaikan sikap genit Fattan yang sering berlaku genit pada gadis-gadis lugu di sekolah.
"Hah gue dicari? Berasa teroris aja dicari-cari." Fattan membuka bungkus permen karet yang ia ambil dari saku celananya.
Cantika masih diam dengan mata membulat sempurna. Jadi cowok yang bertabrakan dengannya itu yang bernama Fattan Aliditia Assegaf? Wajah Indo-Arabnya begitu kental dengan postur tak terlalu tinggi untuk ukuran cowok. Mata hitamnya indah dilingkupi bulu mata super lentik dan alis yang rapih tampak seperti ulat bulu. Yang membuat semua cewek salah fokus pasti bibirnya yang semerah ceri. Oh, ayolah Cantika! Ini bukan waktunya untuk terpana, ada masalah yang lebih genting daripada sekedar mendamba pada sosok tampan di hadapannya.
"Dek kamu ngelamun? Aduh Tan, pesona lo bisa bikin banyak orang overdosis kayanya, bahkan adek gue aja bisa sampe cengo gitu."
"Ah, Bang Kevin apaan sih. Orang nggak ada apa-apaan juga." Cantika memukul lengan Kevin lagi sedangkan Fattan hanya melirik kakak-beradik itu sambil mengunyah permen karet.
"Ya udah, kenalin Dek ini Fattan temennya Abang dan ini Cantika, Adek gue Tan."
"Fattan."
"Cantika."
Mereka berjabat tangan sembari Fattan mengedipkan sebelah matanya membuat Cantika kembali bergidik, tapi tak bohong jika ia terpesona pada sosok di hadapannya. Fattan dengan segala pesonanya dan Cantika dengan keluguan dan tekad kuatnya untuk mempertahankan beasiswa.
***
"Lo tinggal di rumah sebesar ini sendirian?" tanya Cantika setelah tadi ia menjelaskan misinya kepada Fattan dan Fattan langsung membawanya ke rumah besar yang membuat Cantika begitu takjub akan hal itu.
"Kaya yang lo lihat. Gue di rumah ini sendirian. Ada sih beberapa mbak di belakang, tapi kalau lo mau, lo bisa tinggal disini sebagai nyonya Fattan Aliditia Assegaf." Fattan kembali menggoda Cantika yang tanpa sadar membuat pipinya bersemu merah muda.
"Hish apaan deh." Cantika memukul lengan Fattan. Sepertinya itu sudah menjadi kebiasaan Cantika saat sedang kesal dia akan memukul lengan orang yang membuatnya kesal.
"Tapi gue serius." Fattam berjalan memutari Cantika dan mengunci tubuhnya di tembok. Sejak awal pertemuan mereka yang tidak disengaja, Fattan sudah tertarik pada gadis mungil di hadapannya ini. Bagaimana cara mendeskripsikannya ya? Di mata Fattan, Cantika terlihat cantik, tapi juga manis sekaligus. Mata hazelnya begitu bercahaya, sarat akan ketekunan dan mimpi besar yang bahkan Fattan sendiri tidak mempunyai hal itu.
"Apaan sih!" Cantika berusaha mendorong tubuh Fattan, tapi tenaganya kalah besar dari cowok itu
"I want you." Fattan mengedipkan sebelah matanya. God, manis sekali adik sahabatnya ini.
Cantika menelan ludahnya susah payah. Darahnya berdesir, jantungnya berdetak liar apalagi melihat wajah tampan Fattan dengan begitu dekatnya. Alisnya, matanya, hidungnya, bibirnya, dagunya, ah pantas saja sepanjang jalan menuju parkiran mobil Fattan tadi dipenuhi para fans Fattan yang membludak. Jarak wajah mereka semakin dekat bahkan hembusan nafas Fattan terasa hangat menyapu pipi Cantika. Tanpa disadari, Cantika telah memejamkan kedua matanya.
"Ya, sebaiknya lo tunggu di sini." Fattan menyentil dahi Cantika dan meninggalkannya begitu saja dalam kegemingan.
Sepeninggal Fattan, Cantika masih diam seperti patung. Jantungnya menggedor rongga dadanya dengan kuat. Ada apa? Belum ada dua puluh empat jam dia mengenal seorang Fattan Aliditia Assegaf dan dia mendadak terkena serangan jantung? Yang benar saja! Oke, ini gawat! Dia harus jaga jarak dari Fattan. Harus! Sepertinya, memang tidak akan mudah mengajari anak yang satu itu.
"Ngapain masih di situ?" Fattan bertanya seraya duduk di sofa ruang tamu setelah berganti pakaian dengan celana jeans pendek dan kaos oblong berwarna hitam.
"Enggak."
Buru-buru Cantika berjalan menuju sofa dan duduk di sebelah Fattan. Menurut Cantika rumah semewah itu dengan berbagai fasilitasnya tampak begitu menyamankan, tapi diakui atau tidak rumah yang begitu lengang menimbulkan kesan dingin yang tidak mengenakkan.
"Kita akan belajar apa hari ini?" Kembali Fattan bertanya saat seorang art datang membawakan minuman dan camilan ringan.
Dengan segala optimisme dan ambisi untuk tidak kehilangan beasiswa, Cantika mulai membuka-buka buku catatannya dan menjelaskan ini dan itu pada Fattan setelah sang art kembali ke belakang. Tanpa Cantika tahu, yang masuk ke dalam kepala Fattan bukan penjelasan-penjelasam tentang pelajaran yang ia paparkan, tapi bagaimana gerak-gerik Cantika terlihat begitu memukau layaknya seorang mayoret yang sedang memimpin drum band.
KAMU SEDANG MEMBACA
Black Eagle
Mystery / ThrillerFattan tidak pernah memiliki harapan dan impian untuk masa depannya hingga ia terpana pada Cantika yang memiliki kedua hal itu dalam matanya. Cantika hanyalah gadis malang yang nyaris kehilangan beasiswa, karena reputasi buruk kakaknya di sekolah. F...