5. Hati Itu

5 0 0
                                    

"Fattan, Mama bilang kamu tuh sekolah aja nggak usah mainan blogging, blogging kaya gini. Nilai kamu jelek semua dan kamu malah main blogging."

"Tapi Ma..."

"Harusnya kamu tuh niru kakak kamu, nilainya bagus, anaknya santun, temennya juga baik-baik. Gak kaya kamu, urakan, pemales pula. Jadi juara satu blogging kaya gini nggak ada gunanya, harusnya kamu tuh belajar biar nilai kamu bagus. Udah, Mama mau balik ke kantor." Alea Faradika; ibunda Fattan meninggalkan si anak bungsu setelah panjang lebar memberinya nasihat.

Hari ini Fattan baru saja menjuarai lombla blogging seprovinsi. Kebetulan ibunya adalah juri dan tidak tahu kalau anak bungsunya ikut lomba ini. Fattan dapat juara satu plus omelan panjang lebar ibunya. Fattan tertunduk lesu, rasanya tidak ada satu orang pun yang mengerti dirinya. Kevin, Al, James, dan Marthin pun mendekat dan menepuk pundak Fattan untuk memberi semangat.

"Gue nggak papa." Fattan berujar dingin dan berjalan menuju pojok ruangan yang sepi.

Cantika yang sedari tadi kebingungan memperhatikan mereka lantas mendekat ke arah the Alfa, minus Fattan yang sedang menyepi. Wajah mereka juga tampak lesu, seolah merasakan bagaimana jika berada di posisi Fattan saat ini.

"Bang ada apaan sih?" tanya Cantika yang hanya dibalas mereka dengan pandangan menuju ke arah Fattan yang duduk sendirian di pojok ruangan. "Fattan kenapa?" Cantika kembali bertanya untuk mengentaskan rasa penasaran yang justru mendapat gelengan dari empat orang cowok yang ia sambangi. Hingga pada akhirnya si gadis mungil memutuskan untuk mendekati Fattan. Ia benci dibuat penasaran dan ia harus tahu apa yang terjadi.

"Hei!" Cantika menepuk pundak Fattan begitu ia sampai di tempat si cowok urakan.

"Jangan sentuh gue, monyet!!"

"Heh gue bukan monyet! Gue aja nggak setuju sama teori Darwin yang menyatakan bahwa manusia adalah evolusi monyet, kalau manusia itu evolusi monyet pasti sekarang monyet udah punah, sedangkan monyet sekarang masih ada, jadi manusia bukan evolusi monyet." Cantika menjabarkan apa saja yang terlintas dalam kepalanya saat ini, berharap wajah murung itu bisa tergantikan dengan wajah tengil Fattan yang biasanya.

"Gue nggak papa."

"Kalau lo nggak papa lo pasti bakal petakilan bocah tengil. Sekarang apa? Lo cuman duduk diem kaya ayam kena epilepsi."

"Bodo amat."

"Hei mana Fattan yang biasanya ketengilan, kenapa lo melempem gini."

"Fattan udah mati."

"Heh lo nggak boleh ngomong gitu. Lo harusnya bersyukur mau minta uang sekarung juga pasti dikasih sama orang tua lo, nggak kaya gue, miris idupnya."

"Kalau lo mau lo boleh ambil semua yang gue punya. Kalau lo mau lo boleh tinggal selamanya si rumah gue. Gue nggak pernah minta apapun. Bahkan untuk terlahir ke dunia ini gue nggak pernah minta."

"Tan..."

"Gue cuma mau Tuhan kasih gue satu hati yang selamanya bakal jadi milik gue, sayang gue nggak akan pernah punya hati itu."

"Hati itu..."

"Lupain, Fattan udah mati." ucap Fattan yang bergegas berdiri dan melangkah.

Tanpa diduga Cantika menarik tangan Fattan hingga Fattan memutar tubuhnya. Cantika kemudian memeluk Fattan yang ajaibnya tidak ditolak oleh sang empunya tubuh. Ia tidak ingin Fattan yang ia kenal digantikan dengan cowok dingin yang terkurung sendiri dalam kesedihan.

"Fattan nggak akan mati, Fattan punya gue."

"Hati itu?"

"Selamanya gue bakal belajar jadi hati lo, tapi please jangan kaya gini, jangan lemah, jangan mati. Lo punya gue."

"Cantika hati Fattan."

"Fattan punya Cantika."

***

"Ibuuuuu...." Cantika berteriak begitu melihat ibunya yang baru saja membuat kuah bakso.

"Kak Tika, Tania kangen." Anak kecil berbaju lusuh berlarian untuk memeluk Cantika dan sang ibu.

Fattan hanya memperhatikan mereka dari jauh. Mereka tampak mengobrol dengan hangat dan santai, hal yang tak pernah bisa ditemui di keluarganya. Kevin dan yang lain kini tengah mengintai rentenir yang selalu mengusik hidup keluarga Kevin. Ayah Kevin ditipu oleh kolega bisnisnya hingga bangkrut dan rentenir itu salah alamat jika menagih hutang ke keluarga Kevin. Rentenir itu juga punya anak buah yang masih SMA dan menjadi musuh bebuyutan The Alfa.

Tak mau keluarganya dalam bahaya, Kevin mencari alternatif dengan menitipkan Cantika di tempat Fattan. Saking rindunya setelah mereka izin satu hari dari sekolah hari ini, Cantika meminta Fattan untuk menjenguk ibu dan adiknya. Cantika kemudian menggantikan ibunya berjualan bakso dibantu Fattan. Mereka berdua membiarkan Bu Fira dan Tania istirahat sejenak.

"Heh kalau jualan sambil cemberut nggak bakalan laku."

"Sok tau lo dasar bego."

"Galak."

"Tengil."

"Kutu jerapah."

"Upil kebo."

"Jigong onta."

"Ketombe kudanil."

"Berisik sini gue yang jualan."

"Lo yang mulai kali."

"So bakso. Dibeli-dibeli. Bakso enak, bakso enak. Beli satu dapat satu beli dua dapat dua." teriak Fattan saat menjajakan bakso.

Tak lama kemudian para ABG dan ibu-ibu berkumpul membeli bakso sampai mereka, lebih tepatnya Fattan kuwalahan melayani. Cantika sendiri tersingkir jauh dari kerumunan pembeli. Tangan-tangan jahil mereka mencubiti pipi Fattan saking gemasnya. Ya, ya, ya, pesona Fattan selalu mampu membius siapapun dari anak kecil sampai nenek-nenek sekalipun. Dan ini untuk kali pertama Cantika merasa tidak rela ada yang menyentuh Fattan selain dirinya.

"Duh ibu jangan cubit-cubit saya." ucap Fattan pada ibu-ibu yang gemas terhadapnya.

"Aduh abis saya gemes lihat mukanya si mas, ganteng banget."

"Nanti istri saya marah."

"Istri?"

"Iya bu, tuh liat istri saya ngambek nanti jangan dicubitin mulu sayanya." Fattan berujar lagi sembari berusaha membuat ibu-ibu itu berhenti mencubitinya.

Sementara Cantika terkikik geli dengan penuturan Fattam. Istri? Astaga entah kenapa pikiran Cantika malah melayang-layang jauh. Istri? Jadi nyonya Fattan Aliditia Assegaf? No, no, no! Kenapa ia malah memikirkan hal itu? Ah Fattan sudah mencuci otaknya sampai berisi Fattan semua.

Dan sisa hari itu mereka habiskan untuk berjualan bakso yang lebih laris daripada biasanya. Kebersamaannya dengan Cantika membuat Fattan melupakan sejenak sikap ayah dan ibunya yang membuatnya kecewa. Bersama Cantika, Fattan seperti menemukan teman bertualang yang menyenangkan. Fattan selalu melihat Cantika dengan mimpi-mimpi dan abisinya seperti seekor burung yang terbang kian tinggi tanpa pernah merasa takut pada angin kencang di atas sana.

"Kenapa ngelamun?" Cantika bertanya pada Fattan yang diam dan menatap lurus pada deretan orang-orang yang sedang jogging di taman usai dagangan mereka habis.

"Nggak kok. Cuman, gue merasa Lo beruntung."

"Hah?"

"Bukan, bukan soal dikejar-kejar rentenir, itu sih namanya sial. Yang gue maksud beruntung tuh, Lo punya keluarga yang hangat, gak kaya gue." Fattan tersenyum miris, hidup mereka berdua seperti berkebalikan satu sama lain.

Jemari mungil Cantika menggenggam jemari Fattan hingga si empunya menoleh. "Kalau Lo merasa tempat Lo dingin, Lo boleh datang ke tempat gue buat dapatin kehangatan itu." Cantika tersenyum dan senyum itu yang ia tularkan pada Fattan. Senyum tulus yang menyamankan.

Black EagleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang