Bocil Kematian - 4

116 19 3
                                    


Cinta akan tumbuh seiring berjalannya waktu. Pepatah tua yang diaminkan setiap insan yang berharap orang yang mereka cintai akan balas mencintai mereka. Setidaknya itu juga yang di harapkan Nano dan Atta, setelah beberapa bulan mereka mendekati kedua bocil kematian itu, kedua gadis belia itu akan dapat melihat ketulusan cinta yang di berikan.

Entah berhasil atau tidak, namun kini diantara mereka tak ada lagi dinding tebal pembatas. Baik Tia juga Bintang nampaknya mulai nyaman dan terbiasa akan kehadiran Nano dan Atta. Mereka semakin terbiasa dengan keposesifan para gadis dewasa, semakin terbiasa jika harus saling bertukar kabar, semakin terbiasa pula menghabiskan waktu semalaman untuk bertukar cerita mesti lewat panggilan telpon saja.

Seperti saat ini, saat Nano merasa lelah dengan aktivitasnya seharian penuh namun dengan rela ia mendengarkan Tia yang berceloteh, menemaninya hingga gadis itu tanpa sadar tertidur dengan panggilan telpon yang masih tersambung.

"Tia.. lo tidur??" 

Namun yang di panggil tak sedikitpun menjawab, Nano melirik jam di ponselnya yang menunjukkan pukul 2 malam kemudian tersenyum manis. Gadis itu menaruh ponselnya di atas bantal tepat di samping kepalanya, menyalakan pengeras suara dan memejamkan mata tanpa berniat mematikan panggilan.














Beberapa hari berselang, Nano kini tengah berada di sebuah pantai. Berjalan santai menyusuri pesisir pantai tanpa alas kaki, menikmati suara deburan ombak dan angin laut yang menerpa tubuhnya. 

Matahari hampir tenggelam, ia mendudukkan tubuh disana menyambut saat-saat istimewa itu dengan senyuman hangat. 

Seseorang yang sedari tadi menatapnya dari jauh, kini berjalan menghampiri dan terduduk disampingnya. Berniat ikut menikmati pergantian hari bersamanya. Nano menoleh dan tersenyum padanya kemudian kembali menatap langit oranye di hadapannya.

"Gue gak selalu suka dengan sepi, apalagi di tempat rame kek gini.."  Ujar gadis lainnya. Nano hanya terdiam, membiarkan gadis tersebut mengeluarkan isi hati dan pikirannya.

"Tapi ternyata tak semenyeramkan itu, ini indah karena.. "  Ia menjeda kalimatnya, menatap Nano yang masih asik menatap matahari yang mulai terbenam perlahan.

"Gue yakin, lo akan selalu ada diantara sepi dan meramaikannya.." 

"Gue??" Tanya Nano kini menoleh pada gadis tersebut. Ia tersenyum dan kembali mengarahkan pandangan pada langit.

Nano menatapnya lekat, tatapan penuh cinta yang kian merebak. Pandangannya kini mengarah pada jemari si gadis dan tanpa ragu menggenggamnya. Si gadis membiarkannya dan malah balas mengeratkan genggaman mereka.

Gadis-gadis lainnya tengah sibuk menyiapkan api unggun dan beberapa camilan. Kedua gadis yang tadi terduduk di tepi pantai, kini berjalan mendekat dan bergabung bersama yang lainnya.

Nano membantu Atta mendirikan tenda sedangkan Tia terduduk di ambang tenda lainnya bersama Febby yang sibuk dengan camilannya.
Aya, Riri dan Bintang tengah sibuk dengan makanan yang akan mereka santap sebentar lagi. 

Ini liburan pertama mereka, liburan yang diharapkan seru dan menorehkan kenangan indah.

Dengan tawa serta canda dan kelakar, ke tujuh gadis itu menikmati malam yang indah mereka tanpa sedikitpun beban.

Kini mereka terduduk melingkar di hadapan api unggun. Dengan sebuah gitar di pangkuan Aya, dan Riri yang bernyanyi. Duduk saling bersebelahan dengan pasangannya masing-masing. Terkecuali Febby, yang lebih memilih sendiri dan menikmati masa lajangnya.

"Gue pengen tanya.."  Perhatian teralih pada Febby, 

"Moment bahagia yang kalian alami, itu apa?" 

"Hah? gimana maksudnya?" Bingung Nano yang tak paham dengan pertanyaan Febby.

"Maksudnya, apa moment yang paling bikin kalian bahagia?? Gitu kan, Febb??"  Jelas Riri membantu, Febby mengangguk riang.

"Nah bener, kak Riri pinterr. Gak kek mereka!" 

"Emang bacod lo aja yang belibet nyeet." Sergah Bintang tak terima.

"Momen paling bahagia yaa.. Hmm.. kalo gue, pas Riri mutusin buat nerima cinta gue. Itu beneran bikin gue bahagia banget.." Jawab Aya seraya menatap dan menggenggam tangan Riri.

"Ekheem bucin!" 

"Ngaca mbaknya!"  Sinis Aya pada Atta, 

"Kalo gue sih, gak tau. Gak ada!"  Kini Atta yang menjawab.

"Jadi, menemukan gue bukan hal yang bikin lo bahagia, gitu?" Tanya Bintang penuh penekanan. Atta membelalak dan menggeleng pelan sementara gadis lain bersiap menertawakan.

"B-bukan gitu, Bin. Eh.. aduhhhh .."

"Oke cukup tau!"  Bintang merajuk membuat Atta bersusah payah membujuknya.

"Giliran gue " Nano mengangkat tangannya. 

"Buat gue, saat gue bisa dengerin nafas tidur orang yang gue sayang. Itu syahduu bangeeeeeeet.." Lanjutnya menggebu, Tia meliriknya sesaat.

"Mang eak??"  Timpalnya mencibir, seketika tawa para gadis lain pecah karena melihat ekspresi wajah Nano yang kini datar menahan malu?.

"Lo bisa gak sih jangan bikin gue gondok mulu? gue lagi romantis!"

"Emang gitu romantis? kak Aya??" Tanya Tia pada Aya. 

"Bukan romantis tapi gabut hahaha.."

"Gak jelas emang si Nano haha.." Aya dan Atta begitu asik menertawakan Nano yang kini mengacungkan jari tengah pada mereka.

"Mending si Nano sih dari pada lo, gak effort sama sekali !" Ujar Bintang, membuat Atta menghentikan tawanya.

"BHAHAHA akhirnya ada yang bela gue" Girang Nano, Bintang menatapnya.

"Gak ada yang bela lo, tua!" 

Malam dihabiskan dengan tawa dan ejekan. Aya, Atta dan Nano nampak kewalahan menghadapi bacotan Tia dan Bintang yang sedikit banyaknya membuat mereka kehabisan kata-kata. Sedangkan Febby dan Riri malah asik menjadi penonton dengan mulut yang juga asik mengunyah.















"Entahlah akan menjadi apa kita didepan sana, meskipun rasa sabarku setipis tissu. Ku pastikan rasa cintaku setebal kardus indom*e padamu."

-Nano



"Nano, Anj*ng!"

-Tia





-END-















KUMPULAN MINI STORY GxGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang