05

549 7 1
                                    

Selamat membaca!










Saat jam makan siang, Saga ful senyum. Seorang gadis tiba-tiba muncul di kantor dan membawakan makanan kesukaan Saga. Selain gratis, makanan tersebut juga dimasak oleh tangan seorang gadis yang cukup Saga nantikan. Nantikan dalam artian... Tidak penting, Saga mau makan saja.

“Kata Egam lo akhir-akhir ini tinggal di rumah William. Kenapa?”

“Ada masalah sama bokap di rumah.” Jawab Saga setelah menelan makanan di dalam mulut.
“Gak tinggal di apart?” Saga terdiam. Bukan apanya, tidak mungkin jika Saga jujur bahwa di apartemennya sedang ada seorang gadis, tinggal bersama Saga di sana.

“Lagi pengen bareng adik gue aja, lagi hamil soalnya.” Bohong Saga.

“Lo gak apa-apa?”

Saga kembali menatap gadis di hadapannya, Leska. “Aman, kok.”

“Lo yakin? Kalau ada masalah langsung ngomong ke gue. Jangan dipendam sendiri, gue di sini untuk dengar semua keluh kesah lo dan kasih masukan.”

Saga tersenyum hangat. Beruntung sekali ia memiliki seseorang seperti Leska di hidupnya.
“Gue udah gak apa-apa, Les.”

“Lo yakin? Emang lo udah terima adik lo sama William?”

Saga terdiam. Kalau soal itu, sebenarnya Saga belum terlalu siap. Saga masih berharap bahwa semua yang terjadi hanyalah mimpi. Saga bahkan pernah berharap bahwa Samira bukan adik kandungnya agar mereka bisa bersama-sama sampai mati. Sialnya semua itu hanya menjadi angan-angan saja.

“Sorry, Ga. Gue gak bermaksud.” Leska berucap dengan nada tak enak sekaligus ada sedikit kesedihan di sana. Sampai sekarang cintanya masih saja bertepuk sebelah tangan. 11 tahun lamanya Leska menaruh harapan pada Saga dan pemuda itu masih belum membuka hatinya untuk Leska barang sedikit saja.

“Les.” Saga juga menyadari kesedihan gadis itu. “Maaf belum bisa kasih lo balasan sesuai yang lo harapkan. Gue akan berusaha.”

Leska tersenyum. Tersenyum getir dalam hati, itu adalah kalimat yang sering Leska dengar sejak beberapa tahun silam.

“Gak usah dipikirin, lo makan dulu aja. Gue juga harus balik ke kantor.” Saga tak menjawab, tak juga membantah. Ia memilih fokus dengan makanan di depannya dengan pikirkan yang bergemuruh di dalam otak. Selain merasa bersalah, Saga juga marah pada dirinya atas perkara yang menimpa Saga dan Leska. Sungguh, gadis ini adalah gadis yang baik, tak sekalipun Saga berpikir untuk menyakiti si gadis.

“Les? Lo ada waktu gak nanti malam?” Tanya Saga setelah menghabiskan makanannya. “Gue mau ngomong sama lo.”

“Kenapa gak sekarang aja?”

“Gak bisa! Gue butuh menyampaikan ini dalam keadaan tenang. Kalau lo ada waktu luang, nanti gue jemput.”

“Gue usahain, nanti gue kabarin.” Jawab Leska berusaha biasa saja meski hatinya berdebar tak karuan. Jarang-jarang Saga mengajak berbicara empat mata seperti ini, takutnya Saga akan mengucapkan berbagai kalimat yang akan mengganggu keadaan hatinya.

“Kabarin secepatnya biar gue bis—,”

Drrt! Drrt! Drrt!

Ponsel Saga bergetar memotong ucapan sang empu. “Bentar, gue angkat telpon dulu.” Saga berdiri dan sedikit menjauh seraya menerima panggilan tersebut.

“Kak, gue udah selesai kelas, ini gue pulang sendiri aja apa gimana?” Cerocos gadis di seberang sana saat panggilan terhubung.

“Sekadar ingpo aja, maze, gue gak ada niat bolos, dosennya aja yang gak mau masuk di kelas mata kuliah yang satu lagi makanya gue udah bisa balik. Jadi ini mau gue udah bisa pesan taxi, kan?”

“Jangan ke mana-mana, gue jemput.” Saga berucap dengan nada dingin sebagai peringatan agar gadis itu tidak bertindak sendirian.

“Kenapa, Ga? Kok muka lo panik gitu?” Tanya Leska setelah Saga menyelesaikan acara telponnya.

“Sorry, Les, gue harus pergi. Ada urusan di luar.” Leska mengangguk. “Lo gak apa-apa kan balik sendirian? Gue buru-buru soalnya.”

“Iya, gak apa-apa, kok. Lagian gue—,”

“Kalau gitu gue duluan, yah?” Saga melengos pergi begitu saja tanpa mendengarkan lagi kalimat Leska.

“Sokay, gue bisa pulang sendiri kok.” Leska berucap ironi pada diri sendiri. Tidak masalah, hal seperti ini baru pertama terjadi.

Bersama Saga hidup lebih rumit! Ayo pilih Saga sebagai Presiden 2024 agar hidup kalian terjamin susah dan menyedihkan!

***

Karena sudah bosan menunggu kedatangan Saga, perut Mora sudah meronta-ronta minta di isi. Mora memutuskan jajan di pinggir jalan, ia memesan dua bungkus bakso untuk ia makan seraya menunggu. Mora mengangguk-anggukkan kepala memuji bakso yang ia beli dalam diam.

Percayalah! Daging yang diolah berbentuk bulat ini sangat enak. Ini adalah makanan terenak di muka bumi yang pernah Mora temui. Menurut Mora, hanya orang aneh yang tidak menyukai bakso.
“Enak?”

Mora mengangguk semangat, “Enwak bwangwat.” Seraya mengacungkan jari telunjuk.

“Ayo pulang!” Ketika itu juga, Mora berbalik kaget pada sosok di sampingnya.

“Sejak kapan lo di situ?” Tanya gadis itu, ia berhenti mengunyah dan membiarkan bakso di dalam mulutnya berkumpul, mendadak sulit ditelan.

“Sejak tadi.” Saga menarik tangan Mora dan membawa gadis itu masuk ke dalam mobil.

Setelah Saga ikut masuk ke dalam mobil mobil, Mora berbalik hati menawarkan bakso miliknya. “Enak tau.”

“Lo aja.” Tolak Saga yang mulai fokus menyetir.

“Lo gak suka bakso, yah? Perasaan di apart ada stok bakso, kok.”

“Gimana kelas hari ini?”

“Gak seru seperti biasa.” Jawab Mora jujur. “Tapi gue udah berusaha nyimak kok, dosennya aja yang monoton cara menjelaskannya. Bikin bosan.”

“Ada tugas?”

“Ada. Ternyata gue udah dua tugas yang nunggak. Sekarang tugas gue ada tiga.”

“Setelah ini lo di apartemen aja kerja tugas.”

“Gue udah jokiin tugasnya. Belum di balas aja sama teman gue. Hehe.”

Saga menoleh singkat lalu berkata. “Sini HP lo.”

“Mau apa?”

“Batalin. Gak ada joki-jokian. Itu tugas lo dan harus lo selesaikan.”

“Tapi susah.” Mora menggenggam erat ponselnya, takut jika Saga merebut benda itu.

“Susah, kak. Kali ini aja, yah. Besok gak lagi, kok.”

“Batalkan!” Saga mulai tegas nadanya.

Mora merengek di tempat sampai melupakan baksonya. “Batalkan atau gue balikin lo ke apartemen dan—,”

“Ih ngancam.”

“Selama lo tinggal bareng gue, lo harus taat dengan apa yang gue bialng. Gue gak suka memaksa, kalau sampai gue memaksa itu memang karena lo gak nurut dengan peraturan yang gue buat.”

“Iya, udah. Gue batalkan.” Mora tak sampai hati.
“Lo harus belajar disiplin, Ra. Anak seusia lo kalau gak dididik dari sekarang gak akan pernah lurus jalannya.”

“Ta—,p”

“Jangan hobi melawan, Ra. Gak baik.” Saga menegur. Mora hanya mampu memonyongkan bibirnya, tak dapat lagi berkesempatan untuk protes. Biasanya orang tua Mora tak peduli dengan urusan atau perbuatan Mora, berbeda dengan Saga yang cerewet bukan main.

“Mau mampir makan, gak?” Tawar Saga sudah kembali baik. Hebat sekali manusia ini dalam mengontrol emosi.

“Gak usah, gue masih punya satu kantong bakso.” Mora berucap dengan ceria. Setidaknya Saga tidak membahas lagi masalah kedisiplinan, Mora bebas berekspresi.

“Kak?” Panggil Mora pelan. “Kan gue gak jadi joki tugas nih, boleh dong gue ke rumah teman buat belajar.”

“Belajar clubing?” Tebak Saga telak.

“Eng—enggak, kok. Benaran kerja tugas.” Alibi Mora.

“Lo gak tau gue siapa? Lain kali kalau lo mau bohong cari orang lain aja, lo salah sasaran.”

Mora terdiam, ia memilih memakan banyak bakso miliknya untuk mengalihkan rasa kesal di dalam dirinya. Ternyata saga sangat ajaib.


***
Tbc

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 17, 2024 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tendensi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang