Bab 1. Angry Old Man from Indonesia

89 29 13
                                    

Umpatan bahasa Indonesia telah dilontarkan dalam sebuah tulisan. Serta sindiran-sindiran diketik sampai isi kepalanya sudah kosong. Jemarinya tidak lepas dari Keyboard di komputer miliknya. Belum lagi, kipas angin dinyalakan dari atas, menambah suasana bercampur aduk. Antara panas dan sejuk. Kacamatanya dipasang, memperhatikan betul setiap postingan di sebuah media sosial. Sebuah web browser muncul, dengan berbagai macam tab dekat taskbar bagian atas. Entah kenapa, dia lebih suka posisi taskbar berada di atas daripada di bawah. Cincin jari manis di telapak tangan, terkena pantulan sinar matahari dari luar ruangan. Menandakan bahwa beliau sudah menikah.

Rambut dicukur rapi, berkulit putih dengan hidung mancung. Serta memiliki bekas jerawat di titik tertentu sekitar wajah. Baju lengan panjang dan kancing berwarna putih, sedang berposisi duduk tegap. Berusaha menghindari adanya keropos tulang di punggungnya. Resep obat yang dibuat istrinya benar-benar manjur.

Sebuah bantingan keras berulang-ulang di atas meja. Mengumpat dalam bahasa daerahnya.

"Tidak perlu marah-marah begitu, Pak Syarif. Ingat lho, bapak bakalan punya anak nanti. Jadi jaga sopan santunnya."

"Makasih, Bu Shinta. Tapi saya merasa kesal hari ini. Bisa-bisanya tidak menindaklanjuti kasus penganiayaan oleh para bedebah terhadap rakyat."

Bu Shinta menghela napas panjang. Beliau tahu yang dimaksud ucapan Pak Syarif. Sebuah organisasi meresahkan selain FPI. Yaitu Pemuda Pancasila dengan motif loreng-loreng berwarna oranye. Sampai detik ini, Pak Syarif paling anti terhadap sesuatu meresahkan. Serta menyindir mereka dengan ejekan seperti 'Pemuda Pancasila suka main tentara-tentaraan atau pasukan nasi bungkus.'

Beliau ingat saat salah satu mobil diberi motif loreng oranye, Pak Syarif langsung mengangkat tangannya sembari acungkan jari telunjuk di luar. Seperti orang kesurupan. Sampai-sampai, Pak Yono berusaha menghentikan aksi Pak Syarif supaya tidak berbuat onar. Nyatanya tidak berhasil. Walau begitu, Pak Syarif tahu diri karena saat itu sedang jam pelajaran sekolah. Sehingga tidak bisa berbuat seenaknya.

Aku tidak paham kenapa Bu Nuraini menikah dengan orang semacam ini. Kalau saya sih pasti kuceraikan, gumam Bu Shinta dalam hati. Jam pelajaran sekolah selalu Pak Syarif sibukkan dengan mengajar paling banyak. Alasannya supaya tidak berkoar-koar atau mencela organisasi tidak bermanfaat. Beliau mengajar matematika untuk seluruh kelas 11 SMK. Tidak peduli jurusan manapun, pasti beliau selalu dikenal banyak siswa. Mereka menyebutnya sebagai Bapak Nasionalis. Meski sekedar bercanda, Pak Syarif selalu mengumandangkan lagu-lagu nasional. Termasuk Indonesia Raya, Mengheningkan cipta, Rayuan Pulau Kelapa dan lain-lain.

Jika beliau tidak mengajar, pasti lagu diputar sejenis rock atau metal dari belahan dunia sembari riset tulisan di platform online. Salah satunya Webnovel.

Usai menaruh chapter di sebuah postingan platform Webnovel, Pak Syarif melanjutkan kembali mengetik di facebook. Jemari-jemarinya membalas komentar dari tiap akun atau membuat status. Selain itu, beliau juga mencari di TikTok seputar Pemuda Pancasila maupun Banser. Tidak peduli kalangan muda atau tua. Semua beliau embat dalam bentuk video dan gambar.

Suasana ruang guru tidak begitu ramai karena sibuk mengajar atau urusan di luar sekolah. Menyisakan dirinya dan Bu Shinta saja. Kepala Sekolah, Bu Sholehah sedang tidak berada di tempat. Biasanya, beliau tiap hari datang di jam tujuh pagi. Bebarengan dengan para siswa dan guru.

Oleh sebab itulah, Pak Syarif menyetel lagu metal dengan berani. Jari telunjuknya mengetik mouse. Memperhatikan sekelilingnya. Tiap sisi diisi empat meja. Dan tumpukan buku ada di beberapa meja guru. Tidak ada yang berani mengutak-atik di sana karena itu milik siswa. Kaca di atas meja berwarna gelap. Bertuliskan nama meja apabila lupa.

Di usia yang 40an, Pak Syarif lebih menyukai pekerjaannya sebagai guru ketimbang jadi tukang bersih kebun. Hal itu wajar mengingat beliau mendapatkan hukuman akibat pertengkaran dengan wali murid berlatar belakang Pemuda Pancasila. Celakanya, salah satu orang tuanya itu politikus cukup tersohor. Harusnya, Pak Syarif langsung dipecat dari pekerjaan sebagai guru saat itu.

Syarif's Side StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang