14

233 49 0
                                        

"Akh! Hati-hati, dong!"

Sontak Ken, Seno dan Alvaro menoleh ke arah Daren-si pemilik suara. Mereka berempat tengah berada di luar kelas, tepatnya di kantin yang kini ramai siswa siswi berkerumun memberi makanan guna mengisi perut lapar mereka. Tiga remaja itu sedang menyaksikan bagaimana Daren membentak seorang gadis di depannya. Dengan wajah yang memerah karena marah, Daren memukul meja kantin, menimbulkan suara benturan yang agak nyaring, jelas pukulan Daren itu cukup keras.

"Kenapa? Lembut dikit sama cewek, bisa?" Alvaro menarik lengan Daren, membuat sahabatnya itu duduk kembali.

Memang heran. Tidak biasanya Daren bertingkah laku seperti ini.

"Sabar, Ren," ucap Seno sambil mengusap lembut punggung Daren.

"Gimana mau sabar? Orang dia numpahin kuah bakso ke celana gue! Dan lo, Alvaro, gue nggak liat dari tampilannya. Mau dia cewek atau cowok, kalau dia salah sama gue ya gue bentak!" Daren memekik.

"That's enough! shut up!" Kenzie berkata tegas. Suaranya memerintah, membuat Seno dan Alvaro terdiam seribu bahasa, kecuali Daren.

"I won't." ucap Daren dengan santai lalu memasukkan roti ke dalam mulut dan mengunyahnya.

"damn."

"You too, Ken." Daren tersenyum meremehkan, ia menatap Kenzie yang sedari tadi hanya mengaduk-aduk minuman dengan sedotan tanpa ada meminumnya seteguk pun.

"Dari tadi di aduk mulu. Nanti minumannya bakal amburadul kayak kehidupan gue,"

Perkataan Daren membuat Kenzie memutar matanya dengan ringan.

"Minum aja kalau mau," Kenzie berucap sambil menyodorkan segelas minuman tersebut kepada Daren. Melihat hal itu, Daren langsung mengambil minumannya lalu meneguknya tanpa menggunakan sedotan.

Ekspresi heran jelas terlihat di wajah kedua temannya. Namun Daren bersikap acuh tak acuh dengan terus meneguk minuman yang diberikan oleh Kenzie. Berbeda dengan Seno dan Kenzie, Alvaro malah terlihat biasa saja menyaksikan pemandangan itu. Bukan hal baru bagi Alvaro ketika dia melihat Daren yang minum jarang sekali menggunakan sedotan. Kurang puas, katanya.

"Sepulang sekolah, kita pulang nya telat aja kayak kemarin. Gue mau ke toilet sekolah, nyari bukti yang siapa tau ada di sana." ucap Seno.

Daren tersedak minuman yang ia teguk kala mendengar ucapan dari Seno. Setelah mengatur pernafasan-nya dari terbatuk beberapa kali, akhirnya ia berbicara. "Lagi? Tapi, gue udah capek."

"Nggak ada kata 'capek' buat penyelidikan. Gue mau ketiga sahabat kita pergi dengan tenang. Dengan cara apa? Dengan cara kita yang masih tersisa-dapat menemukan pembunuhnya dan memberikan hukuman setimpal," kata Seno pelan, nada kesedihan merayapi suaranya.

Hati Alvaro mencelos mendengar jawaban Seno. Temannya benar, mereka harus menolak untuk putus asa. Dia berdiri, mengambil satu langkah lebih dekat dan meletakkan tangan lembutnya di bahu Seno. Alvaro berbicara, suaranya nyaris berbisik. "Gue setuju sama lo. Semakin banyak bukti yang terkumpul, maka semakin cepat pelakunya ditemukan."

Mendengar Alvaro setuju dengan ajakannya, seolah menadi kebahagiaan tersendiri bagi Seno. Ia tersenyum lembut, akhirnya menemukan jawaban yang dicarinya.

"Kenapa lo mau menyelidiki kasus yang sia-sia ini? Setiap kali kita mencoba menemukan barang bukti, hasil kita selalu nihil." Daren meletakkan garpu ke piring, hempasan itu membuat suara dentingan yang agak nyaring.

"Karena kalian udah menuding gue sebagai orang yang harus bertanggungjawab atas semua kekacauan yang terjadi dan gue juga lebih tua dibanding dengan kalian. Untuk masalah ada atau tidaknya bukti, yang penting kita udah berusaha dan semoga kita diberi secercah cahaya."

RUMAH TUJUH ENAM [Proses Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang