Dua

78 11 2
                                    

Calista melihat pada kanan dan kiri jalanan, mereka sudah berada di perjalanan sekitar dua jam lamanya, tetapi masih juga belum sampai di tempat tujuan. Beberapa kali mereka melewati hutan-hutan, kemudian bertemu dengan perkampungan.

Di kursi depan mobil, ada kakaknya sebagai supir dan abahnya sebagai orang yang diajak mengobrol agar tak mengantuk. Di sampingnya ada uminya yang menghabiskan waktunya untuk tidur sepanjang perjalanan. Gadis itu sama sekali tak tahu dia akan ke mana mereka hari ini, semua keluarganya lebih memilih mengalihkan pembicaraan tiap kali dia bertanya. Kalau kakaknya hanya akan terus memeluknya dan mengatakan dia menyayanginya, berbeda dengan uminya yang hanya mengomel.

"Kita sebenarnya mau ke mana sih, Kak?" tanya Calista pada kakaknya. Calista yakin, kakaknya ini pasti tahu di mana tujuan mereka sekarang, tak mungkin kakaknya tak tahu sementara dia membawa mobil begitu lancar tanpa bertanya pada abahnya.

"Tanya sama abah," kata Fariz jelas saja membuat adiknya berdecak kesal lantaran pertanyaannya malah tak dijawab.

Calista kemudian melihat pada abahnya yang kini fokus melihat pada jalan di depan, sama sekali tak berniat untuk bersuara setelah tadi mendengar kakaknya menyuruh dia bertanya pada abahnya.

"Mau ke mana sih, Bah? Gak nyampe-nyampe perasaan."

Calista beralih bertanya abahnya, sebenarnya pertanyaan ini sudah dia tanyakan tadi pada abahnya, tetapi abahnya hanya menjawab berkunjung ke rumah temannya.

"Berkunjung ke rumah teman Abah," jawab Syakir.

Mendengar jawaban abahnya, Calista mendengkus. Rumah teman? Calista pikir abahnya tak memiliki teman yang memiliki rumah sejauh ini. Gadis itu menyadarkan tubuhnya, kemudian kembali mendengkus kesal lantaran pertanyaannya malah dijawab dengan pertanyaan yang sama sekali tak membuat rasa penasarannya hilang. Namun, itu semua tak berlangsung lama saat mobil mereka berhenti di depan gerbang yang tertuliskan Pesantren Al-Ma'arif.

Rasa penasaran Calista terjawab sudah, kini perasaan itu berganti menjadi perasaan takut yang mendalam, selain itu Calista juga kini gelisah. Pantas saja tadi abah dan uminya menyuruh dia untuk memakai gamis dan jilbab. Matanya melirik pada uminya yang baru saja bangun setelah sadar kalau mobil sudah tak bergerak.

"Apa kamu lirik-lirik Umi?!"

Suara uminya ketus, membuat Calista ingin sekali mencibir, tetapi sadar bahwa apa yang akan dia lakukan bisa mendapatkan dosa. Kakak dan abahnya kini sudah keluar, diikuti oleh uminya, sementara Calista tak berani untuk keluar dari mobil, takut melihat tulisan di pintu gerbang itu.

Bukan takut karena apa, hanya saja, Calista pernah berdebat dengan uminya soal pesantren, dia juga pernah mendengar uminya berencana untuk memasukkan dia ke pesantren. Hei, usianya sudah dua puluh lima tahun, Calista pikir dia tak perlu lagi masuk pesantren.

Menyadari kalau anak gadisnya tak mau turun, Kamila kembali masuk ke mobil, menatap anaknya dengan tatapan tajam, jelas membuat Calista ketakutan.

"Kamu gak mau turun? Ngapain di sini terus?"

Semenjak hari di mana uminya melihat dia memakai baju yang cukup terbuka di YouTube beberapa hari yang lalu, uminya malah makin galak, bahkan beberapa kali tiap dia mau bekerja, uminya selalu ikut sampai yang selalu berhubungan manager perihal pekerjaannya adalah uminya.

"Umi, Lista gak mau," rengek Calista kini telah sadar kenapa dia dibawa ke sini.

Gawat! Dia akan dimasukkan ke pesantren, terbukti saat Calista tadi melihat abahnya tengah berbincang dengan pria yang sudah cukup tua dari abahnya, memakai sorban. Calista yakin, kalau pria tua tadi adalah kiai di sini.

Tutup Auratmu!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang