Lima

59 10 1
                                    

Pipi Calista terasa nyeri dan panas saat satu tamparan mengenainya, tangan gadis itu memegang pipinya, sementara bibirnya mengerucut kesal karena ditampar tepat di depan banyak orang. Jelas saja Calista malu, reputasinya sebagai beauty vlogger terkenal walau sudah pensiun dini bisa hancur.

Seluruh santri yang melihat itu hanya diam, sementara Husen langsung berdiri di tengah-tengah Kamila dan Calista.

"Umi, gak baik marahin anak di depan umum, kita mending ke rumah, bicara di sana," tegur Husen lembut, membuat Kamila langsung tersadar dengan apa yang sudah dia lakukan pada Calista.

Namun, Kamila melakukan itu tanpa sadar, itu semua karena dia khawatir dengan anaknya, dan ternyata anaknya berada di belakang pesantren seperti apa yang Husen ceritakan padanya.

"Salsa, ayo ke rumah. Ajak Calista sama umi Kamila, Abang mau hubungi Fariz sama Abah Syakir dulu," pinta Husen pada adiknya.

Memang Syakir tadi langsung memilih mencari anaknya setelah dirasa sama sekali tak menemukan keberadaan anaknya, sayangnya semua mereka yang mencari Calista sama sekali tak terpikir ke belakang pesantren, mengingat di sana begitu banyak semak belukar.

Setelah menghubungi Fariz dan juga Syakir, Husen pun menyusul ke rumah orang tuanya yang berada di lingkungan pesantren ini. Sekali pun dulu dia anak dua pengajar yang berpengaruh di sini, Husen tak pernah mendapatkan perlakuan khusus, bahkan saat dulu dia menikah dengan anak dari Kiai di pesantren ini.

Hal pertama yang Husen lakukan saat sampai rumah, langsung membersihkan diri dan mengganti seragam pilotnya. Kemudian menuju dapur menghampiri uminya yang sedang menggoreng pisang. Husen yakin, itu pasti untuk Calista dan keluarganya.

"Umi?"

"Udah selesai bersih-bersihnya? Zidan dari tadi nyariin kamu tuh."

Ah, Zidan. Anak satu-satunya Husen dengan istrinya, dia melupakan itu. Saat sampai tadi, Husen sama sekali tak berpikir apa pun, dia memilih membantu untuk mencari Calista.

"Zidan mana, Umi?"

"Lagi sama Salsa di kamarnya," jawab Halimah.

"Biarin aja dulu, Mi."

"Di koper ada ole-ole untuk Umi, Abi, sama Salsa juga."

"Untuk Zidan?"

"Dia gak mungkin aku lupain, Mi."

Halimah tertawa kecil, dia melirik pada anaknya yang duduk di meja makan, seraya mengupas pisang yang tadi diletakkan di meja. Anaknya ini sangat peka terhadap orang tua dan pasangan, Halimah kadang berpikir tak membiarkan anaknya menikah lagi karena takut perhatian Husen berpindah. Namun, Halimah kembali berpikir, Husen butuh pendamping di hari tuanya.

"Cantik, ya."

Husen mengernyit heran, kemudian bertanya, "Siapa, Mi?"

"Calonmu," jawab Halimah seraya tersenyum malu.

Husen terkekeh geli. Calon? Lamarannya saja masih belum diterima, itu semua karena orang tua si gadis ingin melihat anaknya bisa menutup aurat dan bisa paham ilmu agama. Dan gadis itu sekarang tengah berada di ruang tamu, bersama keluarga si gadis serta Kiai pesantren yang tadi ikut mencari Calista.

"Lamarannya belum diterima, tapi bukan berarti ditolak. Kata abah Syakir, tunggu Calista terbiasa menutup aurat dulu. Lamarannya juga belum dikasih tahu sama Calista," tutur Husen.

"Kalau seandainya ditolak gimana?" tanya Halimah. Wanita paruh baya itu sedikit khawatir dengan anaknya. Husen beberapa kali meminta untuk didoakan agar diberikan jawaban yang terbaik dari Calista, Halimah sangat yakin kalau anaknya berharap lamarannya dapat diterima.

"Berarti aku sama dia bukan jodoh, Mi. Insya Allah aku terima semua keputusannya," jawab Husen mantap.

Pria itu tak memaksa Calista untuk menerimanya, tetapi dia berharap Calista dapat memberikan dia jawaban yang terbaik untuknya. Selain itu, Husen juga agak ragu, apakah gadis secantik Calista mau menerimanya yang seorang duda beranak satu?

Sekali pun dia memiliki pekerjaan yang mampu menghidupi Calista, Husen yakin Calista mungkin berpikir untuk menerimanya. Di luar sana, pasti banyak pria yang ingin bersama Calista.

***

"Jawab Umi, kenapa kamu di belakang pesantren? Kalau seandainya Husen gak ada, sampai besok pun gak akan ada yang dapat kamu," kata Kamila menggebu-gebu.

Dia rasanya ingin kembali menampar Calista, tetapi ingat di sini ada Kiai, ada juga orang tua Husen. Alhasil, Kamila mencoba menahan amarahnya, sudah cukup tadi dia menampar Calista di depan umum.

"Aku gak suka di sini, aku gak suka di pesantren, Umi. Aku gak suka dikekang, di sini aku rasanya gak bisa bergerak," jawab Calista.

Dia sebenarnya ingin marah saat dibawa ke sini tiba-tiba, tanpa persetujuan darinya, bahkan semua peralatannya sudah dibawa uminya tanpa persetujuan darinya. Pantas saja waktu itu uminya meminjam kopernya. Bersyukur kemarin saat akan ke pesantren tanpa sepengetahuan Calista, dia membawa serta skincare dan makeupnya, untuk jaga-jaga kalau seandainya nanti mereka pulang malam hari.

"Astagfirullah, Calista!"

Kamila sudah tak tahu harus bagaimana menghadapi anaknya yang satu ini. Keras kepala, egois, tak suka diatur, sesukanya melakukan apa pun. Kamila sungguh menyesal dulu pernah mengizinkan Calista menjadi hair stylist, karena setelah itu Calista langsung berkecimpungan sebagai konten kreator—beauty vlogger.

"Kamu sadar gak sih, umur kamu udah dua puluh lima tahun, kamu udah bukan anak-anak lagi," kata Kamila.

"Tahu, Umi. Aku tahu kalau aku udah dua puluh lima tahun, tapi apa salahnya aku nentuin jalan hidupku sendiri?"

"Salah besar Calista. Jalan hidup yang kamu tentukan, sama sekali gak bisa menolong Abah dan Umi di akhirat nanti," timpal Syakir. Sudah cukup dia bersabar melihat bagaimana tingkah laku anak gadisnya, kali ini dia harus berbicara.

"Kok Abah ngomong gitu?" tanya Calista. Dia tak suka mendengarnya.

"Aku selalu doain Abah dan Umi, selalu memohon pertolongan untuk Abah dan Umi," imbuh gadis itu.

"Sekali pun seperti itu, kamu yang gak mau menutup aurat dan jarang menjalankan syariat Islam, buat Abah khawatir. Bagaimana Abah nanti mempertanggung jawabkan di akhirat?" balas Syakir sukses membuat Calista menunduk dalam.

Gadis itu tiba-tiba saja dirundung rasa bersalah, hingga tak bisa berkutik ataupun membalas perkataan Syakir.

"Kita pulang. Kamu juga ikut," ucap Syakir saat sadar kalau anaknya butuh merenungi kesalahannya.

Syakir menatap Kiai yang setia diam dan melihat keluarga itu, lalu tersenyum kecil.

"Mohon maaf Pak Kiai, anak kami sudah membuat kesalahan di sini. Kami akan membawa Calista pulang dan menyuruhnya untuk merenungi kesalahannya, setelah itu kami akan membawa Calista kembali di sini."

***

Yahoooooo

Gimana sama part ini?

Jangan lupa tinggalkan jejak yah

Bye bye

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 23 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tutup Auratmu!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang