Empat

52 14 1
                                    

Pesantren Al-Ma'arif gempar dengan hilangnya Calista, pihak pesantren bahkan langsung menghubungi keluarga Calista hingga Kamila berkali-kali pingsan karena Calista tak ada. Kalau Kamila menangis dan pingsan, berbeda dengan Syakir yang berkeliling pesantren untuk mencari Calista.

Beberapa pengajar pria juga ikut mencari Calista. Mereka membagi tempat mencari Calista, di luar pesantren dan di dalam pesantren. Sebenarnya hanya ada satu kemungkinan Calista menghilang, dia kabur dari pesantren, tetapi keamanan mengatakan sama sekali tak melihat Calista keluar dari pesantren.

Sedangkan Fariz, berusaha menenangkan uminya. Kakaknya Calista itu tak habis pikir dengan adiknya yang tiba-tiba saja menghilang seperti ini. Sebenarnya untuk Calista yang kabur, bukan masalah bagi mereka, mereka bisa membawa Calista kembali ke pesantren. Hanya saja, Calista pasti tak tahu jalan di sini, apalagi pesantren ini terletak di perkampungan yang jauh dari kota, untuk mendapatkan kendaraan pun, mereka harus berjalan beberapa meter.

"Umi, tenang dulu, Calista pasti baik-baik aja," kata Fariz menenangkan uminya.

Raut khawatir milik Kamila sangat tercetak jelas di wajahnya, berkali-kali Kamila menghela napasnya, dia gelisah karena Calista masih tak ditemukan. Kata teman sekamar Calista, terakhir mereka melihat Calista saat Calista dibangunkan oleh bidang ibadah dan keamanan pesantren. Pengakuan dari Salsa selaku bidang ibadah, dia dan temannya yang merupakan bidang keamanan pesantren meninggalkan Calista di kamarnya setelah Calista memakai baju dan jilbabnya untuk keluar mengambil air wudhu. Namun, Calista sama sekali tak hadir saat mereka Shalat sampai mereka halaqah.

"Maafin saya, Bu, saya benar-benar gak nyangka kalau jadi seperti ini," ucap Salsa penuh penyesalan.

Kamila menggeleng lemah, dia sama sekali tak menyalahkan siapa pun, justru lebih menyalahkan dirinya sendiri karena langsung membawa Calista ke pesantren tanpa sepengetahuan anaknya dan tanpa persetujuan anaknya.

"Umi mau cari Calista, Kak," ucap Kamila pada Fariz, membuat Fariz menggeleng cepat.

"Umi di sini, Calista pasti baik-baik aja. Dia itu anaknya Umi yang paling kuat, paling berani," balas Fariz membuat Kamila menghela napasnya panjang.

Fariz pun bangkit dari duduknya setelah tadi memeluk uminya untuk menenangkan, kemudian pamit untuk mencari Calista. Bersamaan dengan seorang pria yang masih menggunakan seragam pilotnya datang menghampiri mereka,

"Katanya adikmu hilang, Riz?" tanya pria itu. Namanya Husen Alfarizi, seorang berprofesi sebagai pilot, teman dekat Fariz yang merupakan anak dari ustadzah Halimah.

"Iya, ini lagi nyariin dia," jawab Fariz.

"Aku bantu, ya."

"Bang Husen, mending istirahat, baru pulang juga, kan?"

Itu suara Salsa. Dia terkejut melihat kakaknya yang baru saja pulang langsung berniat untuk mencari Calista, apalagi sama sekali tak mengganti seragamnya. Sayangnya, Husen menggeleng pelan, membuat Salsa mengernyit heran. Kenapa kakaknya terlihat khawatir?

"Abang bantu Fariz cari Calista, kamu tenangin Umi Kamila, ya?"

Kebingungan Salsa bertambah. Umi Kamila? Sejak kapan kakaknya itu memanggil Kamila dengan panggilan umi?

"Abang—"

Sadar kalau ada hal yang ingin dipertanyakan adiknya, Husen lebih dulu menyela. Sekarang bukan waktunya untuk menjawab pertanyaan adiknya yang tentu saja akan memiliki waktu yang panjang.

"Sebentar, ya, Abang akan jawab semuanya," sela Husen.

Kemudian Husen dan Fariz mulai mencari Calista, Husen diperintahkan Fariz untuk mencari di sekitar pesantren, sementara Fariz memilih untuk mencari Calista di luar pesantren.

Pencarian pun dimulai, Husen memilih ke belakang pesantren, tiba-tiba saja dia kepikiran untuk ke sana. Di sana tempatnya banyak semak-semak, tanaman liar tumbuh dengan subur dan sudah tinggi, selain itu, belakang pesantren adalah tempat Husen dulu sering kabur apabila malas berada di pesantren, padahal umi dan abinya adalah salah satu pengurus pesantren ini.

Tak ada yang berubah dari belakang pesantren ini, semuanya masih sama, di sana juga ada pondok-pondok kecil yang dulu dibangun Husen dan teman-teman. Pria itu mendekati pondok kecil tersebut, melihat itu rasanya bernostalgia masa saat dia di pesantren ini.

"Aduh!"

Suara lembut nan merdu milik perempuan membuat Husen berhenti melangkah, dia kembali menajamkan pendengarannya, berharap apa yang dia dengar tak salah. Kemudian suara itu terdengar lagi.

"Gila nih nyamuk, banyak banget."

Suara itu, Husen mendengarnya, dia tahu siapa pemilik suara itu. Orang yang tengah membuat pesantren gempar, bahkan sampai membuat dia khawatir. Rasanya, Husen ingin memarahi Calista saat ini juga, karena sudah membuat orang-orang kerepotan mencairnya, tapi sadar kalau dia bukan siapa-siapa Calista, selain itu, mungkin saja Calista tak mengenalnya.

"Calista?" panggil Husen.

Sontak membuat Calista yang tadi berbaring seketika bangun, dia kemudian melihat pria yang pernah bersama abahnya, pria yang pernah ditanyain namanya oleh kedua temannya.

"Lo kok—"

"Banyak yang nyariin kamu, Umi kamu dari tadi gak berhenti nangis, katanya juga udah berkali-kali pingsan," kata Husen menyela perkataan Calista.

Mendengar uminya disebut, membuat Calista meringis pelan. Dia kira, uminya hanya sekadar khawatir di rumah dan akan memarahi pihak pesantren karena tak becus menjaganya, tapi ternyata malah menangis dan pingsan.

"Ayo, aku antar ke depan," lanjut Husen lembut.

"Pasti di sana pada gempar, ya?"

Husen tersenyum kecil, dia mengangguk, kemudian berkata, "Sedikit. Abah dan kakakmu juga khawatir."

"Gue niatnya mau kabur, mau pura-pura hilang, tapi gak nyangka kalau kayak gini ujungnya," ungkap Calista merasa bersalah.

Gadis yang kini memakai gamis tetapi sama sekali tak memakai jilbab itu turun dari pondok kecil tersebut, menepuk-nepuk sedikit gamisnya karena berdebu.

"Jilbabnya dipake, ya? Di sana banyak santriwan."

Sekali pun tak suka diatur, Calista pun menuruti perkataan Husen, membuat Husen tersenyum melihatnya yang begitu menurut pada ucapannya.

"Gue gak tahu kalau jadi segempar ini," ujar Calista.

"Aku juga kaget tadi kamu tiba-tiba menghilang," balas Husen.

Calista tertawa, lalu bertanya, "Nama lo siapa?"

"Aku Husen."

"Pilot, ya?"

"Iya."

"Pantesan badannya bagus, lo pilot. Biasanya kan pilot itu badannya bagus-bagus."

"Ini hanya karena sering olahraga aja."

Sepanjang perjalanan menuju depan pesantren, mereka mengobrol bersama. Hal itu membuat Husen tak berhenti tersenyum kecil mendengar Calista yang beberapa kali menggerutu.

***

Uhuyyyy akhirnya bisa update lagi guys

Satu pemeran utama udah muncul, siap-siap aja dulu, siapkan mentalnya.

Jangan lupa tinggalkan jejak yah

Bye bye

Tutup Auratmu!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang