Agustus 2011: Part 2

6.4K 520 63
                                    

"In the depths of grief, the heart clings desperately to the echoes of the departed, refusing to release the cherished memories that linger like whispers in the soul."

*

Romi menutup matanya perlahan. Ia mengusap wajahnya dengan frustasi. Air matanya sudah mengering. Lututnya lemas hingga ia berjongkok di lantai.

Ketika melihat Darma, Romi bisa melihat lelaki yang paling dituakan itu sama hancurnya. Lelaki itu menutup wajah dan membungkuk dengan getar. Darma menangis. Untuk pertama kalinya, Romi melihat Darma menangis tak karu-karuan.

Satya-ayah Darma yang juga ayah dari Adhisty-tengah dalam perjalanan dinas dan tengah membeli tiket untuk pulang. Romi tak bisa membayangkan bagaimana sedihnya Satya yang begitu menyayangi dua perempuan paling penting di hidupnya itu.

Di sisi lain, ia bisa melihat ke arah Gayatri yang menangis terisak dengan dipeluk Kartika yang ikut menyusut air mata. Ramdan menunduk dengan tatapan murung.

Wira? Ke mana Wira?

Romi menggeleng pelan. Ia bahkan tak sanggup untuk memikirkan ke mana gerangan adik bungsu Adhisty itu.

Yang Romi pikirkan hanya satu, ia gagal. Ia gagal.

Ketika Adhisty dan Dafina datang dengan kondisi menggenaskan, Romi dan para dokter lain berusaha menyelamatkan. Tetapi, Dafina sudah lebih dahulu meninggal di perjalanan sementara Adhisty... dia tidak bisa melewati masa kritisnya karena pendarahan yang sangat banyak.

Romi gagal menyelamatkan Adhisty. Ia gagal.

"Padahal, buatku, jadi dokter itu, pekerjaan yang hebat, loh! kayak superhero. Soalnya, kamu menyelamatkan banyak orang!"

Buat apa? Buat apa menyelamatkan banyak orang kalau dirinya bahkan tidak bisa menyelamatkan Adhisty sama sekali? Buat apa?

Romi menjambak rambutnya sendiri. Rasa frustasi menjalar ke mana-mana. Ruang tunggu terasa begitu mencekam dan berat. Isak dan air mata tampak di sana.

"Argh!" teriak Romi kesal. Ia menutup wajahnya. Kenapa? Kenapa? Kenapa? Ia bahkan belum sempat melamar Adhisty dengan layak. Ia bahkan belum sempat menikah dengan gadis pujaan hatinya itu. Ia bahkan belum sempat membuatnya bahagia.

Masih banyak hal yang belum sempat ia lakukan. Banyak, sangat banyak.

Menutup mata, Romi terngiang wajah merenggut Adhisty yang meminta waktunya. Tetapi, selama ini, Romi terlalu sibuk dengan paper dan pekerjaannya. Mengabaikan Adhisty bahkan ketika perempuan itu ada di apartemennya.

Ya, Tuhan! Romi rasanya ingin memukul kepalanya sendiri. Penyesalan terasa begitu nyata.

Seharusnya begini. Seharusnya begitu. Seharusnya begini dan begitu.

Romi melihat sepasang kaki berjalan mendekatinya. Sepatu flat shoes warna merah mudanya mendekat ke arah Romi. Detik berikutnya, ada usapan di puncak kepalanya. "Rom... ikhlas, ya?"

Romi mendongak. Ia mendapati Kartika yang tersenyum lembut. Perempuan itu kini ikut berjongkok.

Tangis Romi semakin pecah. Ia menggeleng dengan gerungan yang semakin keras.

"Nggak bisa, Tika. Nggak bisa!" Romi meraung-raung keras. "Gue... Gue gagal. Gue gagal nyelamatin Adhisty. Nggak! Gue seharusnya ke tempat Adhisty malam ini, bukannya gantiin temen gue jaga karena nggak enak sama dia. Gue seharusnya... gue seharusnya..."

Romi tak bisa melanjutkan kata-katanya. Sementara, tangan Kartika terulur untuk terus membelai lembut rambut Romi dengan getar yang sama-sama terasa. Semua orang di dalam ruangan itu kehilangan. Tak ada satupun yang tak terluka.

"Gue gagal! Adhisty... Adhisty..." Romi masih sesugukan.

Kartika mengambil napas. Ia merangkul Romi yang kini sudah terjatuh untuk menangis tersedu-sedu. Terserah apa yang mau dikatakan orang-orang tentangnya: cengeng, nggak laki, whatever!

Romi menatap sekelilingnya. Semuanya kacau. Semuanya berantakan. Rasanya, ia ingin ikut mati bersama Adhisty saja.

*

Untuk terakhir kalinya, Romi melongokan kepala, melihat Adhisty dalam gaun cantik dan riasan di dalam peti. Buat sebagian orang, melihat orang mati adalah hal yang menyeramkan. Buat Romi, ia tak akan bisa berhenti memandanginya.

Ia ingin Adhisty membuka mata lalu menyatakan bahwa ini semua hanya isengnya semata. Ia ingin merasakan pelukan perempuan itu atau mendengar celotehannya yang tak henti-henti.

Romi janji, ia akan memberikan seluruh waktu yang dipunyanya untuk Adhisty. Ia tidak akan mengabaikan perempuan itu, ia tidak akan membiarkan Adhisty sendirian lagi di sofa sementara dirinya sibuk dengan makalah dan jurnalnya.

Ia akan memberikan semuanya. Semuanya.

Tetapi, semua sudah terlambat, bukan?

"Kak Romi..." Ia mendengar Julie memanggil lemah. "Petinya... sudah mau ditutup."

Romi menengok. Ia menatap ke arah Julie lalu ke arah Darma dan Satya yang hanya bisa terduduk lemah. Wira di sisi lain terlihat diam. Ia tampak aneh.

Romi mengangguk pelan. Ia mundur beberapa langkah sebelum petugas menutup peti tersebut. Matanya terpejam. Berusaha mengabadikan wajah Adhisty dalam benaknya. Wajah terakhir yang ia ingat, senyum yang bisa ia kenang.

Romi merasakan Julie merangkulnya sebelum ia kembali menangis.

"Kak, kalau Kakak nangis mulu, nanti, Kak Dhisty juga sedih, loh."

Romi menggeleng. Ia mencoba menghapus air matanya. Tetapi, seberapa sering ia mencoba, air matanya tetap mengalir dengan begitu deras.

Dari sudut matanya, Romi bisa melihat peti itu mulai dibawa. Rencananya, alih-alih dikubur, mereka akan dikremasikan-sesuai dengan permintaan Dafina dulu semasa hidupnya.

Napas Romi terhela ketika peti dibawa pergi. ia menatap peti yang semakin menjauh. Beberapa orang mulai pergi dari ruangan menuju ke arah ruang kremasi. Kaki Romi terasa begitu berat untuk melangkah. Ia bahkan tak ingin percaya bahwa Adhisty akan dikremasikan. Rasanya, ia masih belum bisa menerimanya. Hingga, tepukan di pundak menyadarkannya bahwa kini, dia sudah ditinggal sendirian. Darma.

Lelaki yang selalu dielukan Adhisty itu kini tampak menyedihkan. Wajah nelangsanya tak bisa ia tutupi. Senyum getir yang tampak dipaksakan terulas di wajahnya.

"Rom... kita ikhlas bareng-bareng, ya?" kata Darma lemah.

Romi terdiam. Ia menelan ludah sambil memejamkan matanya. Bagaimana bisa ia ikhlas ketika perasaan berat itu masih terus menghantuinya? Ia dan Adhisty bukan baru berpacaran satu dua tahun? Ia sudah mencintai Adhisty nyaris setengah umurnya. Melupakan Adhisty bukan hal yang mudah.

Ini, sama sekali tidak mudah.

***

Yang mau tahu keadaan Romi dan alasan ketidak hadirannya di Lead Magnet, masih ada satu part lagi, ya.

Miss Oh So PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang